Soekapoera Institute (SI), sebuah Lembaga Penelitian dan Kajian Sejarah Priangan Timur mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa ada 184 orang warga Tasikmalaya yang dikirim ke Suriname dalam medio abad ke-19.
Melalui dokumen Tasikmalaya Nasional Belanda, ungkap Direktur SI, Muhajir Salam, ratusan warga Tasikmalaya dikirim secara berangsur dari tahun 1897 hingga 1939. “Ini temuan baru kami, bahwa tidak hanya orang Jawa yang dikirim ke Suriname, tetapi dari Tasikmalaya juga mencapai ratusan orang,” kata dia, Rabu (11/9/2013).
Menurut Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STAI Tasikmalaya ini, tujuan pengiriman warga Tasik saat itu karena daerah Kolonial Belanda di Suriname sama halnya dengan Tasikmalaya sebagai daerah Perkebunan dan Pertambangan. Namun, terjadi pembebesan perbudakan pada tahun tersebut, sehingga budak-budak kulit hitam Suriname tidak ada lagi yang mau bekerja. “Nah, makanya Pemerintah Kolonial mengirim warga Indonesia yang salah satunya dari Tasikmalaya, karena Suriname juga sumber ekonomi pemerintahan Belanda” ujarnya.
Untuk melegalisasi pengiriman warga Tasikmalaya itu pun, Pemerintah Kolonial menerapkan konsep transmigrasi seperti yang ditiru Pemerintah Indonesia sekarang. Mereka ditempatkan di wilayah perkebunan dan pertambangan yang kebanyakan di isi orang Jawa Tengah, Jawa Timur dan sedikit Sunda. “Totalnya mencapai 32.939 orang, dan 184 orangnya warga Tasikmalaya dengan kategori laki-laki 114 orang dan perempuan 70 orang,” ucap dia.
Lalu, dari Tasikmalaya mana mereka berasal? Muhajir pun menunjukkan catatan yang disadur dari Buku “De Innemende Leider Ban Javanese In Suriname” karya Profesor Dr. Chandersen Eugene Sena Choer, bahwa 184 warga Tasikmalaya itu berasal berbagai daerah seperti distrik Tasik, Singaparna, Ciawi, Taraju, Karangnunggal, Indihiang, Cikatomas, Rancah, Pangandaran, Banjar dan Kawali. “Kan dulu mah, Ciamis, Banjar teh masuk Keresidenan Tasikmalaya,” ujar dia.
Menteri Pertanian Pertama
Kendati demikian, lanjut pria berusia 31 tahun ini, ada prestasi yang sangat membanggakan dari warga yang dikirim ke Suriname itu bahwa Menteri Pertanian pertama Negara Suriname adalah orang Tasikmalaya. Beliau, bernama Iding Suminta asal Desa Bengkok Distrik Cikatomas (sekarang wilayah Salopa-red).
Iding, menurut Muhajir, menjadi simbol pemersatu orang Jawa yang menyuarakan kesadaran pentingnya persatuan. “Istilahnya Iding ini sebagai penggerak perjuangan hak-hak buruh tani Suriname,” ujarnya.
Iding pun, kata dia, berangkat ke Suriname pada tahun 1925 ketika berusia 17 tahun. Iding berstatus sebagai perawat.
Meski sama halnya sebagai buruh kuli di negara yang berdekatan dengan Amerika Serikat itu, Iding mendirikan Organisasi Persatuan Indonesia tahun 1946, lalu diubah tahun 1949 dengan nama Kaum Tani Persatuan Indonesia (KTPI).
KTPI inilalu berubah menjadi Partai dan berhasil meraih 20.325 suara dengan dua kursi yang diperoleh dari 21 kursi yang diperebutkan. “Dari Pemilu pertama Suriname inilah, warga Desa Bengkok Kecamatan Salopa (dulu Distrik Cikatomas) berhasil duduk di Pemerintahan dengan jabatan Menteri Pertanian,” kata Muhajir.
Sejak Idik di Pemerintahan itu juga, Iding Suminta menjadi orang pertama yang mendirikan Masjid di Suriname. “Tapi anehnya tetap menghadap barat,” ucap Muhajir.
Selain itu, Iding juga dikenal sebagai sosok yang taat beragama dan piawai menerjemahkan Islam ke dalam Pergerakan. “Bahkan kenapa Iding jadi tokoh juga karena karakter religiusnya itu, sehingga Iding jadi panutan warga Indonesia di Suriname,” ujarnya.
Dan, sifat karakter religius itulah, jelas Muhajir, sama halnya dengan karakteristik masyarakat Tasikmalaya yang dikenal daerah seribu Pesantrennya. “Kemungkinan yang mempengaruhi karakteristik Iding dari H. Ismail, Ketua Sarikat Islam di Gunungtanjung. Apalagi secara geografis wilayah Bengkok dan Gunungtanjung berdekatan,” tuturnya.
sumber: kabar-priangan.com