Oleh. Najmudin Ansorullah
Meski Indonesia mempunyai kekayaan sumber daya alam, masalah yang tengah dihadapi bangsa ini begitu pelik. Masyarakat masih memikul beban berat seperti bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, termasuk kemiskinan dan lain-lain.
Apalagi kalau melihat gejala-gejala alam yang sampat saat ini masih sering terjadi. Kemudian warga kembali dihadapkan pada kondisi lingkungan kurang baik. Kasus perusahaan seperti PT. Freeport tahun lalu yang dirasakan masyarakat Papua sudah mencemari sungai-sungai di sekitarnya. Lalu, giliran warga merasakan kehadiran timbunan sampah sudah membuat aroma tidak sedap dan mengganggu lingkungan mereka.
Kiranya, sudah cukup kesempatan yang diberikan terhadap bangsa ini untuk saatnya bangkit memikirkan nasib bangsanya sendiri dalam menyelami permasalahan yang nyata di depan mata.
Sampah Modern
Setiap hari masyarakat banyak mengonsumsi barang-barang. Barang-barang itu tidak semua terpakai, melainkan ada sebagian yang dibuang, itulah yang dinamakan sampah. Masalah sampah menjadi perhatian serius, karena selain menyangkut dampak kesehatan terhadap warga maupun lingkungannya agar terhindar dari penyakit, juga dapat menyebabkan terjadinya bencana alam, seperti banjir, longsor dan lain-lain.
Dahulu masyarakat kurang banyak mengkonsumsi barang-barang yang mengandung zat-zat kimiawi, tapi kini masyarakat sudah terbiasa dengan memakan yang serba instant dan gemar membuang bungkusan barang-barang konsumsi, yang dalam bahasa Alfin Toflfer (1988), disebut “masyarakat yang serba membuang” dalam “kesementaraan”.
Melihat kota-kota besar di Indonesia seperti Jabotabek, Bandung dan lain-lain sudah banyak yang berpola hidup mewah dan meninggalkan gaya hidup secara tradisional. Super market dan tempat belanja besar lainnya banyak tersedia, karena itu masyarakat tinggal memesan atau mendatangi secara cepat pesanan mereka dari berbagai barang komoditas.
Dalam kebutuhan rumah tangga warga banyak mengonsumsi barang-barang bermuatan bungkus plastik, kaleng, atau benda-benda keras lainnya yang siap untuk dibuang. Maka, pantas misalnya jika dari 2,5 juta jiwa di kota Bandung memproduksi 7.500 meter kubik sampah. Sebagian besar sampah rumah tangga. Apalagi di kawasan Jakarta yang penduduknya lebih padat. Menurut data Dinas Kebersihan DKI Jakarta tahun 2005, sampah di TPA Bantar Gebang mencapai 6.000 ton perhari. 3.100 ton, merupakan sampah yang dihasilkan dari limbah aktivitas rumah tangga dan permukiman penduduk Jakarta (Kompas, 15/05).
Seiring dengan rencana pasar bebas, arus jumlah barang-barang yang “berseliweran” ke Indonesia mungkin akan lebih besar kapasitasnya. Masyarakat dibutuhkan ketangkasannya dan sikap yang produktif untuk mengantispasi kecenderungan dampak buruk dari globalisasi.
Mengingat dalam memenuhi kebutuhannya, masyarakat Indonesia sampai saat ini masih lebih gemar mempergunkanan produk luar negeri daripada produk domestik. Jika tidak diantisipasi lebih awal, masyarakat Indonesia hanya akan kebanjiran sampah-sampah barang modern imbas globalisasi dan budaya masyakatnya yang masih konsumtif.
Globalisasi dengan indikasinya perdagangan bebas seharusnya tidak dijadikan “kambing hitam” sebagai pencemar lingkungan, karena pada akhirnya masyarakat dituduh sebagai pelaku pencemaran barang-barang konsumsi. Perusahaan-perusahaan yang mengeluarkan limbah paberik juga besar dalam menyumbangkan sampah.
Penanggulangan masalah sampah merupakan tanggung jawab bersama setiap warga. Pengelolaan sampah seharusnya dilakukan dengan keputusan yang lebih arif. Jika memang perlu dilakukan dengan teknologi, maka teknologi itu harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat, yakni teknologi ramah lingkungan, berjangka panjang serta tepat guna agar sampah-sampah tersebut tidak selalu menumpuk.
Di kota-kota besar, bila musim hujan tiba kita sering melihat genangan air. Banjir tidak terelakan, sehingga menyebabkan warga harus mengungsi. Selokan sudah sangat keruh dengan kotoran sampah yang menghalangi arus air. Masyarakat seakan sudah terbiasa dengan kondisi menjenuhkan itu, seperti kesulitan dalam mendapatkan air bersih untuk keperluan minum atau mandi.
Bantaran kali yang sudah tercemar kotoran industri, terpaksa dijadikan tempat pemandian. Kelangkaan air bersih perlu penangan serius karena sudah merupakan kebutuhan primer masyarakat.
Seiring dengan pembangunan industri yang terlanjur pesat, pengolahan limbah-limbah industri yang membahayakan harus segera dipikirkan, seperti dengan mendaur ulang limbah-limbah kotoran dengan memanfaatkan teknologi ramah lingkungan. Pola pembuangan sampah tidak boleh dibiarkan seenaknya tanpa memikirkan akibatnya.
Bayangkan, untuk menghancurka kaleng-kaleng atau plastik hingga menjadi tanah kembali itu memakan waktu lama dibandingkan dengan pembuatan kaleng-kaleng yang setiap hari diproduksi. Hal itu sangat sulit, bahkan bisa dikatakan tidak mungkin. Daur ulang harus dilakukan dengan mengambil langkah-langkah cermat, ramah lingkungan dan tidak menjadikan dampak buruk terhadap keberlangsungan makhluk hidup.
Sedikit saja membuat kesalahan terhadap keberlangsungan makhluk hidup dalam mengambil langkah-langkah daur ulang kotoran sampah, dan jika sampah terus dibiarkan menumpuk berlarut-larut, maka tidak menutup kemungkinan tanah Indonesia akan lebih banyak kotoran industri dari pada lahan-lahan bersih. Dengan begitu ancam bukan saja ditujukan pada manusia, tapi seluruh makhluk baik yang bernyawa maupun tidak. Setiap yang tumbuh di negeri ini akan ikut terancam punah.
* Penulis pemerhati masalah lingkungan