Ir. H. Djuanda dilahirkan di Tasikmalaya, 14 januari 1911, merupakan anak pertama pasangan Raden Kartawidjaja dan Nyi Monat, ayahnya seorang Mantri Guru pada Hollandsch Inlansdsch School (HIS). Pendidikan sekolah dasar diselesaikan di HIS dan kemudian pindah ke sekolah untuk anak orang Eropa Europesche Lagere School (ELS), tamat tahun 1924. Selanjutnya oleh ayahnya dimasukkan ke sekolah menengah khusus orang Eropa yaitu Hogere Burger School (HBS) di Bandung, dan lulus tahun 1929. Pada tahun yang sama dia masuk ke sekolah Tinggi Teknik (Technische Hooge School) di Bandung, mengambil jurusan teknik sipil dan lulus tahun 1933. Semasa mudanya Djuanda hanya aktif dalam organisasi non politik yaitu Paguyuban Pasundan dan anggota Muhamadiyah, dan pernah menjadi pimpinan sekolah Muhamadiyah. Karir selanjutnya dijalaninya sebagai pegawai Departemen Pekerjaan Umum propinsi Jawa Barat, Hindia Belanda sejak tahun 1939.
Ir. Djuanda oleh kalangan pers dijuluki ‘menteri marathon’ karena sejak awal kemerdekaan (1946) sudah menjabat sebagai menteri muda perhubungan sampai menjadi Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan (1957-1959) sampai menjadi Menteri Pertama pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1963). Sehingga dari tahun 1946 sampai meninggalnya tahun 1963, beliau menjabat sekali sebagai menteri muda, 14 kali sebagai menteri, dan sekali menjabat Perdana Menteri.
Sejak 1 Desember 1956, Hatta tak lagi menjadi wakil presiden. Kepergian Hatta jelas meninggalkan sebuah lubang besar: Siapa yang menjadi sekondan Soekarno dalam membangun Indonesia secara rasional, terencana dan sistematis?
Seperginya Hatta, Soekarno sadar, ia butuh sekondan yang bisa mengimbangi corak berpolitik dirinya yang political minded. Soekarno menemukannya pada sosok Ir Djuanda Kartawidjaja (1911-1963). Beberapa saat setelah Dekrit Presiden dilansir pada 1959, Djuanda langsung diangkat sebagai Menteri Pertama, jabatan yang selevel dengan posisi Perdana Menteri, hingga akhir hayatnya pada 1963.
Djuanda mengingatkan orang pada peran dan posisi Hatta di pucuk pimpinan nasional di awal-awal terbentuknya Indonesia. “Duet Soekarno-Djuanda di awal-awal Demokrasi Terpimpin,” kata Maladi, mantan Menteri Olahraga dan Penerangan di era itu, “Seolah-olah menggantikan dwitunggal Soekarno-Hatta.”
Selama kurun itulah Djuanda mendampingi Soekarno mengerjakan administrasi negara dan pemerintahan, perencanaan negara, dan pelbagai detail yang tak mungkin bisa digarap Soekarno yang lebih suka menghabiskan energi dan kharis yang dipunyainya untuk “berpolitik-tingkat-tinggi”.
Ketika menyebut duet Soekarno-Djuanda sebagai dwitunggal Seokarno-Hatta jilid II, Maladi mungkin melihatnya dari sisi seperti yang pernah dipakai Herberth Feith untuk melakukan kategorisasi kepemimpinan nasional: Soekarno sebagai tipe solidarity maker yang menggeber energinya untuk meningkatkan tensi nasionalisme kebanggaan nasional sementara Djuanda sebagai tipe administrator yang menggerakkan roda pemerintahan day to day.
Jika kita lihat pengalamannya di pemerintahan, Djuanda memang orang yang berpengalaman dalam hal administratif. Ia adalah pemegang rekor sebagai orang yang paling sering menjadi menteri: 17 kali. Ia menempati pelbagai pos, dari yang “teknis”, “apolitis” hingga “politis”: Menteri Perhubungan, Dirjen Biro Perancang Negara, hingga Menteri Keuangan.
Di luar jabatan-jabatan itu, sangat sedikit yang tahu kalau Djuanda-lah yang membangun sistem nasional transportasi darat, laut, dan udara. Juga hanya segelintir yang paham kalau Djuanda adalah pemrakarsa maskapai penerbangan nasional Garuda, Akademi Penerbangan di Curug dan Akademi Pelayaran di Jakarta. Nihil yang tahu bahwa Djuanda adalah salah satu pelopor perancangan dan perencanaan pembangunan nasional yang detail dan sistematis lewat Rencana Lima Tahun yang juga diistilahkan lain sebagai Rencana Djuanda (1955-1960). Dan pada masa kepemimpinannya pula lahir Deklarasi Djuanda yang termasyhur itu, sebua konsep hukum laut yang mengenalkan prinsip archipelago state (negara kepulauan).
