Mahkamah Agung (MA) yang akhirnya mengabulkan permohonan Dewan Perwakilan Daerah Garut (DPR) untuk melengserkan Bupati Aceng Fikri, patut diapresiasi dan didukung.
Perilaku Aceng Fikri sebagai Bupati Garut dengan menikahi anak dibawah umur secara siri dan menceraikan dalam hitungan jari telah menuai kontroversi.
“Secara pribadi, berulang kali saya mengecam. Bukan hanya tindakannya yang terang-terangan “melecehkan perempuan”. Akan tetapi, juga sekaligus memperlihatkan kebangkrutan moril pejabat publik,” kecam politisi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka dalam rilisnya kepada Tribun, Kamis (24/1/2013).
Dijelaskan, tindakan Bupati Garut telah melanggar hukum yakni UU No 1 tahun 1974 tetang Perkawinan pasal 2 ayat 2 : ‘Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” dan UU nomer 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 27 ayat f ‘ menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah”.
“Secara etis dan wilayah moral sosialpun, sungguh merupakan penghinaan terhadap rakyat. Secara terang-terangan mempertontonkan sebuah arogansi kekuasaan yang mandul empati terhadap rakyatnya,” kecam Rieke, politisi kelahiran Garut yang kini tercatat sebagai calon Gubernur Jawa Barat.
Kabupaten Garut, imbuh Rieke, tercatat sebagai salah satu daerah tertinggal. Implikasi yang paling menyedihkan adalah RSUD terancam bangkrut karena sistem dan kebijakan politik anggaran yang sangat tidak profesional dan berindikasi korupsi.
Ketika rakyat ada dalam kemiskinan dan berjibaku dalam kehidupan yang sangat sulit, imbuhnya, tentu sebuah pengkhinaan terhadap rakyat dengan mengumbar hasrat syahwat. Bahkan, secara terbuka dan terang-terangan didepan publik.
“Putusan MA tersebut bukan hanya memperlihatkan keberpihak lembaga peradilan terhadap kaum perempuan, lebih dari itu, hal ini menjadi momentum penegakan hukum yang memperlihatkan paling tidak tiga point penting,” tegasnya.
“Pertama, setelah sekian lama kita dibuat prihatin atas putusan hukum yang hanya bertaring pada mereka yang lemah, kali ini saya melihat secercah harapan bahwa putusan di lembaga peradilan kita masih bisa berpijak pada rasa keadilan publik,” imbuhnya lagi.
Kedua, sambung Rieke lagi, di era otonomi daerah ternyata ketika hukum ditegakkan tanpa tebang pilih, mitos “raja-raja kecil” kebal hukum bisa dipatahkan.
“Ketiga, peran dan partisipasi publik. Ketika rakyat bergerak bersama untuk mendorong perubahan kearah yang lebih baik, tidak ada satupun kekuatan yang bisa menahannya. Bukan hanya praktek transaksional yang tak berlaku, dalam kasus Bupati Aceng, kita semua mendapatkan pelajaran berharga bahwa rakyatlah yang menjadi penentu sebuah kekuasaan politik,” papar Rieke Diah Pitaloka.
Sumber : tribunnews