Kita terenyak membaca berita di halaman 1 harian Kompas, Jumat, 13 September 2013, yang berjudul ”Museum Nasional Dibobol: Empat Koleksi Emas Berumur 1.000 Tahun Hilang”. Pertanyaan yang langsung menyeruak adalah, bagaimana mungkin benda bersejarah seberharga itu bisa lenyap dari tempat penyimpanannya. Adakah penjaganya atau bagaimana penjagaannya?
Ada banyak pertanyaan yang muncul di benak? Pertanyaan-pertanyaan itu sesungguhnya merupakan ekspresi dari kesedihan kita atas kehilangan benda-benda bersejarah, yang tidak hanya ”mahal” nilai sejarahnya, tetapi juga tentunya mahal harganya.
Empat benda yang terbuat dari emas itu adalah benda bersejarah peninggalan Kerajaan Mataram Kuno sekitar abad X hingga abad XI. Tidak diketahui persis kapan benda-benda itu hilang. Ketiadaan benda-benda itu baru disadari, Rabu, 11 September 2013, pukul 09.10 dan dilaporkan kepada polisi Kamis lalu.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kacung Marijan mengungkapkan, ”Rabu pagi, saat museum hendak buka, personel keamanan melihat pintu lemari dalam keadaan renggang. Jadi, ada upaya membuka pintu secara paksa.”
Pengelola museum segera menyebarkan informasi mengenai bentuk dan ukuran benda- benda yang hilang itu ke sejumlah balai lelang di luar negeri untuk mencegah transaksi penjualan. Namun, langkah tersebut hanya efektif jika orang yang mengambil benda itu menjualnya di balai lelang.
Empat benda yang hilang adalah lempengan bulan sabit beraksara, lempengan Naga Mendekam, lempengan Harihara, dan wadah bertutup (cepuk) yang terbuat dari emas serta berukuran tidak sampai 10 sentimeter.
Keempat benda itu disimpan di lemari kaca di Ruang Emas Arkeologi Gedung A (gedung lama) Lantai II Museum Nasional. Ruang koleksi emas itu menyimpan sekitar 4.000 koleksi benda-benda emas dari abad VIII hingga abad XV pada masa Hindu-Buddha.
Hilangnya empat benda emas dari Museum Nasional itu terjadi pada saat pihak museum menaikkan jumlah personel keamanan dari tujuh orang menjadi 15 orang. Kepala Museum Nasional Intan Mardiana mengungkapkan, selama jam buka museum, yakni pukul 08.30-16.00, ruang penyimpanan artefak emas dijaga satu personel keamanan. Sesudah museum tutup tidak ada lagi yang berjaga di dalam ruangan.
Ruang koleksi emas itu dilengkapi kamera pemantau (CCTV). Namun, saat diketahui ada koleksi yang hilang, kamera pemantau dalam keadaan mati (sejak November 2012). Intan Mardiana tidak mengetahui sejak kapan kamera pemantau itu mati karena tidak pernah ada laporan kerusakan.
Kita hanya dapat bertanya-tanya, apakah pihak museum itu benar-benar menyadari arti penting benda-benda yang berada di bawah tanggung jawabnya? Mengapa pengamanan museum terkesan tidak dilakukan secara sungguh- sungguh. Tidak heran jika Kacung Marijan mengatakan, standar keamanan di Museum Nasional perlu dievaluasi kembali.
Lenyapnya koleksi emas dan benda-benda berharga lainnya dari museum bukan baru kali ini terjadi. Sebelum ini, hal itu sudah sering kali terjadi. Misalnya, untuk menyebut beberapa, pencurian 75 koleksi emas abad VIII dan X milik Museum Sonobudoyo, Yogyakarta, yang hingga kini belum ditemukan; wayang kuno koleksi Museum Radya Pustaka, Solo, Jawa Tengah, yang diduga hilang dan sebagian dipalsukan; dan hilangnya sebuah mata tombak kuno berlapis emas berusia 600 tahun milik Museum Keraton Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat. Belum menghargai
Itu semua menggambarkan, bangsa Indonesia belum menghargai sejarahnya. Padahal, kata-kata bijak menyebutkan bahwa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya, termasuk juga pahlawan-pahlawannya.
Penghargaan terhadap koleksi benda-benda museum itu tidak hanya harus ditunjukkan oleh pengunjung museum, tetapi juga oleh orang-orang yang mengelola museum. Benda-benda bersejarah, termasuk juga manuskrip, harus diperlakukan secara khusus dan itu tentunya memerlukan dana yang tidak kecil.
Ketika Ratu Belanda Juliana datang ke Indonesia, 26 Agustus-5 September 1971, ia menyerahkan naskah keropak Nagara Kertagama kepada Presiden Soeharto. Naskah yang semula disimpan di Universitas Leiden, Belanda, itu berisi karya Mpu Prapanca dalam bentuk syair, melukiskan kemegahan Majapahit di zaman Hayam Wuruk.
Jika tidak diperlakukan khusus, dikhawatirkan dalam beberapa tahun ke depan benda-benda bersejarah, termasuk manuskrip, hanya akan dapat disaksikan di media digital dan buku referensi, karena benda yang asli sudah tak ada lagi (hilang) atau rusak dimakan usia.
Ada baiknya pengelola museum secara rutin memeriksa benda-benda bersejarah yang merupakan koleksi berharganya. Hal itu penting dilakukan untuk menjaga agar benda-benda bersejarah yang menjadi koleksi museum itu tetap merupakan benda yang asli dan bukan tiruan, atau replikanya.
Sebagai bangsa, kita beruntung memiliki banyak candi, termasuk dua yang terbesar, yakni Candi Prambanan dan Candi Borobudur. Keberadaan candi-candi tersebut menggambarkan pencapaian leluhur kita pada masa candi-candi itu dibangun. Pencapaian pada masa sebelumnya, dan juga masa sesudahnya, bisa dilihat melalui benda-benda bersejarah yang berserakan di berbagai museum di Tanah Air. Oleh karena itu, kita harus menjaganya.
Sumber: Kompas.com