Sepenggal Kisah dari Kampung Babakan Girang (part4)
Suatu hari pasca kemerdekaan, bapak Iling Saniling putera bungsu mama H. Nali yang sedang melintas di daerah Loji Bogor dengan mobil Mercedes milik suatu perusahaan di Bogor melihat sosok yang tidak asing pada masa perang Kolonial Belanda agresi II, namun rasa kebencian permusuhan sudah terlewati.
Saat bapak Iling mendekati dengan perlahan Mr. Thomas sedang bermain dengan burung pipit kesayangannya.
Rasa ingin menyapa ada dalam hati bapak Iling terhadap Mr. Thomas yang sedang bermain dengan burung pipit, namun karena khawatir Mr Thomas tidak mengerti bahasa Indonesia, paman bertanya dengan hati-hati melalui bahasa Indonesia yang kiranya mudah dimengerti.
“Mr maaf! kalau di Belanda burung ini apa namanya?”, tanya paman kepada Mr. Thomas.
Mr. Thomas pun menjawab dengan perlahan, “sami wae di Belanda oge manuk piit namina” (sama saja di Belanda juga namanya burung piit (burung pipit).
Mendengar jawaban Mr Thomas dengan menggunakan bahasa Sunda lantas bapak Iling tertawa.
“lho kok sami nanima manuk piit, teras tuan oge tyasa nyarios bahasa Sunda geuning” (Lho, kok bisa sama namanya manuk Piit, lalu Mr juga cakap dalam berbahasa Sunda), lanjut paman bertanya.
Mr. Thomas pun menjelaskan, “muhun apanan abdi teh tos lami di Indonesia, pun bojo abdi oge urang Sunda, di Belanda sadidinten abdi sareng pun bojo nyarios bahasa Sunda, janten sami manuk ieu disebatna manuk piit wae” (ya saya sudah lama di Indonesia, istri saya pun orang Sunda, sehari-hari di Belanda saya bercakap-cakap dengan istri dengan bahasa Sunda, jadi burung ini juga disebut burung pipit). Intaha (wis totop iki laiki kalam)
Penulis
Najmudin Ansorullah SHI., S.Pd.I