Djuanda sendiri tentu saja bukannya tak punya nila. Oleh semantara orang, misalnya Rosihan Anwar, Djuanda dianggap tak bisa cuci tangan dari kebijakan Soekarno yang membredel koran, menangkapi tokoh-tokoh yang tak sejalan, dan membubarkan partai-partai.
Tetapi di sini pun kita masih bisa mengajukan sebuah catatan: baru bisa memenjarakan Sjahrir, Soebadio Sastrosatomo, hingga Mochtar Lubis ketika Djuanda sudah mulai sakit-sakitan dan kerap meninggalkan tugas keseharian untuk istirahat dan perawatan. Selama Djuanda masih menjadi Menteri Pertama, keinginan untuk memenjarakan lawan-lawan Soekarno itu bisa ia rem.
Dalam hal itu, kata Jenderal AH Nasution, Djuanda tak bisa digantikan. “Pada saat mengantarkan jenazah Djuanda, saya berbicara dengan Leimena yang mengenangkan bagaimana gigihnya Djuanda dan bagaimana penderitaan batin yang ia derita ketika sekuatnya mengupayakan stabilitas, tapi oleh rekan-rekan menteri lain diserang dalam rapat-rapat umum,” kenang Nasution.
Posisi Djuanda sebagai Menteri Pertama memang istimewa. Posisi itu diincar oleh banyak orang, termasuk oleh “klik kiri” yang menginginkan agar Soebandrio bisa menggantikan Djuanda. Soekarno tahu itu. Ketika Djuanda wafat, Soekarno tak pernah lagi mengangkat Menteri Pertama/Perdana Menteri. Jabatan itu ia emban sendiri. Sementara Soebandrio hanya diberi “jatah” Wakil Perdana Menteri saja.
Tetapi arus sejarah memang sedang bergerak kiri. Soekarno tetap tak bisa sepenuhnya membendung pasangnya kekuatan kiri. Wajar jika Roeslan Abdoelgani menyatakan bahwa kematian Djuanda menjadi a turning point of Indonesia, sebuah titik balik yang memungkinkan Soekarno makin alpa pada detail dan memberi peluang lebar bagi “klik kiri” (terutama PKI) untuk bisa leluasa memainkan peran. Semuanya, kita tahu, berujung pada tragika 1965.
Mestikah diherankan jika ada seorang wartawan Amerika, seperti dikutip oleh Taufik Abdullah (2001), bilang: “Nanti orang akan menyadari… betapa besar kerugian Indonesia dengan kematian Djuanda.”
Djuanda selalu tak dianggap. Dilupakan. Tetapi ijuga terang, bangsa dan negara ini tumbuh dan berkembang karena wajah-wajah yang membiarkan diri mereka sekan-akan tak bernama, mereka yang bersedia menghadapi masalah riil dengan hati terbuka dan pikiran yang jernih; sekelompok orang yang tak bermain dalam wilayah romantisme dan glamor sejarah.
Djuanda Deklarator Negara Kepulauan
Perdana Menteri Ir H Djuanda Kartawidjaja, pada 13 Desember 1957 mendeklarasikan bahwa Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan. Ir. H. Djuanda dengan kepemimpinan yang berani dan visioner mendeklarasikan bahwa semua pulau dan laut Nusantara adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan (wawasan nusantara). Maka sangat bijak ketika hari Deklarasi Djuanda itu kemudian melalui Keppres No.126/2001 dikukuhkan sebagai Hari Nusantara.
Ir H Djuanda Kartawidjaja, sebelumnya sangat risau melihat pengakuan masyarakat internasional kala itu yang hanya mengakui bahwa batas laut teritorial selebar 3 mil laut terhitung dari garis pantai terendah. Itu artinya pulau-pula Nusantara dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945, adalah pulau-pulau yang terpisah-pisah oleh perairan (lautan) internasional (bebas).
Negara-negara lain, terutama Amerika Serikat dan Australia, sangat berkepentingan mempertahankan kondisi pulau-pulau Indonesia yang terpisah-pisah itu. Tetapi PM Djuanda dengan berani mendobrak kepentingan negara-negara maju itu.
Dengan berani dia mengumumkan kepada dunia (Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957) bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia.
Djuanda, dengan berani mengumumkan kepada dunia, bahwa wilayah laut Indonesia tidaklah sebatas yang diatur dalam Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordonantie (ordonansi tentang laut teritorial dan lingkungan maritim) 1939, tetapi wilayah laut Indonesia adalah termasuk laut di sekitar, diantara, dan di dalam Kepulauan Indonesia.
