Suriah dan Revolusi Arab

by -199 views
Ilustrasi

Ngeri rasanya mengamati perkembangan yang terjadi di Timur Tengah. Arab Spring atau Revolusi Arab yang pecah pada 18 Desember 2010 memakan banyak korban jiwa.

Di Suriah sampai saat ini diperkirakan korban jiwa tewas mencapai 20.000-40.000 jiwa. Korban tewas di Libya 15.000- 30.000 jiwa,di Mesir 800 jiwa,di Tunisia 223-338 jiwa,di Bahrain 24 jiwa,di Yaman 112 jiwa,Maroko dan Oman masing-masing 6 jiwa. Selain itu, negara-negara tetangga mereka seperti Turki dan Irak juga kena imbasnya. Kelompok-kelompok separatis dan teroris mengambil kesempatan dalam kesempitan hingga terjadi baku tembak yang menewaskan ratusan orang, termasuk kaum sipil dan anak-anak.

Jika ditotal angka tertingginya,jumlah hilangnya 75.000-an jiwa adalah angka kematian fantastis dalam waktu relatif singkat. Ironisnya, semua ini justru membuat sesama negara Timur Tengah bertegar hati. Masingmasing kelompok mencari pembenaran atas serangan yang mereka lakukan. Media massa pun punya kecenderungan menengok ke ”luar”: mencari-cari siapa negara besar yang bisa dimintai pertanggungjawaban atas semua ini atau ditarik-tarik untuk mencari solusi.

Sudah saatnya kita semua melihat permasalahan yang terjadi di Timur Tengah secara lebih lengkap dan objektif. Yang terjadi di Suriah dan akhirnya merembet ke Turki adalah bahan refleksi atas kondisi umum di Timur Tengah. Sebelumnya tak ada yang mengira Suriah bisa menjadi tempat paling berdarah dalam konflik antarkelompok kepentingan di Timur Tengah.Negeri berpenduduk 22 juta jiwa ini termasuk yang berkinerja ekonomi baik; keluar dengan selamat dari krisis ekonomi global 2008, terlihat cukup stabil dari segi politik di bawah kepemimpinan dinasti keluarga Assad.

Menurut Bassam Haddad (2010),ilmuwan tamu dari Carnegie Endownment for International Peace di Beirut, pertumbuhan produk domestik bruto Suriah meningkat cukup konsisten, 3,9% pada 2010 dan 4,2% pada 2011. Pendapatan negara diharapkan meningkat terus sejalan dengan meningkatnya pemasukan dari turisme dan berjalannya kerja sama pengembangan infrastruktur dan perdagangan dengan Turki dan Uni Eropa,juga kerja sama AS-Suriah. Artinya negara ini punya potensi baik untuk berkembang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di kawasan Timur Tengah.

Baca Juga:  Ramdhani yang Bunuh 3 Anggota Keluarga Kekasihnya di Tangerang Diancam Hukuman Mati

Ternyata itu tidak cukup sebagai dasar keberadaan negara berdaulat. Problemnya tidak hanya di tataran domestik, tetapi juga di kawasan Timur Tengah. Di tataran domestik, kestabilan politik yang selama ini dimiliki Suriah ternyata semu belaka. Dasar tatanan politik yang ada adalah aturan dalam kondisi darurat dan ketiadaan ruang untuk berbeda pendapat dengan pihak penguasa. Caracara seperti ini memang dengan cepat menciptakan tatanan politik, tetapi karena tidak normal, dalam jangka panjang sangat menguras energi dan berisiko sangat tinggi bagi mereka yang berseberangan pandangan dengan pimpinan negara.

Pintu masuk bagi Hafez al- Assad, ayah dari Presiden Suriah sekarang Bashar al-Assad, untuk berkuasa adalah kudeta militer dan UU Darurat serta kemampuannya menyingkirkan lawan politiknya di Partai Baath.Hafez selalu terpilih dalam referendum tujuh tahunan, dengan margin kemenangan selalu 99,99%.Tiap hasil referendum diumumkan, rakyat Suriah berpesta-pora turun ke jalan mengelu-elukan Hafez yang dijuluki ”Singa Padang Gurun”.

Padahal jumlah orang yang tersingkir dan mati karena menghalangi jalan mulus Hafez menuju kekuasaan ada puluhan ribu jumlahnya. Ketika ia mengganti konstitusi Suriah, menghapuskan klausul bahwa seorang presiden Suriah wajib beragama Islam, muncul protes keras dari kalangan Muslim yang merupakan mayoritas di Suriah.Hafez tak segan menggunakan caracara represif untuk membungkam protes, termasuk dengan menahan 40 orang pejabat Sunni yang ditudingnya berkomplot melawannya.

