Perjuangan korban semburan lumpur Lapindo Brantas Inc mengejar ganti rugi dan pelunasan aset, tak pernah padam. Semangat mereka semakin membara saat semburan lumpur Lapindo Brantas Inc selalu diperingati setiap 29 Mei.
Tujuh tahun (29 Mei 2006–29 Mei 2013) sudah, mereka mengejar janji ganti rugi. Apa daya, PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) masih menebar janji surga lagi. Salah satu korban lumpur tersebut adalah Husni Thamrin, 49. Dia tak kenal lelah mengejar janji pelunasan dari Lapindo. Bapak empat anak itu dulunya tinggal di Desa Kedungbendo, Tanggulangin Sidoarjo.
Setelah tak lagi mampu membayar rumah kontrakan, dia mengajak istri dan empat anaknya hidup di sebuah gubuk di atas tanggul. Uang ganti rugi 20% dari total ganti rugi yang harusnya dia terima, sudah habis untuk membayar utang dan menghidupi keluarga. Tidak hanya rumah yang tenggelam, Mbing, panggilan akrab Husni Thamrin, kini tidak memiliki pekerjaan. Perusahaan tempatnya bekerja juga ikut tenggelam lumpur, sehingga dia pun harus kehilangan pekerjaan.
Untuk hidup sehari-hari, Mbing berutang kepada orang orang yang dikenalnya, dengan janji akan dibayar lunas jika mendapat ganti rugi dari Lapindo. Perusahaan milik Aburizal Bakrie itu masih berutang sekitar Rp700 juta kepada Mbing. “Saya hanya minta Lapindo segera lunasi ganti rugi,” kata Mbing. Pada peringatan tujuh tahun semburan lumpur kemarin dimanfaatkan korban lumpur untuk melampiaskan kekesalannya pada Aburizal Bakrie.
Mereka menenggelamkan ogoh-ogoh mirip bos Lapindo Brantas Inc ke dalam lumpur. “Sudah tujuh tahun ganti rugi kami belum dilunasi,” kata salah satu korban lumpur. Sebagian korban lumpur juga ada yang menggelar istigasah di gubuk-gubuk yang didirikan di atas tanggul lumpur. Korban lumpur selama ini mendirikan gubuk di atas tanggul sebagai bentuk protes karena pembayaran ganti rugi aset mereka belum dilunasi Lapindo. Warga akhirnya melarang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menangani lumpur.
Dalam aksi kemarin juga diikuti sejumlah aktivis lingkungan. Mereka mendirikan monumen lumpur Lapindo di atas tanggul penahan lumpur tepatnya di titik 21 sebagai pengingat tragedi semburan lumpur Lapindo yang telah menenggelamkan ribuan rumah di tiga kecamatan di Kabupaten Sidoarjo itu. Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jawa Timur Bambang Catur Nusantara mengatakan, monumen ini merupakan pengingat bahwa korban lumpur akan selalu menuntut pemulihan sepenuhnya kehidupan mereka yang telah ditelan lumpur.
“Monumen ini sebagai pengingat perjuangan korban lumpur dalam menuntut haknya. Merekadulupernahtinggaldikawasan yang kini sudah menjadi hamparan lumpur,” katanya. Catur menambahkan, peringatan tujuh tahun semburan lumpur pihaknya juga melakukan aksi pemasangan foto-foto untuk mengampanyekan penghentian pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas Inc.
Hal ini dilakukan agar Lapindo Brantas Inc menghentikan aktivitas pengeboran di wilayah padat hunikarenasangat mengganggu lingkungan masyarakat. Peringatan tujuh tahun semburan lumpur juga diperingati oleh relawan dari Urban Poor Consortium (UPC). Mereka berusaha menggugah kesadaran publik terkait dengan aktivitas pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas Inc. “Kami juga akan menggalang dukungan publik atas ancaman yang akan ditimbulkan proyekproyek migas yang tidak mengindahkan keselamatan warga,” kata Gugun Muhammad, salah satu koordinator UPC
November Dijanjikan Lunas
Demo dan istigasah boleh-boleh saja digelar untuk menuntut ganti rugi maupun pelunasan aset, tapi harapan korban lumpur masih di atas awan. Direktur PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusala mengakui, masih ada permasalahan yang belum selesai sampai tujuh tahun semburan lumpur berlangsung. “Sampai tujuh tahun ini kita memang belum bisa menuntaskan jual beli aset korban lumpur,” kata pria asal Makasar itu kemarin.
Setidaknya ada tiga persoalan mendasar penyelesaian dampak semburan lumpur Lapindo Brantas Inc. Antara lain, pelunasan pembayaran jual beli aset warga korban lumpur yang belum tuntas, sertifikat rumah korban lumpur yang memilih rumah di Perumahan Kahuripan Nirwana Village (KNV), dan pembayaran aset milik pengusaha korban lumpur yang belum selesai. “Sudah sering kami jelaskan, jika sertifikat rumah korban lumpur di KNV masih dalam proses di BPN.
Tapi diperkirakan November tahun ini akan selesai,” ucapnya. Sedangkan terkait tuntutan pembayaran aset milik pengusaha yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Korban Lumpur (GPKLL) Andi Darussalam mengaku, penyelesaian jual beli aset milik pengusaha itu dengan metode business to business. Andi mengaku tidak ada urusan dengan GPKLL karena pembayaran jual beli aset mereka tidak termasuk dalam Perpres 14/2007. Penyelesaian pembayaran aset pengusaha langsung dengan Lapindo.
“Kalau kami belum mampu membayar, silakan sertifikatnya diambil. Kan dalam perjanjian sudah diatur itu,” katanya. Sayangnya, Gubernur Jatim Soekarwo tidak bisa memaksa PT MLJ membayar ganti rugi. Yang bisa dilakukan Pakde Karwo hanya mendorong agar segera dilunasi. Apalagi putusan mahkamah agung (MA) menyatakan bahwa Lapindo tidak bersalah atas semburan lumpur di Porong Sidoarjo tersebut.
Pakde menilai, niat Lapindo melalui PT LMJ untuk membayar ganti rugi sudah bagus. “Dulu mau diambil alih pemerintah juga nggak mau, karena (Lapindo) berjanji mau melunasi. Yang bisa kita lakukan, hanya mendorong- dorong,” katanya. abdul rouf/lutfi yuhandi/okezone
sumber:koran-sindo.com