Deklarasi itu juga menyatakan penentuan batas laut 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan Undang-undang.
Deklarasi itu ditentang oleh Amerika Serikat dan Australia. Namun, Djuanda dan para penerus dalam pemerintahan berikutnya, di antaranya Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja dan Prof Dr Hasyim Djalal, dengan gigih berjuang melalui diplomasi sehingga konsepsi negara nusantara tersebut diterima dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB, United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) 1982.
Dengan demikian, Indonesia menjadi negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia. Memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km2 yang merupakan tiga per empat dari keseluruhan wilayah Indonesia. Di dalam wilayah laut itu terdapat sekitar 17.500 lebih dan dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.
Deklarasi Djuanda secara geo-politik memiliki arti yang sangat strategis bagi kesatuan, persatuan, pertahanan dan kedaulatan serta kemajuan Indonesia. Deklarasi Djoeanda dapat disebut merupakan pilar utama ketiga dari bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tiga pilar utama tersebut adalah: (1) Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang merupakan pernyataan Kesatuan Kejiwaan Indonesia; (2) Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai pernyataan kemerdekaan NKRI; Delarasi Djuanda 13 Desember 1957 sebagai pernyataan Kesatuan Kewilayahan Indonesia (darat, laut dan udara).
Secara geo-ekonomi Deklarasi Djuanda juga strategis bagi kejayaan dan kemakmuran Indonesia. Sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia, Indonesia memiliki kekayaan laut yang sangat besar dan beraneka-ragam, baik berupa sumberdaya alam terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi), sumberdaya alam yang tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, emas, perak, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya), juga energi kelautan seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti pariwisata bahari dan transportasi laut. (tokohindonesia.com)
Bila Djuanda Melawat Ke Ambalat
Deklarasi Juanda diakui oleh masyarakat Internasional dengan disetujuinya Konvensi Hukum Laut oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) di Teluk Montego, Jamaika, pada 1982, dan berlaku sejak 16 November 1994. Pada tahun 1980 juga, Pemerintah Indonesia mengumumkan tentang ZZEI, tanggal 21 Maret 1980, yang menyatakan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia selebar 200 mil diukur dari garis pangkal wilayah laut negara Indonesia. Konsepsi itu menyatukan wilayah Indonesia. Di antara pulau-pulau kita tidak ada laut bebas, karena sebagai negara kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal (baselines-nya) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar. Hal itu diundangkan dengan UU No 6/1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan UU Prp No 4/1960 sebagai implementasi UNCLOS 1982 dalam hukum nasional Indonesia.
“Tapi Deklarasi Djuanda seolah tak bernyawa ketika Indonesia kehilangan hak atas pulau dan terus bersengketa soal batas wilayah. Kini yang disorot adalah kemampuan para penerus untuk menjaga dan mengelola apa yang sudah diklaim Djuanda. Pulau Sipadan dan Ligitan di Kalimantan Timur lepas dari Indonesia sesuai keputusan Mahkamah Internasional PBB” Kata Ahli Hukum Laut, Hasyim Djalal.
Setelah Sipadan dan Ligitan, nama Ambalat mencuat saat Indonesia dan Malaysia memberikan konsensi eksplorasi blok ambalat kepada dua perusahaan penambangan minyak yang berbeda. Indonesia telah memberi izin kepada ENI (Italia) dan Unocal (AS), sementara Shell mengantongi izin dari Malaysia.
Ambalat bukan pulau
Ini adalah sebuah kesalahan serius, dengan memandang Ambalat sebagai sebuah pulau. Dalam konsep kedaulatan, dikenal istilah kedaulatan penuh (sovereignty) dan hak untuk berdaulat (sovereign rights). Keduanya adalah hal yang benar-benar berbeda dan perlu diperhatikan sungguh-sungguh. Kedaulatan penuh berlaku terhadap wilayah darat (termasuk pulau) dan wilayah perairan pedalaman (atau perairan kepulauan, untuk kasus Indonesia) dan laut teritorial. Jika Ambalat dianggap pulau oleh sebagian orang, artinya mereka pun berpikir bahwa pada Ambalat berlaku kedaulatan penuh. Ini berarti bahwa jika sebagain orang menganggap Ambalat adalah milik Indonesia, Malaysia akan dianggap merebut kedaulatan penuh tersebut dan wajar jika ‘perang’ dan ‘ganyang’ adalah jawabannya. Sekali lagi, Ambalat bukanlah pulau melainkan wilayah dasar laut yang diduga (dengan data) mengandung cadangan minyak dan gas bumi. Dengan kata lain, berbicara tentang Ambalat, berarti berbicara tentang wilayah dasar laut/seabed. Melihat jaraknya dari pulau Kalimantan (Borneo), Ambalat berada pada Zona Ekonomi Eksklusif kedua negara atau bahkan Landas Kontinen, karena berkaitan dengan dasar laut. (ref lihat)
Isu – isu strategis Ambalat
Kasus Ambalat ini memang tak boleh disederhanakan sekadar sebagai persoalan kedaulatan (sovereignty). Ada beragam persoalan yang ada di bawah permukaan.
