Sepenggal Kisah dari Kampung Babakan Girang (part 2)
Pasukan NICA (Netherland Indies Civil Administration – Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) terus berusaha menangkap mama H. Nali karena sering melawan penjajahan Belanda di kawasan Bogor Barat. Tapi, usaha Belanda untuk melumpuhkan perlawanan mama H. Nali tak satu pun membuahkan hasil, karena sampai tutup usia H. Nali wafat bukan karena peluru Belanda, tapi karena faktor usia di masa kemerdekaan.
Suatu hari tentara NICA datang dengan pasukan bersenjata lengkap bermaksud menangkap mama H. Nali di kp. Babakan Girang desa Cinangneng Tenjolaya Bogor. Tapi, mama H. Nali sudah berada di tempat persembunyian yang jauh dari kp. Babakan Girang. Tentara NICA hanya menemukan anak-anak kecil dan ibu-ibu.
NICA menembakan senjatanya ke arah target yang mereka maksud atau mengarahkan bayonet kepada laki-laki untuk meneror warga. Kampung Babakan Girang genting karena pasukan Belanda lengkap dengan senjatanya menyisir setiap tempat dan rumah warga.
Saat itu, terdapat dua bocah kecil sedang asik bermain. Dua orang anak kecil itu dengan polos malah menonton para tentara NICA yang berseragam lengkap dengan senjata.
Rupanya, pasukan NICA mendapat berita bahwa mama H. Nali dan pasukannya sedang “ngeli” (hijrah beberapa waktu guna menghindari pengepungan Belanda) di desa Petir. Tapi, NICA tidak tahu letak desa Petir, NICA-pun memaksa anak kecil dengan menginterogasinya untuk menjawab keberadaan mama H. Nali dan pasukannya.
“Dimana Cipetir”?, bentak pasukan NICA memakai imbuhan “ci” (Cipetir) kepada anak kecil di kampung Babakan Girang dengan suara sangau khas Belanda (bhs Sunda: “ngirung”). Dua anak kecil itu tak mau memberikan jawaban yang sebenarnya, karena khawatir NICA akan memintanya untuk membawa mereka ke tempat yang mereka (NICA) inginkan, yaitu di desa yang sebenarnya bukan Cipetir tapi desa Petir.
Dengan mimik muka yang polos, kedua anak itu sengaja membuat pasukan NICA Bingung. Tentara NICA terus mendesak bertanya kepada dua anak itu.
“Dimana Cipetir”?, kembali NICA bertanya. Karena salah seorang anak yang ditanya itu mendengar suara NICA yang bertanya dengan “sangau”, anak itu pun bingung, lalu dengan polosnya kembali bertanya, “naon, cau pentil” (buah pisang muda). Tanpa rasa kasihan tentara Belanda menampar anak kecil itu dengan keras sampai tersungkur.
Merasa kasihan kepada temannya, anak yang satunya dengan polos menegaskan pertanyaan pasukan Belanda kepada teman yang terjatuh itu. “Cipetirr, nyaho teu?” (tahu tidak kamu Cipetir).
Penulis
Najmudin Ansorullah SHI., S.Pd.I