IMMC: Putaran Kedua, Pertarungan Kekuatan Parpol dan Figur
Riset media yang dilakukan Indonesia Media Monitoring Center (IMMC) tentang Pemilukada Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta 2012 menunjukkan fakta menarik. Pengaruh figur semakin kuat dan signifikan dalam proses penggalangan dukungan politik. Jika sebelumnya partai politik memegang peranan tunggal sebagai alat konsolidasi politik, kini sosok figur harus semakin diperhitungkan.
Riset media yang dilakukan IMMC menunjukkan bahwa dalam komposisi pemberitaan media massa nasional, figur Calon Gubernur DKI 2012 ini semakin mendominasi sumber-sumber pemberitaan. Pada ajang Pemilukada DKI sebelumnya, fokus media banyak terserap pada partai politik sebagai sumber pemberitaan. Karena partai politik dianggap sebagai alat konsolidasi politik yang efektif dan solid.
Dalam rilis media yang dikirimkannya, IMMC menunjukkan bahwa dari total pemberitaan Pemilukada DKI putaran kedua ini, sekitar 58% sumber pemberitaan mengacu pada dua figur pasangan cagub yang bersaing, yaitu Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) dan Joko Widodo-Basuki (Jokowi-Ahok). Sementara sumber pemberitaan yang berasal dari partai politik sebesar 37%. Selain dari dua sumber tersebut, pemberitaan bersumber dari berbagai elemen politik yang lain.
“Dalam perspektif analisis media, sumber pemberitaan salah satu bagian penting pembentuk paradigma politik yang terbentuk di publik. Mengacu pada hasil riset, terlihat bahwa keberadaan figur menjadi semakin penting. Pada saat yang sama, kekuatan figur ini mulai menggeser dominasi partai politik yang selama ini kerap menjadi single fighter,” demikian dijelaskan Muhammad Farid, Direktur Riset IMMC, dalam rilisnya.
Lebih lanjut, Farid menjelaskan bahwa hasil yang konsisten juga terlihat jika hasil riset tersebut diturunkan pada tingkat masing-masing cagub. Kecenderungan penguatan sosok figur itu terlihat baik pada Foke maupun Jokowi. Dari semua sumber pemberitaan tentang pasangan Foke-Nara, 35% bersumber pada figur Foke. Sementara partai politik pendukungnya hanya 20%. Sementara Jokowi sekitar 20% dan partai pendukungnya 17%.
“Jadi, figur saat ini tidak lagi menjadi elemen pelengkap saja. Malah sebaliknya, dalam batas tertentu bisa melampaui pengaruh dan kekuatan partai politik. Apakah ini merupakan gejala awal dari sebuah horizon politik baru di Indonesia ke depan? Tentu saja, ini hipotesa baru dalam perspektif analisis media. Jadi, masih perlu dikomparasikan dengan perspektif yang lainnya untuk lebih mendapatkan hasil yang valid. Tapi setidaknya Pemilukada DKI ini memperlihatkan indikasi tersebut,” jelas Farid.
Apakah itu artinya bahwa koalisi partai politik tidak akan efektif? Menurut Farid, dalam konteks ini antara Foke dan Jokowi ada perbedaan strategi. Riset IMMC menunjukkan bahwa Foke masih memberikan perhatian penuh pada konsolidasi dukungan partai terhadap dirinya. Dari semua pemberitaan tentang dukungan terhadap Foke, sebesar 71% berupa dukungan partai politik, dan hanya 28% yang berasal dari tokoh atau masyarakat secara langsung. Sementara Jokowi sebaliknya, 59% pemberitaan tentang dukungan tokoh atau masyarakat dan 40% dari partai politik.
“Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa pada putaran kedua ini, kedua cagub sudah mengetahui fokus penggalangan konsolidasi kekuatan politiknya. Karena sudah tahu tidak didukung oleh koalisi partai dominan, Jokowi menyalurkan energi kampanyenya langsung ke kantong-kantong masyarakat. Sementara Foke sepertinya masih percaya pada kekuatan konsolidasi partai untuk menggerakkan para loyalisnya,” jelas Farid.
