Sepenggal Kisah dari Kampung Babakan Girang (part 3)
Sudah menjadi kebiasaan tentara NICA (Netherlands-Indies Civil Administration – Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) apabila target yang dicari tidak ditemukan, maka mereka mulai merangsak menggeledah rumah-rumah warga dan menyisir tempat-tempat yang dianggap tempat persembunyaian para pejuang Indonesia.
Begitu lah yang dialami keluarga Mama H. Nali di Kp. Babakan Girang Desa Cinangneng Bogor saat menghadapi tentara NICA di masa perjuangan.
Rumahnya dimasuki tentara NICA tanpa permisi atau kesopanan, karena memang watak mereka adalah watak penjajah. Pintu rumah didobrak, setiap kamar dimasuki sambil memeriksa sesuatu yang mereka curigai. Sebagiannya menakut –nakuti (teror) penghuni rumah dan warga lainnya dengan menodongkan senjata ke arah mereka.
Kedatangan tentara NICA sudah bisa tercium masyarakat Kp. Babakan Girang meski dari jarak jauh karena bau senjata atau mobil yang dipakai tentara NICA, atau sehari sebelumnya mata-mata H. Nali sudah memberi kabar akan kedatangan NICA untuk menangkap Mama H. Nali.
Oleh karena itu, Mama sudah terbiasa mengambil sikap cepat tanggap dalam menghadapi serangan tentara NICA dengan menghindari pertempuran di kampung dengan cara “ngeli” (hijrah untuk beberapa waktu guna menghindari serangan NICA) dengan pasukannya ke tempat jauh dari kampung karena khawatir akan keluarganya yang saat itu masih kanak-kanak.
Di dalam rumah hanya ada istri Mama yaitu Ny. Hamsyah dan anak-anaknya, sedangkan keluarga laki-laki yang dianggap dewasa, tamu atau laki-laki yang sering mangiringi keluarga Mama ikut “ngeli” atau mengumpat di tempat-tempat aman dari ancaman tentara NICA.
Namun, dalam keadaan mendesak kaum laki-laki sering memanfaatkan situasi dan kondisi, yaitu ikut di dapur bersama ibu-ibu dan anak ditutupi kain dengan rapi atau apa saja yang dapat mengelabui tentara NICA.
“Ada laki, ada laki” (apakah ada laki-laki), tanya tentara NICA kepada para wanita di dapur.
“Tidak ada tuan”, jawab para wanita dan anak-anak di dapur dengan suara lembut sambil kepala menunduk.
Dengan berseragam hijau dan senjata lengkap, tentara NICA mencari keberadaan laki-laki dewasa untuk diperiksa mengenai statusnya apakah termasuk pasukan Mama dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR) atau masyarakat biasa.
Bila saja ada salah seorang tentara dari pasukan Mama tertangkap NICA tidak akan segan-segan membunuhnya dengan sangat kejam.
Seperti halnya nasib yang dialami tamu dari Tasikmalaya saat bertamu ke rumah Mama. Saat itu, tentara NICA datang tanpa diketahui sebelumnya. Sedangkan kondisi jalan yang dapat dilalui kendaraan hanya sampai di depan kampung Babakan Girang, tidak langsung sampai ke rumah Mama, sehingga pasukan Mama mempunyai waktu untuk melarikan diri menghindar dari tembakan senjata pasukan NICA.
Setibanya pasukan NICA di rumah Mama, tamu tersebut tidak mengetahui akan kedatangan tentara NICA. Akhirnya, sang tamu langsung mengambil kampak dan berpura-pura menjadi tukang pembelah kayu bakar.
Saat ditanya mengenai identitasnya tamu itu tidak bisa mengelak karena identitas yang berada padanya identitas Tasikmalaya, sedangkan di Tasik sendiri keadaan sedang genting.
Tanpa menunggu lama-lama, pasukan NICA langsung menodongkan senjata ke arah kepala tamu dari Tasikmalaya itu dan menembaknya, sementara telinganya ditusuk dengan pisau bayonet yang sangat tajam.
Dengan menahan rasa sakit, tamu itu menjerit, “pak haji, tulungan kuring” (Mama H. Nali tolong saya), rintih tamu itu dengan keras, sehingga menurut penuturan warga, suara jeritan tamu itu terdengar oleh seluruh warga kampung Babakan Girang. Mayatnya ditutup dengan kain pandan oleh tentara NICA.
Setelah tentara NICA itu pulang, masyarakat melihatnya dengan kondisi kepala sudah terbalik dan kulit kepalanya mengelupas karena tusukan bayonet tentara NICA.
Akan tetapi, di lain waktu, tentara NICA datang kembali ke Kp. Babakan Girang untuk menangkap Mama dan pasukannya untuk ke sekian kalinya.
Setibanya di rumah Mama, sudah biasa tentara NICA membuka pintu dengan menendangkan kaki, lalu menggeledah seisi rumah sambil menendang dan menusuk-nusukan pisau bayonet ke setiap benda yang mereka curigai.
Saat itu, salah seorang anak Mama terkena penyakit kudis , seperti terkena cacar dan “bentol-bentol” di kulit muka. Tanpa disengaja pasukan NICA melihat anak perempuan mama yang terkena penyakit kudis, spontan saja tentara itu langsung kocar-kacir lari ke luar rumah dan memberitahukan kepada teman-temannya di luar.
Pasukan NICA itu takut tertular dengan penyakit kudis sehingga langsung bersegera pulang ke markasnya di Bogor.
Penulis
Najmudin Ansorullah SHI., S.Pd.I