Kekerasan terhadap pekerja pers tak kunjung surut dari tahun ke tahun. Di berbagai daerah, pekerja pers kerap menjadi sasaran ‘kemarahan’ pihak-pihak tertentu.
Sepanjang tahun 2012 ini saja, terjadi 56 kasus kekerasan terhadap jurnalis, meningkat dibandingkan tahun 2011 sebanyak 49 kasus.
Aliansi Jurnalis Independen Indonesia mencatat, dari 56 kasus itu, 18 di antaranya berupa serangan fisik, 15 ancaman, 10 perusakan dan perampasan alat, 7 pengusiran dan pelarangan meliput dan 3 demonstrasi disertai pengerahan massa, 2 sensor, dan satu kasus lain peretasan web.
Dari 56 kasus kekerasan yang terjadi sepanjang 2012, hanya tujuh kasus yang ditangani oleh penyidik polisi maupun polisi militer.
“Sisanya, tak tertangani dan pelakunya tak tersentuh hukum,” kata Ketua AJI Indonesia Eko Maryadi, Jumat 28 Desember 2012.
Tercatat aparat pemerintah, prajurit TNI dan polisi menjadi tiga pihak yang paling banyak melakukan kekerasan terhadap jurnalis.
Berdasarkan data AJI Indonesia, ada 13 kasus kekerasan yang dilakukan aparat pemerintah, 11 kasus dilakukan polisi, dan 9 kasus dilakukan oleh aparat TNI. Selanjutnya, orang tak dikenal 4 kasus, kelompok masyarakat atau ormas 3 kasus, anggota DPRD dan mahasiswa 2 kasus.
Penyederhanaan penyelesaian kasus kekerasan terhadap jurnalis dengan upaya perdamaian atau permintaan maaf, menurut Eko sangat berbahaya.
Sebab, praktik impunitas atau keadaan yang tidak dapat dipidana sampai saat ini masih terus berlanjut. Berbagai upaya penyederhanaan kasus kekerasan terhadap jurnalis sebagai kasus yang bisa diselesaikan dengan perdamaian atau permintaan maaf.
Menurut Eko, penyelesaian tanpa proses hukum itu akan membuat aparat pemerintah, prajurit TNI, dan polisi semakin abai bahwa jurnalis adalah profesi yang dilindungi hukum.
“Praktik-praktik penyederhanaan masalah itu akan menyuburkan kekerasan terhadap jurnalis di masa mendatang,” Eko menegaskan.
Namun beruntung, dalam kasus kekerasan di Padang, Sumatera Barat pada 29 Mei 2012 yang menimpa enam jurnalis oleh aparat TNI, proses hukum terus dilanjutkan. Meski ada upaya ‘perdamaian’ dari pelaku terus dicoba.
Sama halnya ketika aksi kekerasan yang dilakukan seorang perwira TNI AU, Letkol Robert Simanjuntak terhadap jurnalis yang meliput jatuhnya pesawat Hawk 200 milik TNI AU di Pekanbaru, Riau pada 16 Oktober 2012. Upaya perdamaian pun coba digagas, namun proses kasus terus berlanjut.
AJI Indonesia juga mencatat sepanjang tahun 2012, persoalan kesejahteraan jurnalis belum mendapat perhatian serius. Eko Maryadi menegaskan, jurnalis sudah seharusnya mendapatkan upah dan perlindungan yang layak atas pekerjaannya.
Hak atas keamanan dan kenyamanan dalam bekerja harus didapatkan para jurnalis. Baik jurnalis yang sudah berstatus karyawan tetap, kontrak, ataupun kontributor/koresponden.
Solusi sederhananya, AJI mendesak setiap perusahaan media memberikan standar honor basis, yakni upah dalam jumlah tertentu yang diberikan secara fixed setiap bulan. Adanya honor tetap, diyakini akan meningkatkan semangat kerja, kualitas karya, dedikasi dan menjaga jurnalis dari tindakan menyelewengkan moralitasnya.
Selain itu, AJI juga menyoroti rendahnya kesadaran jurnalis untuk berserikat. Padahal, sebagai upaya perjuangan mewujudkan peningkatan kesejahteraan, diperlukan serikat pekerja di setiap perusahaan media.
Sepanjang 2012, tak banyak serikat pekerja baru berdiri, di antaranya Serikat Pekerja Tabloid Prioritas pada Mei 2012 dan Serikat Pekerja Jurnal Nasional pada Juli 2012.
Eko mengatakan, ada sejumlah faktor yang menyebabkan pertumbuhan serikat pekerja di sektor media ini begitu lambat.
“Mayoritas jurnalis masih mengidentifikasi dirinya sebagai kelompok profesional/eksklusif yang enggan untuk dikelompokkan menjadi bagian dari kelas buruh, stigma negatif serikat pekerja, serta rendahnya pembelaan dan solidaritas di dalam serikat,” jelasnya.
Data AJI dan Federasi Serikat Pekerja Media Independen dari kurun 2009, tidak lebih dari 20-an serikat media yang ada di Indonesia. “AJI terus mengkampayekan dan mendorong agar Jurnalis sadar pentingnya adanya Serikat Pekerja di media adalah langkah yang strategis membangun kemitraan dengan perusahaaan. Serikat Pekerja hadir bukan untuk mengacaukan sistem perusahaan tapi hadir untuk memberikan kontribusi nyata dari karyawan untuk perusahaan.” (umi)
Sumber : viva.co.id