Farid menambahkan bahwa semua itu soal cara pandang dan cara merespon fakta di lapangan oleh masing-masing kandidat. Kedua kandidat memang dihadapkan pada pilihan strategi, karena Pemilukada DKI ini memiliki tingkat dinamika yang cukup tinggi. Bahkan mengarah pada fluktuasi politik. Berbeda dengan Pemilukada di darah lain pada umumnya yang relatif statis. “Sejauh mana cara pandang dan strategi tersebut tepat sasaran, hasil Pilgub nanti akan menjawabnya. Dan ini akan menjadi blue print semua partai politik dalam menatap Pemilu 2014 nanti,” tambah Farid.
IMMC: Intensitas Black Campaign Semakin Marak
Riset media yang dilakukan Indonesia Media Monitoring Center (IMMC) menunjukkan bahwa isu black campaign pada Pemilukada Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta 2012 sangat tinggi. Ini berbeda jauh dengan ajang Pemilukada DKI periode sebelumnya. “Ini salah satu degradasi dalam demokratisasi politik yang kita prihatinkan bersama. Apalagi di Pemilukada DKI yang sebenarnya merupakan prototype progresifitas perpolitikan Indonesia di tingkat nasional,” jelas Muhammad Farid, Direktur Riset IMMC, dalam rilisnya.
Riset IMMC menjaring berbagai isu yang muncul dalam pemberitaan Pemilukada DKI 2012 putaran kedua ini. Hasilnya, ada tiga isu besar yang muncul, yaitu: kegiatan masing-masing pasangan cagub, dinamika di social media, dan black campaign. Dari ketiga isu itu, black campaign yang paling dominan, yaitu 48%. Sementara kegiatan kedua cagub 43% dan sosial media 8%.
“Bisa dilihat bahwa isu-isu yang mengarah pada kampanye hitam sangat tinggi intensitasnya. Bahkan mengalahkan isu-isu yang lain. Isu ini dalam konteks yang umum. Baik berbentuk tuduhan, bantahan, sanggahan dan lain sebagainya. Kami menangkap semua bentuk isu yang terkait dengan black campaign, mengkoversikannya dalam persentase dan mengkomparasikannya dengan isu-isu yang lain. Dan hasilnya menunjukkan bahwa black campaign sangat mendominasi ‘lalu lintas’ opini media dan publik di putaran kedua ini,” Farid menjelaskan.
Farid menambahkan, “Jelas ini bukan bukan iklim yang baik untuk sebuah proses demokratisasi. Kita tidak dapat memastikan secara valid dari mana isu-isu semacam ini bersumber dan kemudian merebak sebagai isu publik. Karena sudah sangat carut marut dengan berbagai kepentingan kelompok.”
Riset IMMC menunjukkan ada tiga pola black campaign ini, yaitu isu SARA, isu tentang prestasi-prestasi kepemimpinan yang dituduh tidak valid dan isu tentang orientasi politik tersembunyi yang ingin dicapai seorang kandidat. “Riset kami menunjukkan bahwa isu SARA merupakan yang tertinggi, 69%. Sementara isu orientasi politik 19% dan prestasi yang tidak valid 11%. Isu ini berkembang pesat pada tingkat opini publik. Maisng-masing cagub sama-sama merasakan imbas dari isu-isu yang tidak produktif ini,” jelas Farid.
Menurut Farid, dominannya isu black campaign ini merupakan defisit tersendiri dalam progresifitas perpolitikan nasional. Dan sebagai sebuah fakta, ini penting untuk dianalisis lebih lanjut, agar bisa ditelisik latar belakangnya, modus, pola dan bagaimana tingkat pengaruhnya terhadap perilaku pemilih.
“Selama ini, berbagai riset menyimpulkan bahwa era politik yang bernuansa sektarian sudah tidak relevan lagi. Bisa saja, fenomena merebaknya isu black campaign di Pemilukada 2012 ini hanya pada tingkat opini media semata, tidak merepresentasikan karakter politik pemilih. Ini sangat mungkin terjadi, mengingat Pemilukada DKI putaran kedua ini juga melibatkan ‘perang’ opini media dan publik secara gencar oleh masing-masing kandidat,” jelas Farid.