Baca Juga:  Kapal Malaysia Diduga Ikut Bajak Tanker Jepang

Hafez akhirnya menambahkan klausul tersebut demi menyenangkan kelompok Sunni yang merupakan mayoritas. Hafez adalah muslim Alawite. Cara-cara keras macam ini pula yang dicontoh oleh Bashar al-Assad. Kepemimpinan Hafez al- Assad juga ditopang oleh kemampuannya meyakinkan pemimpin negara-negara Arab untuk mendukung ide ”Suriah Raya” dengan aliansi politik dan militer bersama Lebanon, Yordania,dan Palestina.Hafez menggalang kerja sama antarnegara Arab demi memperkuat gerakan anti-Israel. Cara yang diambil Hafez sarat strategi militer,maklum ia seorang militer.

Dia tak segansegan menambah anggaran besar untuk menambah kapasitas militernya dan membantu mendanai bahkan mempersenjatai kelompok-kelompok militan, bahkan oposisi di negara- negara tetangganya,demi memperkuat posisi dan citacitanya sebagai penguasa negeri- negeri Arab.Cara ini makin menarik bagi Hafez setelah ternyata Irak digempur dan dilucuti asetnya oleh AS pada 1990-an,Yordaniaberdamaidengan Israel,dan YasserArafat dari PLO sepakat menandatangani perjanjian damai dengan Israel, meskipun gerakan Intifada kemudian kehilangan kekuasaan di wilayah yang disengketakan Palestina dengan Israel.

Cara Hafez mendukung kelompokkelompok militan di negara lain ditiru pula oleh Bashar al-Assad. Kalau diperhatikan, caracara yang diambil oleh Hafez dan Bashar al-Assad tidak berbeda dengan cara-cara yang digunakan oleh negara-negara lain di kawasan Timur Tengah. Nyaris tidak ada rem untuk kegiatan saling dukung kelompok- kelompok yang sealiran, meskipun mereka adalah warga dari negara lain.Liga Arab yang diikuti 22 negara tidak menyentuh sumber ketidakpastian hubungan antarnegara di sana. Liga Arab akhirnya lebih sebagai wadah dialog kerja sama ekonomi, sosial, maupun budaya.

Urusan politik dan militer tetap mengedepankan prinsip aliansi dan kerja sama militer dengan kelompok-kelompok yang dianggap sealiran saja. Walhasil, bisa kita lihat sendiri, betapa rentan akhirnya kondisi Timur Tengah. Tak mengherankan jika negara-negara Barat kemudian bisa keluar masuk sesuka hati di kawasan ini, karena memang peluangnya terbuka lebar.

Baca Juga:  Petinggi Demokrat Pecah Soal Syarat Calon Ketua Umum

Sesama negara Timur Tengah belum tumbuh kesadaran untuk tidak saling mengganggu stabilitas negara lain, apalagi dengan membentuk aliansi dan dukungan finansial bagikelompokdinegaralain; dan belum ada kesadaran untuk membangun kepercayaan satu sama lain atas dasar kesamaan sejarah sebagai negara-negara yang garis-garis batasnya merupakan bentukan Perang Dunia II.

Saat ini, yang terpenting adalah kesadaran dari negaranegara yang masih punya kedaulatan atas kelompok-kelompok di negaranya seperti Turki, Iran, Mesir, Palestina, Yordania, Arab Saudi untuk menahan diri dan duduk bersama sebagai negara-negara satu kawasan untuk membangun kesepakatan bersama. Proses transisi apa pun yang dialami oleh satu negara hendaknya tidak diperburuk oleh provokasi apa pun dari kelompok- kelompok di negara berdaulat ini. Segala wujud aliansi militer dan politik hendaknya dikaji ulang dalam kerangka mencegah berjatuhannya korban jiwa.

Jelas bahwa Turki tak akan sanggup mengatasi problem ini sendirian.Kemampuan ekonomi mereka untuk menampungparapengungsiSuriah saja,misalnya,sangat terbatas. Seperti tadi dijabarkan, selama ini model pengelolaan sosial di negara-negara Arab memang sangat mengandalkan energi berwujud kekuatan militer dan finansial dari penguasa, sehingga ketika energi itu menipis, kekacauan tinggal menunggu waktu saja.

Maka, terlepas dari apakah Revolusi Arab itu akan mengarah pada demokratisasi atau sebaliknya,pertamatama semua pihak perlu menjamin agar tak lagi jatuh korban jiwa di sana.

DINNA WISNU, Ph.
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina; @dinnawisnu

sumber:seputar-indonesia.com

About Author: Tubagus Iwan Sudrajat

Gravatar Image
Tubagus Iwan Sudrajat ialah seorang penulis artikel di Bandung, Jawa Barat. Dia juga penulis artikel di beberapa blog dan media online.