Haji Nali, Dari “Jeger” Sampai Pejuang

by -943 views

Sekedar menyambung hidup, Ayum (73) seorang janda yang ditinggal suaminya (alm. Sholihin) empat tahun lalu sehari-hari mengisi kegiatannya dengan berjualan makanan di kampung Cibitung Tengah kecamatan Tenjolaya kabupaten Bogor. Meski usia sudah berlanjut tua dan sebagian anaknya sudah memiliki cucu, namun kondisi itu bukan halangan untuk tetap berjuang bagi “Ambu” begitu anak-anaknya dan masyarakat setempat memanggilnya. Dengan menempati warung berukuran 2 kali 3 meter persegi miliknya, Ambu terlihat semangat berjualan. Padahal, sebagian anak-anaknya seminggu atau sebulan sekali menengok keadaannya karena mencari nafkah di Jakarta. Bahkan, salah satu anaknya sudah ada yang menjadi guru Pegawai Negeri Sipil di sekolah dasar setempat.

“Anak muda sekarang harus lebih bersemangat dari anak muda dahulu, terus berjuang meski tanpa senjata”, pesannya sambil memasangkan beberapa bungkus makanan ke paku dinding warung di sekitar anak-anak sekolah yang sedang mencicipi makanan di warungnya.

Sesekali wajah Ambu terlihat tak kuat menahan sedih ketika bercerita masa lalunya. Ia menangis terisak-isak sambil bercerita bahwa keluarganya pernah hidup dengan penuh keperihatinan di tengah gempuran tentara Belanda yang sering menyerang kampungya saat kecil di Cinangneng Babakan Girang kecamatan Ciampea (sekarang Tenjolaya) Bogor.

“Jeger” pun Berjuang

Ayahnya bernama H. Nali adalah mantan jeger (jawara) yang disegani masyarakat karena sering membela rakyat. Kemudian, Ia menjadi Ex. Sersan Mayor Kepala Seksi Bogor 4 Distrik Siliwangi. Adik Ambu, H. Edi Sahedi (70) menuturkan, “Mama panggilan untuk alm. H. Nali sering mengajarkan pencak silat Cimande kepada anak-anak muda warga sekitar, baik semasa berjuang melawan Belanda maupun setelah pensiun dari ketentaraan.
Pada tahun 1942-1945 Indonesia berada dalam masa pendudukan Jepang, lalu Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hirosima dan Nagasaki (Agustus 1945). Tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Kemudian, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober. Tentara Inggris itu datang ke Indonesia atas nama Sekutu dengan tugas melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Selain itu, tentara Inggris membawa misi mengembalikan Indonesia kepada pemerintah Belanda sebagai jajahannya. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) pun membonceng. Itulah yang meledakkan kemarahan rakyat Indonesia di mana-mana.
Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri (walaupun baru saja diproklamasikan), dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebagai alat negara juga telah dibentuk. Banyak organisasi perjuangan yang dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar. Badan-badan perjuangan itu telah muncul sebagai manifestasi tekad bersama untuk membela republik yang masih muda, untuk melucuti pasukan Jepang, dan untuk menentang masuknya kembali kolonialisme Belanda (yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia).
H. Nali memimpin pasukan dengan bergerilya di Bogor bagian Barat khususnya di daerah Cinangneng untuk melawan Belanda, sehingga sering menjadi target utama penangkapan pasukan NICA.
Saat Ambu kecil, Ia beserta delapan saudaranya sempat mengungsi ke perbukitan yang masih hutan belantara dengan berjalan kaki puluhan kilometer dari tempat tinggalnya di Cinangneng untuk menghindari pengepungan tentara NICA (Netherland Indies Civil Administration) dalam melumpuhkan pergerakan pasukan yang dipimpin ayahnya.
Pada saat itu, (Agresi Belanda II), kawasan Cinangneng (kini jalan Abdul Fatah) sering menjadi tempat pertempuran antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan NICA (Ilustrasi penyerangan Belanda ke daerah Cinangneng, termasuk pistol, baju dan alat-alat lain milik H. Nali dalam melawan Belanda lihat di Museum Perjuangan Bogor).
Belanda tidak segan-segan mengepung Cinangneng dari berbagai sudut. Namun, pasukan Belanda (NICA) sering mengalami kegagalan karena mendapat perlawan dari TKR. Kedatangan pasukan NICA ke Cinangneng sering tercium baunya walaupun masih berjarak 10 kilometer (KM), karena masyarakat setempat sudah terbiasa mencium bau asap meriam dan senjata-senjata mereka.
Terkadang dengan informasi mata-mata Belanda, pasukan NICA menyerang secara mendadak ke daerah Cinangneng dan mengepung rumah H. Nali. Ketika seisi rumah digeledah, H. Nali bersembunyi di suatu tempat yang aman. Sementara anak-anaknya yang masih kecil tak sempat terbawa, lalu dilipat ke dalam gulungan tikar dan dimasukan ke dalam gudang beras di rumahnya. Ambu dan saudara-saudaranya yang lain saat itu terinjak oleh para penjajah Belanda. Namun, injakan pasukan itu tak terasa, kata Ambu mengenang masa lalunya.
TKR tidak segan-segan memutus jembatan penghubung agar Belanda tidak dapat memasuki kawasan markas H. Nali di Cinangneng Babakan Girang. Pasukan Belanda nekat memasuki kawasan Cinangneng, namun TKR tidak kehilangan cara dengan memakai strategi memberikan kesempatan untuk melakukan penembakan terlebih dahulu agar pasukan Belanda kehabisan peluru. Setelah persedian peluru senjata mereka habis, TKR mulai mulai menghabisi tentara Belanda dengan melakukan gencatan senjata atau senjata tradisional seperti golok dan bambu runcing.

