Kisah Tragedi Pembantaian Etnis Muslim Rohingya Dari Dulu Hingga Kini

by -984 views

Foto diatas pernah di-share oleh Maher Zain, bahkan R10 pun turut membaginya di Facebook. Foto ini aslinya adalah foto demonstran muslim yang ditangkap oleh aparat Thailand saat konflik dengan umat Budha Thailand. Kejadiannya di Pattani, Thailand pada Oktober 2004 (http://www.catatan-r10.com)

Selain dibantai, Etnis Muslim Rohingya juga ditolak kehadirannya di negeri Birma. Lebih menyedihkan lagi, presiden Myanmar, Thein Sein melontarkan pernyataan kontroversial mengusir Muslim Rohingya sebagai penyelesaian konflik bernuasa etnis dan agama di negara itu. Bahkan dia menawarkan kepada PBB jika ada negara yang bersedia menampung mereka.

Nasib Muslim Rohingnya semakin mengkhawatirkan. Di negaranya sendiri dianggap sebagai warga negara illegal  dan di luar negara tidak diterima. Ribuan orang Muslim Rohingya menjadi korban pembantaian.  Berdasarkan catatan pemerintah Myanmar, sejak insiden kekerasan pertama kali terjadi, sebanyak 78 warga Rohingya tewas, sementara 90 ribu penduduk minoritas itu kehilangan rumah dan harus hidup di penampungan. Dari data tidak resmi, korban tewas hampir pasti mencapai 650 jiwa. Beberapa sumber bahkan menyebut ribuan muslim Rohingya tewas selama dua bulan terakhir. Kejadian pembantaian etnis Rohingya terjadi ketika pada awal Juni 2012, 10 pemuda muslim dibantai hingga tewas saat naik bus di perjalanan.

Tragedi Terkini Pembunuhan 10 orang Etnis Muslim Rohingya

Kisah tragedi terkini yang memilikan itu terjadi ketika dalam perjalanan menuju rumah dari tempat bekerja  sebagai tukang jahit, Ma Thida Htwe, seorang gadis Buddha berumur 27  tahun, putri U Hla Tin, dari perkampungan Thabyechaung, Desa Kyauknimaw,  Yanbye, ditikam sampai mati oleh orang tak dikenal. Lokasi kejadian  adalah di hutan bakau dekat pohon alba di samping jalan menuju  Kyaukhtayan pada tanggal

Penyelidikan menunjukkan bahwa Htet Htet (a) Rawshi tahu rutinitas  sehari-hari korban yang pulang-pergi antara Desa Thabyechaung dan Desa  Kyauknimaw untuk menjahit. Menurut pengakuannya dia berbuat dipicu oleh  kebutuhan uang untuk menikahi seorang gadis, dan berencana untuk  merampok barang berharga yang dipakai korban. Bersama dengan Rawphi dan  Khochi warga muslim Bengli. Rawshi menunggu di pohon alba dekat tempat kejadian. Tak lama Ma  Thida Htwe yang diincarnya datang dan berjalan sendirian, ketiganya  lalu menodongkan pisau dan membawanya ke hutan. Korban lalu diperkosa  dan ditikam mati, tak lupa merenggut lima macam perhiasan emas termasuk  kalung emas yang dikenakan korban. Untuk menghindari kerusuhan rasial dan ancaman warga desa kepada para  tersangka, aparat kepolisian setempat bersiaga dan mengirim tiga orang  pelaku tersebut ke tahanan Kyaukpyu. Sehubungan dengan kasus Ma Thida Htwe yang dibunuh, sekelompok orang yang terkumpul dalam Wunthanu Rakkhita  Association, Taunggup, membagi-bagikan selebaran kepada penduduk lokal di tempat-tempat ramai di Taunggup,  disertai foto Ma Thida Htwe dan memberikan penekanan bahwa massa Muslim  telah membunuh dan memperkosa dengan keji wanita Rakhine. Sorenya tersiar kabar bahwa ada mobil yang berisikan orang  Muslim dalam sebuah bus yang melintas dari Thandwe ke Yangon dan  berhenti di Terminal Bus Ayeyeiknyein. Petugas terminal lalu memerintahkan bus untuk berangkat ke Yangon dengan segera. Bus berisi penuh sesak oleh penumpang. Beberapa orang dengan mengendarai sepeda motor mengikuti bus. Ketika bus  tiba di persimpangan Thandwe-Taunggup, sekitar 300 orang lokal sudah  menunggu di sana dan menarik penumpang yang beridentitas Muslim keluar  dari bus. Dalam bentrokan itu, sepuluh orang Islam tewas dibantai dan bus juga dibakar  hancur luluh lantak.

