Pahlawan adalah mereka yang telah melampaui dirinya, mau bekerja untuk kebesaran bangsanya dan bekerja keras untuk orang lain” (Anhar Gonggong – Sejarawan Universitas Indonesia)
Setiap tanggal 24 Maret masyarakat kota Bandung memperingati Bandung Lautan api dalam bentuk napak tilas dari satu titik yang ditentukan panitia, menuju Bandung Selatan dan masuk kembali ke pusat kota Bandung. Sewaktu kuliah beberapa kali penulis mengikuti even ini, dan diteruskan oleh anak-anak karena mereka mendapat tugas dari gurunya. Tetapi kami (penulis dan anak-anak) tidak pernah mampu menyelesaikan target long march. Gugur dan naik angkutan umum pulang ke rumah ^_^
Berat memang perjalanan yang harus ditempuh. Terbayang di tahun 1946 penduduk Bandung harus berjalan keluar Bandung karena kota Bandung di bumihanguskan. Berjalan dalam gulita dengan bekal seadanya, ketakutan karena bunyi ledakan serta kebakaran yang menimbulkan suasana mencekam.
Semuanya berawal dari ultimatum tentara sekutu untuk mengosongkan kota Bandung Selatan sesudah mereka merebut Bandung Utara. Tujuannya untuk dijadikan markas strategis militer. Keputusan diambil Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III Tentara Republik Indonesia (TRI) melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoeangan Priangan (MP3) untuk mengosongkan kota Bandung pada tanggal 24 Maret 1946,
TRI dan pejuang lainnya enggan menyerahkan kota Bandung secara utuh. Karena itu setelah mengungsikan penduduk, mereka membakar kota Bandung. Sehingga dimana-mana asap hitam mengepul membumbung tinggi ke udara mengiringi rombongan besar penduduk Bandung yang mengalir panjang meninggalkan kota Bandung. Puncaknya adalah pembakaran yang mengakibatkan ledakan besar di gudang amunisi milik tentara Sekutu yang dilakukan Mohammad Toha dan Mohammad Ramdan, dua anggota milisi barisan Rakyat Indonesia (BRI). Tugas yang berhasil dieksekusi dengan baik oleh Mohammad Toha sekaligus menyebabkan dirinya dan Mohammad Ramdan meninggal dalam ledakan dan kebakaran gudang tersebut.
Ketika api membumbung tinggi sejak pukul 21.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Bandungpun menjadi lautan api. Suatu strategi jitu karena kekuatan TRI dan rakyat tidak sebanding dengan pihak Sekutu dan Nica yang berjumlah besar.
Sekian puluh tahun berselang, setiap tahun penduduk Bandung selalu memperingati peristiwa tersebut. Peristiwa ketika Bandung menjadi Lautan Api dan menorehkan satu nama yang amat berjasa karena tindakan heroiknya mampu meledakkan pusat amunisi tentara Sekutu. Nama itu, Mohammad Toha hingga kini menjadi perdebatan dan pengajuannya sebagai pahlawan nasional ditolak Badan Pembina pahlawan Pusat dengan alasan perjuangannya bersifat sumir dan data perjuangannya kurang jelas.
Lahir pada tahun 1927 di jalan Banceuy Suniaraja kota Bandung, dari suami istri Suganda dan Nariah yang berasal dari Kedunghalang, Bogor. Mohammad Toha kecil menjadi piatu karena ayahnya meninggal dunia pada tahun 1929. Ibunya menikah lagi dengan Sugandi, adik ayahnya (pamannya) untuk kemudian bercerai dan menitipkan Mohammad Toha pada asuhan kedua kakek neneknya, Jahiri dan Oneng. Mohammad Toha mulai menginjak bangku di Sekolah Rakyat pada usia 7 tahun dan terpaksa keluar pada kelas 4.
Karir keprajuritan dimulai ketika zaman Jepang Mohammad Toha memasuki Seinendan. Sehari-hari Toha juga membantu kakeknya di Biro Sunda, kemudian bekerja di bengkel motor di Cikudapateuh. Selanjutnya Toha belajar menjadi montir mobil dan bekerja di bengkel kendaraan militer Jepang sehingga ia mampu berbahasa Jepang.
Sesudah kemerdekaan, Mohamad Toha bergabung dengan Barisan Rakyat Indonesia (BRI) yang dipimpin oleh Ben Alamsyah, paman Toha. BRI kemudian bergabung dengan Barisan Pelopor pimpinan Anwar Sutan Pamuncak dan berubah nama menjadi Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI).
Mohammad Toha duduk sebagai Komandan Seksi 1 Bagian Penggempur di BBRI. Menurut paman Toha, Ben Alamsyah, beberapa kerabat, serta Komandannya di BBRI : “Mohammad Toha seorang yang cerdas, patuh pada orang tua, memiliki disiplin tinggi dan berhubungan baik dengan rekan-rekannya.
Setiap peserta napak tilas Bandung Lautan Api bisa melihat monumen berupa patung dada Mohammad Toha di daerah Dayeuhkolot dimana terdapat kolam yang semula merupakan lubang bekas ledakan. Selain itu juga terdapat monumen menjulang tinggi berbentuk lidah-lidah api dengan tentara terperangkap dalam kobarannya.
Mohammad Toha mendapat penghargaan Bintang Mahaputra Pratama atas jasanya. Aksi heroiknya memang seharusnya tidak terlepas dari peringatan Bandung Lautan Api. Seperti halnya lagu Hallo Hallo Bandung yang senantiasa dilantunkan sebagai lagu mars peserta napak tilas mengenang eksekusi besar-besaran penduduk keluar Bandung. Tapi bukan pamrih yang diharapkan seorang pejuang. Dia mengerjakan sebagai suatu kebenaran bagi kebesaran bangsa.
Kriteria kepahlawanan boleh ditentukan Anhar Gonggong yaitu manusia yang telah melampaui dirinya dan bekerja untuk bangsanya. Tetapi Mohammad Toha sebagai manusia yang berdedikasi tinggi bagi bangsa dan Negara, sebagai bagian dari bangsa yang enggan menyerah pada kekuatan asing maka walau nyawa menjadi taruhannya maka dia tidak akan surut. Bukan demi selembar penghargaan tapi demi martabat bangsa.
Sumber+Foto:kompasiana.com