Tahun ini disebut-sebut sebagai tahun politik, sebelum dibukanya pintu gerbang peralihan kekuasaan pada 2014. Satu tahun menjelang berakhirnya kepemimpinannya sebagai presiden, Susilo Bambang Yudhoyono dihadapkan pada pelbagai persoalan. Tidak hanya menyangkut aspek politik dan penegakan hukum, tapi juga masalah ekonomi.
Seharusnya, tahun ini adalah tahun pembuktian kinerja Kabinet Indonesia Bersatu jilid II untuk menyelesaikan persoalan bangsa. Tapi kenyataannya, negara tak berdaya menghadapi gempuran persoalan yang datang silih berganti tanpa henti. Tengok saja jeritan masyarakat manakala harga bahan kebutuhan pokok meroket tajam.
Dalam setahun ini, sudah dua kali persoalan bahan pangan membuat SBY marah kepada menteri-menterinya. Pertama, masalah bawang putih yang langka di pasaran. Saat itu, pasokan bawang putih langka di pasaran karena ada ratusan kontainer bawang impor yang tertahan di Pelabuhan Tanjung Perak.
Kedua, yang belakangan ini menjadi isu paling hangat. Harga bahan kebutuhan pokok kompak naik gila-gilaan. Harga daging sapi menembus lebih dari Rp 100.000 per kilo gram. Bahkan, harga daging di Indonesia sempat disebut-sebut sebagai yang termahal di dunia.
Tidak hanya daging sapi, harga cabe rawit pun makin pedas. Di beberapa daerah, rata-rata harganya di atas Rp 80.000 per kilo gram. Bahkan, di beberapa kota, harga cabe rawit lebih mahal dari daging sapi.
Tak mau kalah, harga bawang ikut merangkak naik perlahan. Harga bawang saat ini rata-rata di atas Rp 50.000 per kg dan berpotensi menyentuh Rp 80.000 per kg jika terus dibiarkan. Sebelumnya, masyarakat cukup dibuat heboh saat harga jengkol naik tajam. Harga jengkol lebih mahal dari harga daging ayam.
Saat harga melambung tinggi, SBY menggelar rapat. Dalam rapat yang digelar di Lanud Halim Perdanakusuma, SBY marah ke Menteri Pertanian Suswono, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, dan Kepala Bulog Sutarto Alimoeso lantaran dinilai lamban dalam mengatasi persoalan harga-harga pangan yang mahal. Padahal, SBY seharusnya tidak hanya marah-marah ke menteri-menterinya, melainkan langsung mengambil alih penyelesaian ‘krisis’ pangan karena harga-harga yang melambung tajam.
M. Prakosa, mantan menteri pertanian era Abdurrahman Wahid atau Gus Dur angkat bicara. Menurutnya, seharusnya presiden ada di garda terdepan ketika bicara soal ketahanan dan kedaulatan pangan. Termasuk ketika menghadapi persoalan kenaikan harga bahan pangan yang selalu dialami rakyat setiap tahun. Menyerahkan kebijakan ke menteri terkait tidak akan menyelesaikan persoalan. Justru kenyataannya para menteri akan bertahan dengan kebijakan masing-masing, sehingga tidak ada sinkronisasi kebijakan.
“Presiden harus turun tangan soal policy (kebijakan) Karena selalu ada polemik kalau disampaikan menteri. Presiden harus ambil sikap, kalau diserahkan ke masing-masing kementerian, mereka ambil kebijakan berdasar analisa sendiri dan muncul ego sektoral,” kata Prakosa kepada merdeka.com, Minggu (21/7).
Dia tidak heran jika Menteri Pertanian Suswono dan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan seolah tak kompak manakala menghadapi masalah pangan. Padahal, masalah kenaikan harga bahan pangan yang terjadi karena kekurangan pasokan selalu terjadi setiap tahun. Istilahnya, masalah klasik yang tidak selesai lantaran tidak ada kebijakan lintas sektoral yang tepat.
Prakosa sendiri tidak setuju jika masalah pangan dan lonjakan harga kebutuhan pokok hanya dibebankan ke menteri pertanian yang gagal menggenjot produksi pertanian. Padahal, kata dia, kebijakan sektor perdagangan di era perdagangan bebas juga mempengaruhi.
“Pengalaman saya (sebagai menteri pertanian), tidak bisa dibebankan ke menteri pertanian. Semua sektor harus kerja sama ke sektor pertanian. Presiden yang bisa jembatani agar tidak ego sektoral,” tegasnya.
Di era kepemimpinan presiden-presiden sebelumnya, masalah pertanian dan ketahanan pangan langsung berada di bawah koordinasi presiden. Kebijakan strategis ketika menghadapi persoalan pangan tidak diserahkan ke menteri terkait.
“Zaman dulu ditangani langsung presiden. Pimpin sidang terbatas menteri, diputuskan presiden dan dilaksanakan. Menteri hanya pelaksana harian,” katanya.
Anggota Komisi IV DPR melihat, target swasembada pangan yang ditargetkan pemerintahan SBY bisa diwujudkan pada 2014, nampaknya jauh panggang dari api. “2014 tidak akan mungkin swasembada pangan. Mungkin baru terwujud 2019. Itu pun kalau pemerintah mulai serius dari sekarang,” ucapnya.(merdeka.com)