Baca Juga:  Berbelanja Baju Lebaran dengan Bijak

Etnis Rohingya

Rohingya adalah grup etnis yang kebanyakan beragama Islam di Negara Bagian Rakhine Utara di Myanmar Barat. Populasi Rohingya terkonsentrasi di dua kota utara Negara Bagian Rakhine sebelumnya disebut Arakan. Etnis Rohingya adalah masyarakat muslim yang hidup tanpa kewarganegraan di Myanmar. Muslim Myanmar hanya berjumlah 4% dari total populasi Myanmar dan menjadikan etnis Rohingya minoritas. Etnis Rohingya tinggal di perbatasan Myanmar dan Bangladesh sejak wilayah itu masih menjadi jajahan Inggris. Namun, saat kedua negara itu merdeka, mereka mendapat perlakuan buruk. Walau sama-sama beragama muslim, etnis Bengal selaku mayoritas di Bangladesh enggan mengurus mereka. Hal ini menyebabkan banyak keluarga Rohingya nekat menetap di Myanmar.

Etnis Rohingya hidup di perbatasan dengan Bangladesh,  sangat mudah untuk mengusir masyarakat Rohingya untuk meninggalkan Myanmar dan menetap di Bangladesh. Sebelumnya pada perang dunia ke II, banyak masyarakat Rohingya yang juga berimigrasi ke Bangladesh dan saat ini yang menetap di Rohingya hanya 90.000 orang. Banyak konspirasi yang berkembang di Asia mengenai Rohingya, ada yang mengatakan muslim sebagai teroris, ada juga yang mengatakan muslim tidak mau murtad dan memeluk Budha hingga akhirnya dibunuh. Namun, dibandingkan dengan sekedar konspirasi, fakta yang berkembang adalah dibantainya etnis Rohingya di Myanmar.

Pada tahun 1988, muncul sistem baru di Myanmar. Walaupun rezim otoriter militer yang memimpin, tapi Myanmar menggunakan sistem pasar. Ketika itu ada undang-undang baru yang namanya The Union of Myanmar Foreign Investment Law. Payung hukum ini adalah perlindungan terhadap sektor eksplorasi dan pengembangan sektor minyak dan gas alam yang melibatkan korporasi-korporasi asing.

Pada kasus Arakan ini adalah pertarungan soal minyak dan gas bumi. Pada tahun 2005, perusahaan gas Cina menandatangani kontrak gas dengan pemerintah Myanmar untuk mengelola eksplorasi minyak. Dari konflik kepentingan ekonomi itu dari konflik ekonomi menjadi konflik sosial secara horisontal. Pihak rezim militer di Myanmar dari era Ne Win hingga sekarang ini, ternyata telah melibatkan perusahaan asing semacam Chevron AS maupun Total Perancis, padahal kedua negara ini kan di permukaan mengangkat isu hak asasi manusia. Tampaknya sulit dihindari dugaan ada pertarungan bisnis yang bermain melalui pintu belakang dari rezim militer Myanmar.

Baca Juga:  Waspada, Cuaca Ekstrim di Bogor Hingga 4 Januari

Upaya sengaja untuk merampas hak atas tanah, penolakan kewarganegaraan, pembantaian massa, pengusiran, pembakaran pelarangan pelaksanaan ibadah, penutupan jalur pasokan makanan, dan sejumlah tindakan brutal lainnya adalah sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (HAM)

Tindakan diskriminatif yang menimpa Muslim Rohingya berlatar belakang agama. Ini tidak bisa dibiarkan terus berlangsung. Penganiayaan yang dilakukan dengan cara-cara militer kepada warga sipil harus segera dihentikan. Seluruh bangsa-bangsa di dunia harus bertanggungjawab atas nasib dan masa depan suku Rohingya di Myanmar. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh tentara Myanmar ini tidak dapat ditolerir atas nama apapun. Bahkan, tindakan-tindakan ini mengindikasikan telah terjadinya skenario pembasmian etnis terhadap kaum muslim Rohingya.

Konflik Horisontal Antar Agama

Ternyata bukan hanya ditekan oleh militer dan pemerintahan Birma. Etnis muslim Rohingyapun juga menjadi sumber konflik horisontal antar agama.  Konflik horisontal ini semakin memanas ketika para tokoh pemuka agama sudah mulai ikut melakukan intervensi. Di sejumlah titik dekat pengungsian, sekelompok biksu mengeluarkan selebaran berisi peringatan kepada warga Myanmar untuk tidak bergaul dengan Muslim Rohingya. Sementara selebaran lainnya berisi rencana untuk memusnakah kelompok etnis lain di Myanmar. Lebih rumit lagi, ketika dua organisasi biksu terbesar di Myanmar, Asosiasi Biksu Muda Sittwe dan Asosiasi Biksi Mrauk Oo menyerukan agar warga Myanmar tidak bergaul dengan Muslim Rohingya. “Muslim Rohingya bukanlah kelompok etnis Burma. Mereka akar penyebab kekerasan,” kata salah seorang pemimpin biksu, Ashin Htawara dalam sebuah acara di London.