Tapi menurut Farid, fakta yang lebih meyakinkan akan terlihat pada hasil Pemilukada 20 September nanti. Hasil itu bisa menjadi salah satu teropong dalam menelaah fenomena politik Jakarta, kaitannya dengan isu-isu sektarian dan agama.
Secara umum, Farid berpandangan bahwa proses demokratisasi harus terus diarahkan pada iklim politik yang positif dan produktif. Salah satunya dengan menghindari berbagai isu-isu yang bernuansa SARA. Para kandidat harus berkomitmen untuk fokus pada isu program, visi, gagasan dan adu argumentasi yang ilmiah dan rasional.
IMMC: Koalisi Berhenti pada Komitmen Saja, Minus Aksi Politik
Sejauh mana mesin partai politik akan efektif bekerja pada Pemilukada DKI Putaran kedua ini? Hasil riset media yang dilakukan Indonesia Media Monitoring Center (IMMC) menunjukkan bahwa salah satu kelemahan partai politik adalah kesungguhan untuk menurunkan komitmen dan konsolidasi politik menjadi program aksi. Ini terlihat dari masih minimnya program aksi sebagai kelanjutan dari penggalangan konsolidasi dan komitmen politik pada tingkat partai politik.
“Perspektif analisis media menunjukan bahwa pemberitaan masih banyak didominasi oleh soal komitmen dan konsolidasi politik koalisi parpol. Hasil riset IMMC menunjukkan bahwa pemberitaan tentang isu dukungan terhadap Foke-Nara, 38% didominasi oleh soal komitmen politik, 23% konsolidasi politik dan 19% kontrak politik. Sementara program aksi politik hanya 2,4%. Untuk cagub Jokowi-Ahok, pemberitaan tentang komitmen politik 25%, konsolidasi politik 18%, kontrak politik 15% dan program aksi 9%,” demikian disampaikan Muhammad Farid, Direktur Riset IMMC, dalam rilisnya.
Jadi, lanjut Farid, fokus utama partai politik masih pada penguatan komitmen, konsolidasi dan kontrak politik. Padahal, ketiga hal tersebut tidak akan berdayaguna secara efektif dan efisien, jika tidak ditindaklanjuti dengan program aksi. Yang tersentuh oleh komitmen, konsolidasi serta kontrak politik hanyalah elite partai itu sendiri. Masyarakat pada umumnya, sebagai calon pemilih, tidak merasakan horizon dari komitmen itu.
“Saya kira, jika selama ini banyak dipertanyakan efektifitas mesin politik partai, dalam perspektif tertentu, hasil riset ini membuka sedikit petunjuk. Partai politik sepertinya merasa sudah tuntas tanggungjawab politiknya, ketika sudah mencapai komitmen, konsolidasi dan kontrak politik. Padahal, sebenarnya itu baru step awal. Step selanjutnya yang harus dijalankan adalah realisasi melalui program aksi secara intensif, integrated dan loyal. Agar komitmen itu turun hingga ke level akar rumput. Saya kira, ini yang menjadi salah satu kealpaan kinerja partai: konsolidasi minus aksi,” jelas Farid.
Riset IMMC tentang dukungan parpol Golkar dan Partai Keadilan dan Sejahtera (PKS) kepada Foke-Nara memperkuat kesimpulan diatas. Dari semua pemberitaan tentang dukungan Golkar pada pasangan Foke-Nara, sebesar 37% didominasi soal komitmen politik, 20% konsolidasi, sementara program aksi hanya 3%. Dukungan PKS pada pasangan Foke-Nara juga didominasi oleh soal kontrak politik (30%) dan komitmen politik (21%). Sementara program aksi hanya 1,8%.
Pasangan Jokowi-Ahok juga mengalami problem serupa. Komitmen, konsolidasi dan kontrak politiknya dengan PDIP dan Gerindra belum diturunkan secara nyata dan efektif dalam bentuk program aksi. Dalam batas tertentu juga masih terkesan elitis.