- Persoalan hukum terkait dengan klaim dua pihak : Pulau-pulau yang terletak di garis terluar negara tersebut menjadi penentu kepastian tiga jenis batas di laut, yaitu batas teritorial laut (berhubungan dengan kepastian garis batas di laut); batas landas kontinen (berhubungan dengan sumber daya alam nonhayati di dasar laut); dan batas Zona Ekonomi Eksklusif (berhubungan dengan sumber daya perikanan).
- kepentingan ekonomi : Bermainnya kepentingan bisnis internasional yang memperoleh konsesi minyak dan gas dari kedua negara. Nama Ambalat mencuat saat Indonesia dan Malaysia memberikan konsensi eksplorasi blok ambalat kepada dua perusahaan penambangan minyak yang berbeda. Indonesia telah memberi izin kepada ENI (Italia) dan Unocal (AS), sementara Shell mengantongi izin dari Malaysia.(kompas.com)
Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengungkapkan, Malaysia bertahan dengan klaimnya atas Ambalat sehingga perundingan Indonesia dan Malaysia tentang status perbatasan Blok Ambalat ini belum mencapai kesepakatan. Hingga saat ini Malaysia tidak mau mengalah atas penguasaan laut Blok Ambalat.
Hasyim Djalal: “2008 Seratus tahun keindonesiaan kita. Dan lima puluh tahun kita mencoba mengimplementasikan keindonesiaan itu setelah kemerdekaan kita diakui PBB. Saya itu ingin lihat visi kita 50 tahun yang akan datang paling tidak apa. Jadi kalau visi 50 tahun pertama pemuka-pemuka bangsa kita mencoba menjatidirikan Indonesia menjadi satu bangsa dan satu negara, 50 tahun kedua dia mencoba menikmati itu dalam satu negara yang merdeka dengan kewilayahnnya, maka 50 tahun ketiga apa ke mana? Atau seratus tahun kedua ke mana? Saya tak lihat ada pemikiran seperti itu, karena sekarang pemikiran terarah lima tahun yang akan datang”( mail-archive.com)
Kegagalan yang paling fundamental adalah berlarut-larutnya pembahasan dan implementasi UU Batas Wilayah Indonesia. Padahal, UU Batas Wilayah dapat dijadikan alat legitimasi dalam kancah hubungan internasional. Selain itu, UU ini sangat berkaitan erat dengan yurisdiksi dan kedaulatan NKRI. Tanpa implementasi UU Batas Wilayah, dikhawatirkan satu per satu pulau-pulau terluar yang berbatasan dengan negara tetangga akan lepas.
Hingga kini pemerintah terus menunda-nunda permasalahan sengketa perbatasan. Pertama, Indonesia dan Australia telah menyepakati batas bersama ZEE, namun belum meratifikasi. Kedua, aktivitas penambangan pasir laut untuk Singapura yang berdampak pada kerusakan lingkungan di sekitar Pulau Nipah yang kasusnya tenggelam begitu saja. Ketiga, masalah perbatasan wilayah antara Indonesia dan Malaysia di perairan Pulau Sebatik yang berlarut-larut. Keempat, masalah perairan di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan pascasidang International Court and Justice (ICJ) 17 Desember 2002. Kelima, masalah penetapan ZEE di perairan selatan Laut Andaman antara Indonesia dan Thailand. Keenam, masalah dengan Filipina yang lebih suka menggunakan Treaty of Paris 1889 ketimbang UNCLOS 1982, sehingga Pulau Miangas diklaim masuk wilayah Filipina. Ketujuh, masalah batas RI-Timor Leste yang belum tuntas.
Pemerintah terkesan malas menyelesaikan peta wilayah laut atau kemaritiman Indonesia, serta ragu-ragu dalam mendepositkan koordinat geografis titik-titik garis pangkal (base line) kepada Sekjen PBB. Hal ini sesuai dengan pasal 16 ayat (2) UNCLOS 1982. Peta maritim itu penting karena diperlukan untuk menentukan batas-batas wilayah laut Indonesia dengan negara tetangga serta untuk kepentingan pelayaran internasional yang akan melintasi perairan Indonesia. Selain itu, implementasi UU Batas Wilayah juga sangat penting untuk kejelasan pemanfaatan sumber daya laut, seperti eksplorasi dan eksploitasi migas dan potensi lainnya.(Koran PR)
Sumber : http://serbasejarah.wordpress.com