Baca Juga:  Cipetir dan “Cau Pentil”

Pengkhianat dan Penyelamat

Meski H. Nali sering menjadi target utama sasaran Belanda, tapi Ia tidak gentar sedikit pun menghadapi pasukan Belanda, bahkan dapat membuat pasukan Belanda kocar-kacir. Suatu saat, anaknya Edi semasa kecil sedang bermain pinggir kolam dekat rumahnya sambil memegang pistol. Tiba-tiba pasukan Belanda datang, Edi lantas membuang pistol itu ke dalam kolam yang dalam. Salah seorang mata-mata Belanda bernama Ismail mencekiknya agar memberitahukan keberadaan ayahnya.
“Mana ayahmu H. Nali”, kata Ismail.
“Teu nyaho” (tidak tahu), jawab Edi.
“Lalu, apa yang kamu lempar ke kolam”, lanjut Ismail.
“Panakol bedug” (alat pukul bedug), jawab Edi.
“Bohong kamu”, bentak Ismail.
Belanda tak percaya dengan alasan Edi, lalu menyuruh Edi menuruni kolam yang dalam itu. Edi kecil menuruni kolam (Sunda: teuleum) hingga tersumbat.
“Tuh euweuh bejakeun oge!” (sudah kukatakan tidak ada), lanjut Edi setelah lama berendam di kolam untuk berpura-pura meyakinkan Belanda.
Setelah menggeledah rumah H. Nali, pasukan Belanda itu kembali ke markasnya di Bogor tanpa hasil apa-apa. Begitu pemaparan H. Edi Sahedi ketika berbicara masa lalunya yang kini pensiunan mantan kepala sekolah SD Cibitung Tengah.
Belanda pada masa itu menempatkan sejumlah mata-mata untuk menangkap H. Nali, seperti Ismail. Tapi, TKR mendapatkan bantuan dari Igong yang semula adalah mata-mata Belanda, tapi akhirnya berpihak pada H. Nali. Dengan menyelinap menjadi pasukan Belanda, Igong berhasil menggagalkan rencana penyerangan Belanda terhadap H. Nali dan pasukannya.
Igong saat itu mendapat tugas memimpin pasukan Belanda untuk menangkap H. Nali di rumah kediamannya di Cinangneng Babakan Girang. Di dalam rumah, Igong memeriksa sudut-sudut rumah H. Nali sambil suara berdesah memenggil H. Nali.
“pak Haji”, begitu suara Igong berulang-ulang.
H. Nali sudah mengenali suara Igong dan menjawab sahutan Igong.
“Gong, sia” (kamu Igong) jawab H. Nali.
Lalu, Igong menyarankan agar H. Nali untuk tetap tinggal diam dalam persembunyiannya di dalam “gowah” (tempat menyimpan barang-barang), sementara anak-anaknya disembunyikan di dalam tikar. Igong lalu keluar sambil berkata kepada pasukannya yang menunggu di luar bahwa H. Nali tidak ada di dalam rumah. Igong juga sering menyembunyikan senjata di tempat aman seperti di bawah tumpukan jerami untuk diberikan kepada TKR usai peperangan.
Suatu hari, Edi dan beberapa saudarnya mencangkok pohon jeruk bali di kebun dekat rumahnya. Pasukan Belanda yang sedang menggeledah rumahnya melihat Edi dan saudarnya mencangkok pohon jeruk. Rupanya, pasukan Belanda geram melihat anak-anak Indonesia masih kecil sudah belajar kreatif. Lantas, pasukan Belanda memetik buah jeruk dan menyuruh anak-anak itu bermain sepak bola dengan menjadikan buah jeruk sebagai bolanya.
Ismail sang mata-mata Belanda menghampiri anak-anak itu. “Bagus”, ujar Ismail.
Saat itu, H. Nali bersembunyi di dalam rumput di bawah kandang kambing yang banyak kotoran, sementara pasukan Belanda menusuk-nusuk tempat itu dengan bayonet. Namun, H. Nali selamat dari hunusan bayonet yang tajam itu.
Kini, kalau berbicara tentang masa peperangan dengan Belanda, Edi sering menyindir tentang Ismail.
“Kalau sekarang Ismail masih ada, tolong bawa kemari, saya minta untuk memotong telinganya saja”, ujar H. Edi Sahedi dengan geram.

