Oleh : Najmudin Ansorullah
Di Indonesia, sebelum peraturan-peraturan hukum disahkan akan mengalami nasib yang sama, menuai pro dan kontra dari para kalangan. Namun, hal itu mengindikasikan bahwa masyarakat mengharapkan akan kepastian hukum yang lebih memihak pada keadilan.
Dalam menuntaskan permasalahan bangsa, tentu seluruh pihak terutama pemerintah harus mampu memandang bahwa keputusan hukum itu bukan berangkat dari kepentingan individu, golongan atau pihak asing, tetapi dari sisi keadilan dan kesejahteraan masyarkat. Masalah hukum di Indonesia memang sangat luas, seperti yang terjadi pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Sejak UUPK disahkan pada tanggal 20 April 1999 dan diberlakukan efektif tanggal 20 April 2000, terlihat belum banyak perubahan meski banyak kritikan sebagian kalangan yang mempertanyakan tentang validitasnya karena mengandung banyak kekurangan dan dianggap masih merugikan sebagian pihak, seperti di bidang kesehatan. Selain itu, sebagian masyarakat belum banyak mengetahui, apalagi mengerti tentang UUPK tersebut.
Padahal, perlindungan konsumen menyangkut hak, kewajian dan tanggung jawab seluruh anggota masyarakat, termasuk pemerintah dalam kegiatan ekonomi dan hukum yang sedang dihadapi bangsa ini di tengah hiruk-pikuk dunia ekonomi yang semakin berkembang. Perlindungan konsumen bukan hanya dilihat dari aspek materi, tapi juga spiritual.
UU. No. 8 Tahun 1999 (UUPK)
UUPK terdiri dari 15 Bab yang diuraikan dalam 65 Pasal. Empat hal penting untuk diketahui, yaitu pengaturan klausula baku bahwa kontrak/perjanjian ditentukan dua belah pihak, azas pembuktian balik, berlakunya class action atau gugatan kelompok, dan tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Secara keseluruhan UUPK tersebut tersusun dalam sistematika sebagai berikut:
– Bab I tentang Ketentuan Umum terdiri dari satu Pasal;
– Bab II tentang Asas dan Tujuan terdiri dari dua pasal (Pasal 2 dan Pasal 3);
– Bab III tentang Hak dan Kewajiban Konsumen (Pasal 4; Pasal 5; Pasal 6; Pasal 7);
– Bab IV tentang Perbuatan yang Dilarang bagi Pelaku Usaha (Pasal 8; Pasal 9; Pasal 10; Pasal 11; Pasal 12; Pasal 13; Pasal 15; Pasal 16; Pasal 17);
– Bab V tentang ketentuan Pencantuman Klausula Baku (Pasal 18);
– Bab VI tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha (Pasal 19; Pasal 20; Pasal 21; Pasal 22; Pasal 23; Pasal 24; Pasal 25; Pasal 26; Pasal 27; Pasal 28);
– Bab VII tentang Pembinaan dan Pengawasan (Pasal 29; Pasal 30);
– Bab VIII tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) (Pasal 31; Pasal 32; Pasal 33; Pasal 34 Pasal 35; Pasal 36; Pasal 37; Pasal 38; Pasal 39; Pasal 40; Pasal 41; Pasal 42; Pasal 43);
– Bab IX tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) (Pasal 44);
– Bab X tentang Penyelesaian Sengketa (Pasal 45; Pasal 46; Pasal 47 Pasal; 48);
– Bab XI tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) (Pasal 59; Pasal 50; Pasal 51; Pasal 52; Pasal 53; Pasal; 54; Pasal 55; Pasal; Pasal 56; Pasal 57; Pasal 58);
– Bab XII tentang Penyidikan (Pasal 59);
– Bab XIII tentang Sanksi (Pasal 60; Pasal 61; Pasal 62; Pasal 6) dan;
– Bab XIV tentang Ketentuan Perlaihan (Pasal 64);
– Bab XV tentang Ketentuan Penutup (Pasal 65).
Penyelidikan Terhadap Norma-norma UUPK
Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini mengelompokkan norma-norma Perlindungan Konsumen ke dalam dua kelompok, yaitu perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha (Bab IV UUPK), dan ketentuan kalusula baku (Bab V UUPK). Secara keseluruhan norma-norma Perlindungan Konsumen (bisa juga disebut kegiatan-kegiatan pelaku usaha) dikelompokan ke dalam empat kelompok, yaitu pertama, kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa (Pasal 8 ayat 1, 2, dan 3); kedua kegiatan penawaran, promosi dan periklanan barang dan/atau jasa (Pasal 9 ayat 1, 2 dan 3; Pasal 10, Pasal 12, Pasal 13 ayat 1 dan ayat 2, Pasal 15; Pasal 16; serta Pasal 17 ayat 1 dan 2; ketiga, kegiatan transaksi penjualan barang dan/atau jasa (Pasal 11, Pasal 14, serta Pasal 18 ayat 1, 2 dan 4) dan; keempat, kegiatan pasca-transaksi penjualan barang dan/atau jasa (Pasal 25 dan Pasal 26 UUPK (lih. Yusuf Shofie, 2003: 10-11, Yusup Shofie, 2000: 21).