Direktur Arakan Project LSM lokal, Chris Lewa, mengungkapkan “Biarawan Myanmar disebut turut andil menyebarkan kebencian terhadap Muslim Rohingya. Beberapa tahun terakhir, para biksu memainkan peranan dalam penolakan masuknya bantuan kepada umat Islam,”  Beberapa anggota badan kemanusiaan di Sittwe juga ikut bersaksi bahwa   sejumlah biksu ditempatkan dekat kamp pengungsi. Mereka memeriksa setiap orang yang berkunjung lantaran khawatir akan memberikan bantuan. Para pengamat mengatakan, biksu Myanmar terlihat memblokir bantuan internasional yang ditujukan untuk pengungsi muslim. Di Sittwe misalnya, para biksu menolak untuk mengizinkan masuknya bantuan internasional. Menurut mereka, bantuan itu sangat bias. Amnesty Internasional mengatakan selepas bentrokan Muslim Rohingya kerap mendapat serangan fisik. Bahkan tak jarang jatuh korban.

Baca Juga:  Warga Subang Mulai Sulit Dapatkan Air Bersih

Ditolak dimana-mana

Diperkirakan, sebanyak 800 ribu Muslim Rohingnya tinggal di Myanmar. Namun, pemerintah menganggap mereka sebagai orang asing dan warga Myanmar juga menyebut mereka pendatang haram dari Banghladesh. Kondisi Muslim Rohingnya semakin mengkhawatirkan karena dunia tidak mempedulikannya. Bangladesh sendiri tidak bersedia menampung mereka dengan alasan tidak mampu. Sehingga banyak pengungsi Rohingya ke Bangladesh dipulangkan kembali begitu tiba di Bangladesh. Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina, menyatakan negaranya tidak ingin ikut campur soal nasib pengungsi Rohingya. Kekerasan dua bulan terakhir yang menimpa etnis minoritas itu bagi dia urusan pemerintah Myanmar. Jangankan mendapat perlindungan, diperlakukan layak saja sudah sangat beruntung. Setibanya di pantai-pantai Bangladesh, mereka dikumpulkan dan dijaga ketat oleh aparat bersenjata lengkap. Di bawah todongan senjata mereka dibariskan lalu diberi nasi bungkus dan satu botol air minum.

Tentara militer dengan menggunakan senapan serbu semi-otomatis yang biasa digunakan dalam perang itu, kemudian menggiring mereka ke dermaga. Setelah itu mereka disuruh naik ke sampan-sampan yang jauh dari layak untuk menyeberangi lautan. Dengan tanpa belas kasihann sedikitpun para militer tersebut melakukan perintah komandannya untuk memaksa para pengungsi itu untuk masuk ke sampan itu lalu kembalilah ke laut.

Di Bangladesh ditolak di Burma diusir, sehingga para Muslim tak berdaya terkatung-katung di laut tidak tahu harus kemana.  Tak peduli mereka mau kemana yang pasti tidak merepotkan Bangladesh. Praktis Muslim Rohingya itu kebingungan harus kembali ke mana. Sebab, di Myanmar mereka tidak diterima bahkan disiksa dan di Bangladesh juga diusir-usir. Bahkan Presiden Myanmar Thein Sein mantan jenderal militer itu mendukung kebijakan yang mendorong terjadinya penghapusan etnis. Thein Sein mengatakan, sekitar 800 ribu etnis Rohingya harus ditempatkan pada kamp pengungsi dan dikirim ke perbatasan Bangladesh. Lebih menyedihkan lagi ketika pejuang demokrasi Myanmar sekaligus peraih Hadiah Nobel Perdamaian, Aung San Suu  Kyi memilih diam menghadapi kebijakan Presiden Thein Sein dalam menyelesaikan kasus etnis Rohingya.

Saat ini etnis Muslim Rohingya mungkin salah satu kelompok yang paling teraniaya di dunia.   Etnis Rohingya tak boleh ada di Myanmar dan tidak diterima di bangladesh. Tak ada pilihan selain naik sampan dan akhirnya terkatung-katung di samudera luas. Banyak di antara mereka yang gagal menaklukan ganasnya samudera sehingga harus tewas dan dikuburkan di lautan. Mudah-mudahan doa para teraniaya itu dapat menyelematkan mereka atas upaya manusia tidak berperikemanusiaan untuk membasminya di muka bumi ini.

http://demokrasiindonesia.wordpress.com, Posted on Juli 29, 2012