Musuh Bersahabat

Pertempuran antara pasukan TKR dan sekutu (NICA), juga telah membuat sebagian masyarakat setempat mempunyai kisah unik. Pertempuran yang terjadi di sepanjang jalan Cinangneng (Jalan Abdul Fatah), selain mendapat perlawanan dari H. Nali, juga mendapat perlawanan dari sejumlah tokoh lainnya, seperti H. Ghazali (H. Abing), H. Syarqawi Hizbullah dan H. Marga yang terdiri dari Hizbullah. Sementara itu, pasukan sekutu (NICA) terdiri dari Pasukan India (Gurka), Belanda, Australia dan Inggris.
Ketika kedua pasukan (NICA dan TKR) bertempur di medan perang, sebagian pasukan NICA terlihat gemetar menghadapi pasukan TKR dan Hizbullah. Saat mereka tertangkap, ternyata mereka adalah pasukan dari India (Gurka) yang sama-sama beragama Islam.
TKR dan Hizbullah mengetahui dan menganggap bahwa Gurka adalah “pasukan bayaran” India yang direkrut Inggris untuk menjadi pasukan NICA.
Karena itu, mereka sempat bercakap-cakap dengan TKR, bahkan sebagian menyerahkan senjatanya. Syafei (82) menuturkan, terjadilah percakapan menarik antara orang India (Gurka) dari NICA dengan TKR dan Hizbullah.
Ketika tentara India yang beragama Islam mendatangi seorang laskar Hizbullah, salah seorang NICA bertanya kepada seorang laskar Hizbullah.
“Kok pasukan kamu tidak mempan ditembak”, kata orang India.
“Pasukan kami minum air berkah yang sangat keramat karena dikasih jampi-jampi oleh H. Abing dan H. Syarqawi”, kata laskar Hizbullah.
“Kami membacok pasukan Belanda seperti membacok pohon pisang”, personil laskar Hizbullah melanjutkan.
“Bisakah minta air itu untuk dibawa pulang ke India, biar saya taburin di Sungai Gangga agar menjadi keramat”, pinta orang India.
“Saya terpaksa ikut bertempur di sini (Indonesia), tapi belum pernah menembak orang Indonesia. Lebih baik menjadi pengkhianat dari pada masuk neraka menembaki teman sendiri yang seagama, se-Asia dan sependeritan. Saya ingin bertemu kalian nanti di surga. Perjuangan Anda sangat mulia karena bukan hanya membela negara, tapi juga agama”, lanjut orang India.
“Bangsa Eropa membuat kita neraka dalam peperangan, tapi neraka (peperangan) ini menjadi surga nanti karena membela bangsa dan agama”, ungkap laskar Hizbullah.

Baca Juga:  Dijamu Persita di Kandang Sendiri, Motivasi Persib “Berlipat”

Terus Berjuang!