Riset IMMC juga menunjukkan bahwa para petinggi parpol meningkatkan komunikasi dan statement politiknya.
“Dalam beberapa pekan terakhir ini, banyak dari orang nomor satu di parpol yang intensif memberikan statement politik terkait Pemilukada DKI. Mulai dari Lutfi Hasan Ishaq dari PKS, Taufik Kiemas dan Megawati dari PDIP, Anas Urbaningrum dari Demokrat, Suryadharman Ali dari PPP, dan yang lain. Ini mengindikasikan dua hal. Pertama, salah satu bentuk penegasan komitmen parpol yang mereka pimpin pada kontrak politik yang disepakati. Kedua, sekaligus juga untuk mengantisipasi terjadinya ketidaksolidan pada tingkat akar rumput. Itu penegasan dan peneguhan. Dengan kata lain, ada kekhawatiran bahwa komitmen pada tingkat elite tidak menular pada massa dibawah. Sehingga merasa perlu diteguhkan dengan statement-statement langsung oleh elite parpol,” jelas Farid.
Kekhawatiran itu, lanjut Farid, seharusnya tidak perlu terjadi, jika saja parpol-parpol menindaklanjuti komitmen dan kontrak politiknya pada level program aksi politik.
Menurut Farid, memang ada kemungkinan bahwa program aksi politik tidak terpotret sepenuhnya oleh pemberitaan media. Namun jika merujuk keluhan yang sudah lama muncul tentang lemahnya kinerja mesin politik partai, tampaknya hasil riset ini tentang minimnya program aksi parpol, menunjukkan indikasi yang kuat sebagai salah satu penyebabnya.
Persoalan inilah yang dalam jangka panjang kemudian menyebabkan terjadinya pergeseran dari politik berbasis kekuatan parpol menjadi kekuatan figur. Fenomena ini juga yang menjadi salah satu kesimpulan lain dalam hasil riset media IMMC. Bahwa ternyata pengaruh figur semakin signifikan dan berpengaruh, tidak lagi didominasi parpol.
“Jadi, jika parpol ingin kembali memiliki pengaruh, maka harus ada upaya serius dan keras untuk tidak hanya berhenti pada tataran komitmen, konsolidasi dan kontrak politik,” imbuh Farid.
IMMC: Peran Sosial Media Di Pilgub DKI Semakin Penting
Pemilukada DKI putaran kedua semakin menunjukkan besarnya peranan sosial media sebagai alat kampanye politik dan penggalangan isu. Hasil riset media yang dilakukan Indonesia Media Monitoring Center (IMMC) menunjukkan fenomena tersebut. Sosial media semakin efektif dimanfaatkan sebagai ruang untuk memperkenalkan program politik, branding figur, dan sosialisasi.
Secara umum, baik pasangan Foke-Nara maupun Jokowi-Ahok, sudah sama-sama memiliki sense of social media. Kedua pasangan tersebut mengintensifkan gerakannya di ranah maya itu. Namun dalam persentase, riset IMMC menunjukkan bahwa persentase pemanfaatan sosial media oleh Jokowi-Ahok lebih tinggi dari pasangan Foke-Nara.
Kampanye pasangan Jokowi-Ahok di sosial media mencapai 76%, mengungguli pasangan Foke-Nara yang 24%. Salah satu fokus Jokowi adalah pembuatan game-game di sosial media. Dalam permainan maya itu disisipkan media sosialisasi program dan pengenalan figur.
Muhammad Farid, Direktur Riset IMMC, dalam rilisnya, mengatakan bahwa pemanfaatan sosial media sebagai media politik ini akan semakin intensif dalam perpolitikan Indonesia kedepan. Puncaknya adalah pada Pemilu 2014.
“Kandidat dan parpol sangat diuntungkan dengan adanya medium sosial media ini. Perangkat lunak ini mewakili sebuah segmen pemilih tersendiri. Yaitu kalangan terdidik perkotaan dan konsumen layanan perangkat tekhnologi-informasi. Dengan adanya sosial media, kandidat tidak harus ‘turun gunung’ terjun ke lapangan. Cukup ‘mengudara’ di dunia maya. Selain mendapatkan efisiensi waktu, efektifitas tempat, sosial media juga menyediakan ruang ekspresi yang seluas-luasnya. Sehingga kandidat bisa secara leluasa bisa menangkap respon, aspirasi dan kesan-kesan yang muncul dari calon pemilih,” jelas Farid.