Dalam mengklasifikasi pasal-pasal UUPK yang masuk kategori norma-norma, Yusuf Shofie memeriksa substansi dari mulai proses produksi sampai ke tangan konsumen. Terlihat ada perbedaan dalam memasukan pasal-pasal tersebut yang masuk kategori norma-norma. Hal itu, dilihat dari dua buku yang ditulis dalam tahun penerbitan berbeda, yang berjudul: Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya (2000) dan Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen (2003). Keduanya membahas klasifikasi norma-norma perlindungan konsumen.
Terdapat perbedaan (perubahan penambahan) pada pada buku pertama, karena berpandangan bahwa UUPK masih berbenturan dengan Undang-undang lain, terutama dalam pencantuman “klausula baku”. UUPK melarangnya dalam Pasal 18 Ayat 1 Butir h dengan ancaman kurungan badan 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 2 milyar (Pasal 62 ayat 1 UUPK dengan Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT/Undang-undang No. 4 Tahun 1996.
Sedangkan pada buku kedua di atas, Ia menambahkan pasal yang dapat menutupi anggapan-angapan semula dengan kategori kelompok kesatu masih tetap tidak berubah, sedangkan pencantuman Pasal 10, 12 dan 13 Ayat 1 dan 2 pada kelompok kedua seperti di atas. Pasal 17 Ayat 1 dan 2 semula dipisah, Ayat 1 masuk ke kelompok kedua sedangkan Ayat 2 masuk kategori ke kelompok ketiga. Tapi, setelah adanya perubahan, Pasal 17 Ayat 2 tersebut bergeser digabungkan dengan kelompok kedua. Perubahan terakhir, penambahan Pasal 25 dan 26 (UUPK) masuk kategori kegiatan pasca-transaksi penjualan barang dan jasa. Perubahan diperkuat dengan ketentuan peralihan (Pasal 64) UUPK, sepanjang tidak berbenturan dengan Undang-undang lain.
Penyelidikan seperti itu sangat penting dilakukan untuk perkembangan UUPK selanjutnya mengingat UUPK dibuat bukan untuk merugikan satu pihak, tetapi untuk menyeimbangkan hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen. Meski perkembangan dalam penyelidikan terhadap UUPK pada tahap akademisi sudah ada, namun semestinya merupakan bagian dari seluruh komponen masyakarat (jurist, pemerintah maupun para stake holder dan lain-lain) untuk mengerjakannya. Sampai saat ini, belum diketahui secara jelas perkembangan terakhir UUPK dilihat dari segi substansi, baik dari ketentuan peralihan maupun perubahan.
Prospek Masa Depan UUPK
Banyaknya pemberitaan mengenai beberapa makanan yang mengandaung zat pengawet seperti formalin, borak dan sebagainya telah merisaukan masyarakat baik konsumen maupun beberapa pedagang-pedagang terutama kelas kecil, khususnya di tingkat pengecer seperti pedagang bakso, mie, tahu, ikan asin dan lain-lain. Belum lagi tingkat kelecakaan pada penumpang transportasi, seperti Kereta Api, kapal laut, pesawat terbang dan sebagainya yang kerap kali terjadi telah merugikan bukan saja materi, tetapi dapat merenggut nyawa manusia.
Perlindungan konsumen bukan hanya dilihat sebagai directive dengan mengubah meja makan menjadi “meja hijau” atau tingkat penyelesaian kasus-kasus yang jumlahnya terus bertambah besar. Namun, perlindungan konsumen harus dilihat pula dari upaya pencegahan terhadap bahaya-bahaya yang ditimbulkan agar tidak terjadi kerugian.
Dengan mempelajari kasus-kasus yang pernah terjadi menimpa konsumen, tentu para pihak, terutama pelaku usaha dan pemerintah disarankan agar dapat mengambil pelajaran dalam menanggulangi permasalahan itu agar tidak terulang kembali. Untuk mencegah munculnya pelanggaran itu, perlu misalnya daya paksa yang kuat sehingga setiap pelanggarnya mengetahui secara sadar bahwa tindakannya itu merupakan pelanggaran merugikan orang lain serta perbuatan dosa dengan dijatuhi hukuman berupa sanksi-sanksi. Oleh karena itu, dalam UUPK, selain mencantumkan hak dan kewajiban, perbuatan-perbuatan yang dilarang, juga tercantum tentang tanggung jawab pelaku usaha.
Najmudin Ansorullah
*Alumni Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UIN SGD Bandung