Selepas pensiun menjadi tentara, H. Nali melanjutkan pengabdiannya untuk memperjuangkan rakyat dengan melakukan kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan di daerah.
Hal yang menarik diteladani dari H. Nali adalah, ketika pasca-kemerdekaan beliau tidak pernah mengharapkan nama dan penghargaan apapun. Meski beliau mendapatkan tanda jasa pahlawan dari presiden RI (Soekarno) tanggal 10 November 1958, tetapi beliau tidak bisa membaca dan menulis hurup latin, karena itu beliau tidak bisa membaca isi tulisan dalam surat tanda jasa tersebut.
Suatu saat, beliau sempat menolak dan marah ketika diberitahukan akan diberi penghargaan berupa uang pensiun. Namun, anaknya Edi Sahedi membujuknya sehingga mau menerima penghargaan tersebut. Konon di kantor pensiunan, ketika H. Nali akan menerima uang pensiun, seorang petugas kantor sempat bertanya.
“Berapa nomor senjata Pak Haji dulu?”, kata petugas.
Mendengar pertanyaan itu, spontan H. Nali menaikan kakinya ke atas meja kantor dihadapan petugas sambil memarahi dan mencaci-makinya.
“Kalau saja dulu kamu ikut pasukan saya, rupanya kamu yang akan mati lebih dulu tertembak Belanda. Paling tidak saya yang tembak kamu karena kerjanya hanya melihat-lihat pistol. Kamu pikir ketika saya mau nembak Belanda sempat melihat-lihat dan mengingat nomor pistol dulu. Yang ada hanya berusaha menembak dengan tepat agar Belanda langsung tertembak mati. Kamu enak menjadi petugas karena sekolah. Bahkan, mungkin menjadi petugas hasil suap. Kalau tidak digaji mungkin kamu protes. Tapi, dulu saya bertugas tidak karena gaji, tapi karena rakyat dan negara. Kalau menghitung-hitung mungkin tidak akan terbayar negara karena harta benda, ladang ternak, kebun bahkan keluarga saya korbankan untuk perang melawan Belanda. Saya memang sudah tua dan kamu masih muda, tapi kalau kamu nantang saya berkelahi dengan kamu, saya siap bertarung sekarang juga. Saya datang ke sini (kantor) karena diajak anak saya atas panggilan kantor ini, kalau saja dikasih pensiun saya terima, kalau tidak juga tidak apa-apa, toh sejak dulu saya bertugas tidak karena gaji pensiunan, begitu Edi Sahedi menceritakan ayahnya.
Atas dasar jasa-jasanya, H. Nali sempat akan diberikan hadiah oleh Negara berupa tempat di sebuah bukit di kaki Gunung Salak yang kini menjadi “Pasir Reungit” (kini tempat wisata Gunung Bundar), tapi beliau menolaknya. H. Adun dan abah Aja merupakan veteran yang sempat mendiami tempat itu. Menurut pengakuan Mad Soleh (cucu H. Nali) yang pernah menemui H. Adun saat ke Gunung Bundar, bahwa ketika tempat itu akan dibeli oleh investor, H. Adun mengatakan, jangankan dibeli, diambil untuk kepentingan negara dan rakyat Ia sanggup memberikannya karena perjuangannya atas dasar keikhlasan semata, tapi kalau untuk kepentingan lain, Ia sanggup berkelahi. Jangankan menghadapi tembakan menghadapi bom pun Ia akan menghadapinya, asalkan dengan penjajah.
Di sekitar kawasan Jasinga beliau pernah mempunyai tempat sangat luas yang diperkirakan kalau tempat itu ditanami pisang akan menghasilkan sekitar 200 truk pisang setiap hari. Hal ini, berawal dari salah satu tamu yang merupakan staf petugas daerah Jasinga (masa lalu) yang datang menemui H. Nali. “Pak Haji saya lurah dari salah satu desa di Jasinga, kebun sudah siap panen tiap hari, terserah pak Haji sekarang bagaimana?”, kata tamu itu. H. Nali, menyarankan agar kebun beserta hasilnya dimanfaatkan untuk masyarakat setempat.
Hingga kini, H. Nali tidak memberitahukan keluarganya termasuk anak-anaknya kecuali kedatangan tamu itu agar keturunannya kelak bersikap mandiri dan tetap semangat berjuang meski tanpa mengangkat senjata. Maklum, H. Nali selain turun berperang juga sebagai kepala Pasbekum (pasukan perbekalan umum) yang mengurusi kondisi TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Pada masa perjuangan, H. Nali sangat teliti melakukan pengawasan seperti makanan untuk tentara. Bayangkan, apabila tentara kekurangan makanan, tentara mungkin mengalami kelaparan atau pihak mata-mata meracuni makanan tentara bisa mati. Konon, H. Nali selalu mengetahui keadaan beras meskipun dalam jumlah banyak. Misalnya persedian beras ada 100 karung, H. Nali mengetahui kalau dalam satu karung itu telah hilang satu liter. Atau beras telah tersisipi racun, beliau dapat mengetahuinya.
Karena itu, anak-anaknya selalu mendapatkan pelajaran agar mempersiapkan makanan terutama nasi dan air di dalam rumah agar tidak kemaluan bila sewaktu-waktu kedatangan tamu.
H. Nali termasuk keras dalam mendidik anak-anaknya. Tanpa pandang bulu tak terkecuali pada anak-anak yang lain diperlakukan sama dalam segala hal, baik pendidikannya atau kasih sayangnya. Bahkan, terhadap masyarakat sekitar. Ia tidak memanjakan anak-anaknya. Namun, paling tidak H. Nali pernah melarang anak bungsunya Iling Saniling untuk pergi ke Jepang belajar tekhnik mesin (terutama mesin). Iling adalah anak H. Nali yang mempunyai hoby dalam masalah otomotif, bahkan meski dalam usia tua, kini Ia masih menggeluti bidang tersebut. H. Nali melarang Iling pergi ke Jepang karena Ia tidak ingin jauh dengan anak-anaknya. H. Nali tidak pernah memperkenankan anak-anak dan cucunya menjadi tentara. Maklum, pengalaman H. Nali bahwa tentara harus berlatih perang langsung berhadapan dengan Belanda.
Ia juga benci dengan orang yang makan buah-buahan di atas pohon, dan mengatakan orang yang makan di atas pohon seperti monyet karena membiarkan yang di bawah tak kebagian makan. Bila makan ikan atau nasi harus sampai kenyang, terutama makan ikan harus sampai kepalanya.
Banyak pelajaran-pelajaran dari H. Nali yang merupakan kepedulian terhadap sosial, bahkan sempat melarang anak-anak dan cucunya menduduki jabatan di pemerintahan karena khawatir jabatan itu akan bertolak belakang dengan sifat kedermawanan sosial dan perjuangan bagi bangsa. Karena itu, H. Nali berusaha mendidik anak-anak dan masyarakat untuk menumbuhkan sikap kemandirian.