Di sisi lain, menurut Farid, sosial media juga memainkan dua peran lainnya dalam ajang Pemilukada DKI kali ini. Pertama, sebagai salah satu sumber dan referensi pemberitaan alternatif. Jika sebelumnya media terpaku pada kondisi dan aktor lapangan. Kini mereka bisa menggunakan “lapangan maya dan aktor-aktor politik” didalamnya sebagai alternatif sumber pemberitaan.
“Riset IMMC menunjukkan bahwa ada banyak sekali sumber pemberitaan yang awalnya merupakan kabar yang beredar di sosial media. Selain itu, statement-statement yang diungkapkan aktor politik melalui status Twitter dan Facebooknya, mulai digunakan oleh awak media sebagai sumber resmi pemberitaan. Jadi, sosial media semakin meluaskan cakupan sumber pemberitaan,” jelas Farid.
Peran yang kedua dari sosial media, menurut Farid, adalah kemampuannya untuk mengangkat sebuah polemik menjadi isu nasional. Pada ajang Pemilukada DKI Putaran Kedua ini, ada beberapa isu yang awalnya hanya menjadi perbincangan di level sosial media. Tapi perlahan-lahan semakin heboh dan dipolemikkan oleh berbagai pihak. Puncaknya, kehebohan itu ditangkap oleh media cetak dan bahkan elektronik, sebagai salah satu sumber pemberitaan.
“Ini menunjukkan bahwa sosial media memiliki power tersendiri. Ditambah lagi dengan maraknya fenomena akun-akun anonim yang dalam batas tertentu, justru bisa mengarahkan arah isu yang berkembang di media cetak. Akun-akun anomim ini menjadi fenomena tersendiri dalam perpolitikan kita saat ini. Termasuk Pemilukada DKI 2012,” imbuh Farid.
Namun demikian, Farid menegaskan bahwa pemanfaatan power sosial media harus dilakukan secara sistematis, terintegrasi dan fokus. Tidak bisa dilakukan secara asal-asalan. Sosial media, bagaimanapun memiliki alur logikanya sendiri. Ini yang menurut Farid, harus dipahami oleh tim yang bekerja untuk kandidat tertentu di ranah sosial media.
Untuk bisa mengoptimalkan manfaat sosial media, kata Farid, seorang kandidat harus memiliki tim khusus yang solid, yang memfokuskan kinerjanya di dunia maya. Dan tim ini harus terintegrasi dengan tim yang ada di lapangan, agar logika kerjanya tidak berbenturan. Karena apa yang berkembang di dua ‘dunia’ itu, maya dan nyata, saling mempengaruhi.
Farid meyakini bahwa fenomena sosial media di dunia politik Indonesia akan semakin signifikan ke depan. Karena itu, parpol dan para kadernya harus menyiapkan hal ini sejak saat ini. Terutama menghadapi Pemilu 2014.
IMMC: Netralitas Media Terhadap Isu SARA
Riset media yang dilakukan Indonesia Media Monitoring Center (IMMC) menemukan fakta bahwa munculnya black campaign dalam Pemilukada DKI Putaran Kedua ini cukup tinggi. Dari berbagai pemberitaan isu, IMMC mencatat yang bernuansa black campaign sekitar 48%. Jumlah ini lebih tinggi dari isu-isu tentang kegiatan pasangan cagub.
Dari persentase 48% tersebut, 69% menyangkut isu SARA, 19% isu orientasi politik tersembunyi para cagub, dan isu tentang klaim prestasi cagub yang dinilai bohong sekitar 11%. Isu ini mengemuka secara umum dalam seluruh pemberitaan Pemilukada DKI dan sama-sama dirasakan oleh kedua cagub.
