Tawuran antarpelajar dinilai sebagai dampak dari kegelisahan masyarakat, khususnya pelajar, terhadap kondisi sosial dan politik yang terjadi di tengah masyarakat. Faktor ini lalu diperparah dengan ketidakmampuan sistem pembelajaran dan evaluasi pendidikan dalam rangka memberi ruang berkembangnya nalar peserta didik.
Pengamat pendidikan Universitas Paramadina, Mohammad Abduhzen menilai pendidikan merupakan subordinasi dari sistem sosio-politik. Menurutnya, apa yang terjadi dalam dunia pendidikan tak terlepas dari apa yang terjadi dalam sistem kerja lingkungan yang melingkupinya.
“Jadi tawuran-tawuran ini merupakan ekspresi dari kegelisahan dan ketegangan yang ada di masyarakat, utamanya kaum muda,” kata Abduhzen, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (26/9/2012 malam).
Abduhzen juga menyayangkan peningkatan anggaran pendidikan belum juga menunjukkan dampak signifikan pada kecerdasan dan pembinaan peserta didik. Hal itu terjadi lantaran belum tepatnya alokasi dana dan program yang dijalankan oleh pemerintah.
“Anggaran meningkat hanya menyentuh pada akses pendidikan. Padahal tawuran ini terkait dengan sistem pembelajaran dan evaluasi yang tidak memberi ruang bagi berkembangnya nalar,” tambahnya.
Dalam satu pekan ini, dua nyawa pelajar di Jakarta melayang sia-sia dalam insiden tawuran. Rabu (26/9/2012), Deni Januar kembali tewas dalam tawuran antara pelajar SMA Kartika Zeni dan SMA Yayasan Karya 66 di Jalan Minangkabau, Manggarai, Jakarta Selatan. Dua hari sebelumnya, Alawy Yusianto Putra tewas dalam tawuran antarsiswa SMAN 70 dan SMAN 6 di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan.
sumber:kompas.com