Baca Juga:  Kapten Muslihat Sang Pahlawan Nasional

Realitas

Melihat kondisi bangsa masa kini sungguh sangat memprihatinkan karena berkurangnya semangat perjuangan bangsa. Kalau dulu pejuang bangsa menolak menerima penghargaan materi asalkan saja bangsa Indonesia bangkit maju dari keterpurukan. Kini, banyak yang berbondong-bondong masyarakat ingin memilih kerja sebagai pensiun denan alasan kesejahteraan di hari tua. Namun, banyak anggota PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang kerja bermalas-malasan, seperti bolos pada saat kerja.
Sikap ketergantungan pada lembaga-lembaga asing merupakan cermin bahwa bangsa ini belum selesai terjajah meski dalam bentuk yang berbeda.
Bayangkan, sekitar 300 ribu sarjana di Indonesia setiap tahunnya menjadi pengangguran, Kemiskinan belum mengalami penurunan yang signifikan. Bahkan, seiring meningkatnya harga-harga bahan pokok, kemiskinan mungkin akan terus bertambah.
Carut marutnya hukum dan keamanan di Indonesia masih belum tertatasi. TKI (Tenaga Kerja Indonesia) Indonesia baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang memperjuangkan haknya belum mendapatkan pelayanan dan perlindungan dengan baik.
Di masa lalu, “jeger” pun ikut membela rakyat dan tanah air, kini banyak freeman yang malah melakukan pemalakan, keonaran dan bersikap kurang memperdulikan moralitas bangsa di negeri sendiri. Budaya mereka sudah tidak menentu, seperti tawuran-tawuran antar geng, bahkan tawuran sering terjadi di antara pelajar-pelajar Indonesia.
Gaung reformasi yang dilakukan para pelajar dan mahasiswa malah menjadi kendaraan politik elit-elit baru yang haus kekuasaan. Ironisnya lagi kaum muda malah lebih tertarik budaya luar dari pada budaya bangsa sendiri. Anak-anak muda malah banyak disuguhkan tontonan-tontonan kekerasan sesama bangsa sendiri dan sikap memanjakan diri (hedonisme).
Kini, apakah peringatan hari pahlawan nasional akan terlewati begitu saja tanpa makna dan arah yang jelas untuk membangun bangsa ke arah yang dicita-citakan para pejuang bangsa ini dahulu.
Mari, mulai saat ini bangsa Indonesia maju untuk bangkit melawan penjajahan baru yaitu penjajahan ekonomi yang menjadikan bangsa tidak mandiri, kemiskinan, kebodohan dan kesengsaraan yang selama ini selalu menjadi alat pihak-pihak tertentu untuk meraup keuntungan sepihak dalam mengusung kekuasaan semata.
Selayaknya, hal ini merupakan tugas utama pemerintah dalam memenuhi harapan bangsa. Tapi, kalau pemerintah hanya memikirkan politik untuk tahun 2009 an sich, subhanallah.

About Author: Damar Alfian

Gravatar Image
Damar Alfian adalah seorang penulis dan kontren kreator di Bandung, Jawa Barat. Dia juga sebagai kontributor di beberapa media online.