Nama-nama tokoh tentara berhamburan tertulis di plang jalan-jalan protokol. Tapi pemimpin sipil seperti Soekarno atau Mohammad Hatta selalu bergandengan, seakan masing-masing nama itu tak layak menjadi nama jalan sendiri. Ada apa sebenarnya?
Saat berbincang dengan sejarawan JJ Rizal, dia menuturkan, penamaan jalan raya dengan nama tentara marak terjadi ketika Orde Baru berkuasa. Dia mensinyalir ada pesan terselubung yang hendak disampaikan kepada masyarakat dari penguasa ketika itu bahwa tentara memiliki peran penting dalam pendirian dan kemerdekaan Republik Indonesia.
Upaya semacam ini, menurut Rizal, memiliki implikasi sangat serius terhadap sejarah, terutama ketika peran tokoh-tokoh sipil seakan dinafikan. Padahal pemikiran dan gerakan mereka sangat nyata dalam merumuskan Indonesia sebelum masa kemerdekaan tiba.
“Ada usaha tersembunyi dan pembangunan legitimasi kepada masyarakat bahwa tentara mempunyai peran penting dalam sejarah perjuangan Indonesia, sedangkan tokoh-tokoh sipil tidak,” terang Rizal.
Menurut dia, anggapan semacam ini sangat berbahaya bagi generasi muda. Dia pun mengajak masyarakat, khususnya elit negeri ini, untuk membaca kembali sejarah dan mengingat peran tokoh semisal R.A Kartini, HOS Tjokroaminoto, Eduard Dowes Dekker, Soekarno dan Hatta pada era pejuangan.
Hal ini penting dilakukan agar generasi muda tidak kehilangan konteks sejarah dan mengerti sejarah sebenarnya. Jangan pula melupakan jasa para pemikir. Sebab pada dasarnya, mereka adalah pejuang yang memiliki kontribusi penting seperti juga para tentara di medan perang.
Pendiri Komunitas Bambu itu hendak mengingatkan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak hanya diraih lewat senjata. Tetapi juga melalui pemikiran dan karya yang menginspirasi para pejuang untuk semangat merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.
Pengabaian terhadap kontribusi pemikiran pahlawan sipil tampak sistematis dilakukan Orde Baru terhadap Soekarno dan Hatta. Sampai saat ini tidak pernah didapati sebuah nama jalan yang merujuk pada kedua proklamator itu sebagai pribadi masing-masing. Kalaupun ada, hanya dijumpai nama jalan Soekarno-Hatta.
Rizal menegaskan, ada upaya politik desoekarnoisasi dan dehattaisasi oleh pemerintah Orde Baru agar nama besar kedua tokoh itu tidak menandingi kebesaran Jenderal Soeharto. Bagi dia, Orde Baru hendak memosisikan mereka sebagai dwitunggal, bukan sebagai pribadi masing-masing.
“Saya melihat ini sebagai upaya pengerdilan terhadap peran mereka berdua,” ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, pemerintah berupaya melakukan koreksi seraya mengapresiasi peran mereka yang telah berjasa terhadap bangsa. Panitia 17 mengusulkan nama Soekarno, Mohammad Hatta, Ali Sadikin dan Soeharto sebagai nama baru menggantikan nama Jalan Medan Merdeka Utara, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jalan Medan Merdeka Barat dan Jalan Medan Merdeka Timur.
Rencana ini pun melahirkan kontroversi. Khususnya ketika menyangkut nama Soeharto. Bagi Rizal, pemberian sebuah nama jalan di tempat utama haruslah diberi nama seorang tokoh yang memberikan inspirasi, keteladanan dan menjadi role model bagi masyarakat secara keseluruhan.
“Untuk Soekarno, Hatta dan Ali Sadikin, masyarakat sudah tidak lagi mempersoalkan perannya. Tetapi, untuk Soeharto, inspirasi macam apa yang bisa diambil dari tokoh itu?”, tukasnya.
Rizal menyayangkan rencana perubahan nama jalan -dengan maksud mengapresiasi kepahlawanan sipil-baru diusulkan saat ini, sehingga memunculkan kontroversi. Idealnya, koreksi itu dilakukan 10 tahun silam ketika reformasi sedang berjalan dan saat bangsa ini melakukan redefinisi terhadap dirinya.
Rizal menegaskan, perlu ada keseimbangan dalam mengapresiasi peran para pahlawan. Bukan hanya tentara yang memiliki peranan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, tokoh sipil pun mempunyai kontribusi yang tidak kalah penting.
“Saya setuju dengan Oerip Soemoharjo (tentara) yang mengatakan ‘Aneh, negara zonder (tanpa) tentara’, ketika menanggapi Presiden Soekarno yang mendirikan Badan Keamanan Rakyat yang beranggotakan sipil, bukan tentara,” katanya. Namun, dia mengingatkan, tetap harus seimbang antara sipil dan militer, karena keduanya memiliki peran masing-masing dalam meraih dan mengisi kemerdekaan.
Sebagai bangsa, tambahnya, Indonesia harus berani menengok masa lalu untuk memperbaiki masa kini dan masa depan. Karena jika tidak, Indonesia akan terus-menerus membuat kesalahan karena melakukan pengerdilan terhadap para pejuangnya.
Sumber: id.berita.yahoo.com