Banjir akibat luapan sungai Citarum di kawasan Kabupaten Bandung kian meluas jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Banjir terakhir terjadi pada April 2013 yang menerjang area sepanjang aliran sungai tersebut di 14 kecamatan. Luapan sungai itu dipastikan akan semakin meluas jika gundulnya hutan di wilayah hulu sungai Citarum tidak segera dihijaukan kembali.
Dari catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandung, pada 20 April ini banjir besar di belasan kecamatan tersebut telah merendam sedikitnya 20.557 rumah dengan korban mencapai 50.000 jiwa. Sekalipun korban tidak semuanya mengungsi, tetapi setidaknya harus bertahan di atas genangan air yang menerjang rumah mereka. Tumpukan lumpur serta ancaman penyakit pun menjadi babak berikutnya yang harus mereka hadapi setelah banjir surut. Tak akan ada habisnya cerita bertemakan banjir ini jika manusia terus-menerus melawan fitrah alam.
Kawasan hutan di wilayah hulu, seperti di Kecamatan Kertasari dan Arjasari semakin mengkhawatirkan. Alih fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan dan permukiman sedemikian parah. Akibatnya air hujan tidak tertahan daun, batang dan akar pepohonan, namun langsung tumpah begitu saja ke sungai. Air mengalir membawa lumpur yang kemudian mengendap di wilayah hilir sungai “Penanggulangan bencana itu memang sudah menjadi kewajiban kami. Tetapi kalau penyebabnya dibiarkan terus, sampai kapan bencana ini akan berhenti?”ungkap Marlan, Kepala BPBD Kabupaten Bandung saat dihubungi.
Bahkan, kata dia, kini endapan lumpur yang terbawa aliran air di daerah Kelurahan Andir Kecamatan Baleendah, mencapai 70 centimeter setelah banjir itu surut. Tidak hanya tenaga, biaya pun semakin besar untuk mengeruk lumpur tersebut karena harus mengerahkan alat berat seperti backhoe, loader dan dump truck untuk memindahkan tumpukan lumpur tersebut. “Sebab hanya mengandalkan tenaga manusia saja tidak mungkin lumpur itu bisa diangkut,”katanya.
Sobirin Supardiyono, Pemerhati Lingkungan dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) mengingatkan persoalan sungai Citarum jangan hanya dilihat dari sisi sungai. Tak kalah penting adalah perhatian terhadap lahan di wilayah hulu. Sebab, pengerukan sedimen dan penyodetan sungai sia-sia jika tidak meyelesaiakan alih fungsi lahan di wilayah hulu. Apalagi selama ini langkah penyelesaiannya hanya berjalan secara sektoral.
Pengerukan lumpur yang mengendap di dasar sungai merupakan tugas sektor pengairan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum, sedangkan yang harus menyelesaikan problem di wilayah hulu adalah sektor kehutanan baik Perum Perhutani maupun Dinas Perkebunan dan Kehutanan, dan juga dinas permukiman.“Nahsektorsektor tersebut harus bersinergi,” ujar Sobirin. Menurut dia, penanggualangan banjir itu filosofinya ada tiga. Pertama penyesuaian diri manusia dengan banjir, jika memang banjir di kawasan itu benarbenar sulit diselesaikan dan manusianya sulit direlokasi.
“Jadi, paling bagus adalah hidup harmonis antara manusia dengan banjir. Pada 1931, banjir di Kabupaten Bandung itu sudah terjadi. Bahkan sampai merendam sekitar 10.000 hektare lahan. Padahal dulu kan penduduknya masih sedkikit dan hutan masih bagus. Jadi kalau demikian, banjir itu memang fenomena alam. Namun banjir itu menjadi bencana ketika manusianya bertambah banyak,”papar Sobirin.
Adaptasi itu, lanjut dia, di antaranya mengubah konstruksi bangunan tempat tinggal manusia dengan bentuk rumah panggung. Namun soal pembiayaan, pemerintah harus turun tangan, jangan sampai beban sepenuhnya ditanggung masyarakat.“Sektor perumahan juga harus bergerak, disertai dengan gerakan dari sektor lain yang bertugas membenahi sungai dan wilayah hutan di hulu sungai,” katanya. Masukkan itu dijawab Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum, Adang Saf Ahmad.
Dia mengakui banjir di Kabupaten Bandung semakin tahun memang semakin meluas. Penyebabnya, terutama sungai di daerah Kecamatan Rancaekek, Majalaya, dan Sapan sampai ke daerah bawah yakni Baleendah, Dayeuhkolot hingga Nanjung, pendangkalan atau sedimentasi semakin tinggi. Sedimentasi itu jelas berasal dari perubahan tata guna lahan yang terjadi di hulu sungai Citarum ini.
“Yang semula hutan terus kemudian semakin berkurang akibat pertanian dan permukiman. Ini memang hak mereka juga untuk bisa bertahan hidup, tetapi akibatnya air hujan mengalir membawa lumpur ke hilir. Dari hasil penelitian kami, sekitar 500.000 meter kubik sedimen, pertahunnya mengendap di sepanjang aliran sungai citarum,”papar Adang. Kedua, penyumbatan aliran sungai akibat sampah yang terbawa sejak anak-anak sungai Citarum.
Terlebih pada musim kemarau, sampah ini bisa disaksikan semua orang terutama di sungai Cikapundung sampai Nanjung. Ketiga, karena tataguna lahan di wilayah hulu, di mana air hujan yang jatuh ke daerah perbukitan langsung mengalir tanpa bisa tertahan pepohonan walaupun dengan jumlah debit air yang sama dengan hujan-hujan sebelumnya. “Inilah yang membuat banjir di Kabupaten Bandung semakin besar.
Pada dasarnya itu akibat dari perubahan tataguna lahan, yang mengakibatkan sungai menjadi dangkal dan airnya meluap ke mana-mana. Penurunan muka tanah pun menjadi penyebab lain, sehingga luas genangan air semakin bertambah,”beber Adang.
ATEP BADILAH KURNIAWAN
Kota Bandung
sumber+foto:koran-sindo.com