Direktur Riset IMMC, Muhammad Farid, menyatakan bahwa fenomena ini sebuah kemunduran dalam proses demokratisasi di Indonesia. Idealnya, kompetisi politik mengarah pada tarung gagasan, visi, program dan strategi kampanye. Bukan justru terjebak pada segmentasi kelompok dan aliran politik.
Farid menilai bahwa dalam kondisi yang tidak produktif seperti itu, harapan besar ada pada peran media. Media adalah salah satu penyangga demokrasi. Media menjadi satu-satunya elemen kebangsaan yang seharusnya berada dalam posisi netral politik. “Media adalah kunci utamanya. Ketika realitas politik berada dalam horizon yang tidak sehat, seperti massifnya black campaign, media adalah harapan penetralisir kekeruhan,” ungkap Farid.
Namun, lanjut Farid, kondisinya akan semakin kompleks, jika media yang diharapkan berperan seperti itu, justru terjebak dalam pengkotak-kotakan politik. Ketika media tidak mampu lagi menjaga batas objektifitas dan netralitasnya, maka demokrasi tidak lagi berjalan pada jalurnya.
“Pada Pemilukada DKI kali ini, isu SARA dan black campaign sangat massif. Menurut saya, beberapa media sudah mencoba untuk mempertahankan prinsip netralitasnya dan objektifitasnya. Walaupun tidak dapat dipungkiri beberapa media juga tergelincir dan terlilit oleh belitan isu black campaign,” jelas Farid.
Untuk itu, menurut Farid, media harus benar-benar memegang teguh tiga mekanisme dasarnya: cek dan ricek, cover both side, dan pemisahan antara opini dan fakta. Hasil riset IMMC menunjukkan bahwa untuk mekanisme cek dan ricek serta pemisahan opini dan fakta, sebagian media sudah mencoba untuk memenuhi standar itu. Namun dalam hal cover both side, beberapa media masih lemah. Padahal, menurut Farid, ini salah satu bagian penting untuk mengantisipasi maraknya black campaign.
“Strategi black campaign akan berhasil dijalankan, salah satunya jika media tidak menggunakan mekanisme cover both sidenya. Pemberitaan menjadi timpang, tidak memenuhi standar netralitas dan objektifitas,” jelas Farid.
Namun, Farid menegaskan bahwa fenomena black campaign ini bisa lolos dari lubang jarum kritisisme media, sehingga berkembang menjadi opini, tidak sepenuhnya menyangkut peran media itu sendiri. “Fenomena sosial media memberikan nuansa lain pada Pemilukada DKI kali ini. Sosial media itu pisau bermata dua. Bisa bermanfaat bagi demokrasi, tapi juga bisa menggerus sendi-sendi penegaknya. Ini konsekuensi dari perkembangn tekhnologi-informasi dan kebebasan berpendapat dan beropini. Ini tak dapat dibendung, kecuali oleh satu hal, yaitu kedewasaan politik masyarakat. Hanya kritisisme masyarakat dalam mencerna informasi yang dapat menyeleksi massifnya serbuan sosial media,” papar Farid.
Menurut Farid, massifnya black campaign pada Pemilukada DKI ini besar disumbangkan oleh sosial media. Ketika black campaign tak dapat menembus saluran-saluran media publik, cetak dan elektronik, maka sosial media menjadi ‘lubang’ alternatif. Dan cara ini akan efektif dan efisien, karena langsung terkoneksi pada subjek-subjek pemilik hak pilih politik.
Menurut Farid, fenomena black campaign pada Pemilukada DKI kali ini menyasar hampir semua kandidat. Sebagian kandidat memang merasa sangat dirugikan oleh black campaign. Namun, lanjut Farid, karena sosial media adalah ‘areal tanpa batas dan rambu’, maka fenomena black campaign ini melebar menjadi polemik publik. Masing-masing pendukung kandidat terjebak pada iklim yang tidak sehat ini.
Pastinya, kata Farid, yang paling dirugikan adalah proses demokratisasi di Indonesia secara umum. Tapi, Farid meyakini bahwa pada perkembangannya nanti, masyarakat akan semakin cerdas dan selektif dalam memanfaatkan sosial media sebagai media ekspresi opini dan aspirasi politik.
sumber : immcnews.com