Indonesia pernah punya cerita indah soal prestasi tim nasionalnya di ajang internasional. Kisah-kisah indah tersebut masih ditunggu untuk diulangi oleh publik sepakbola tanah air yang tak pernah surut memberikan dukungan.
Bahwa Indonesia dulu pernah meraih beberapa pencapaian yang dinilai membanggakan, itu sudah jadi cerita turun-temurun hingga saat ini. Masih membekas di benak bagaimana ramainya Piala AFF 2010. Ketika itu tim besutan Alfred Riedl begitu dielu-elukan.
Mulai dari ramainya soal pemain naturalisasi semisal Cristian Gonzales, sampai bintang blasteran bernama Irfan Bachdim, plus bintang-bintang yang baru mencuat di turnamen itu, seperti Okto Maniani dan Ahmad Bustomi, semua orang membahasnya. Entah jadi pembicaraan di kubikel-kubikel kantor atau warung-warung kopi.
Faktanya, permainan Indonesia pada turnamen tersebut memang terlihat menjanjikan. Maka, bolehlah publik yang sudah lama haus gelar itu berharap-harap bahwa inilah waktunya Indonesia mengakhiri paceklik gelar. Namun, kenyataan berkata lain, Indonesia memang melaju sampai ke final, tetapi pada akhirnya kalah dari Malaysia.
Entah apa jadinya andai Indonesia tidak kalah dari Malaysia tiga tahun silam, mungkin keramaian itu bakal meledak lebih keras. Tapi, apa daya, Indonesia masih harus menunggu gelar datang lebih lama lagi.
Medali juara terakhir yang mampir di leher pemain-pemain Indonesia masihlah SEA Games 1991. Ketika itu, Robby Darwis dkk. membawa ‘Skuat Garuda’ melalui fase grup tanpa pernah kalah: menundukkan Malaysia dengan skor 2-0, menang 1-0 atas Vietnam dan membungkam tuan rumah Filipina dengan 2-1.
Menjadi pemuncak Grup B, Widodo C Putro dkk lantas menang adu penalti atas Singapura dengan skor 4-2 di babak semifinal. Sementara di laga puncak, yang kembali harus dituntaskan melalui adu tos-tosan, Indonesia menjungkalkan Thailand 4-3.
Sukses di Filipina tahun 1991 tersebut merupakan ulangan atas apa yang terjadi empat tahun sebelumnya, saat tim nasional Indonesia juga meraih emas di SEA Games yang digelar di Jakarta, yang sekaligus menjadi emas pertama di cabang sepakbola. Kala itu timnas lolos dari fase grup hanya sebagai runner up di bawah Thailand, setelah mengumpulkan nilai tiga hasil kemenangan atas Brunei (2-0) dan bermain imbang dengan Thailand (0-0).
Di semifinal Indonesia menang 2-0 atas Burma, dan lolos ke final untuk berhadapan dengan Malaysia. Dalam laga puncak yang digelar di Stadion Utama Senayan, gol semata wayang Ribut Waidi di periode ekstra time menjadi satu-satunya yang tercipta. Indonesia dapat emas cabang sepakbola untuk kali pertama!.
Sampai saat ini medali emas di Jakarta 1987 dan Manila 1991 menjadi satu-satunya dan yang terakhir didapat Indonesia di ajang SEA Games. Prestasi itu sudah jadi seperti folklore, seperti cerita rakyat. Diceritakan turun-temurun layaknya hikayat. Cerita-cerita untuk mengingat bahwa Indonesia juga pernah berjaya.
Jauh sebelum SEA Games 1991 dan 1987, ada cerita-cerita serupa seperti ketika seorang pria asing bernama Toni Pogacnik mendidik anak-anak Indonesia dari dasar. Pogacnik memang berstatus sebagai pelatih tim nasional, tapi dia tidak hanya melatih, melainkan juga mengajari.
Pogacnik akan dengan tekun mengajari para pemain itu dasar-dasar bermain sepakbola, mulai dari mengoper dan menendang. Pogacnik terlibat dalam proses seleksi tim yang disebar di seluruh penjuru negeri sampai akhirnya terbentuk tim yang dia inginkan. Olehnya, Indonesia dibawa melangkah jauh di Asian Games 1958: meraih medali perunggu.
Di Tokyo ketika itu, Indonesia tergabung di Grup B bersama Burma dan India, di mana laga dengan keduanya masing-masing berakhir dengan kemenangan 4-2 dan 2-1 yang membuat Indonesia berhak lolos ke fase berikutnya. Meski meraih kemenangan besar dengan 5-2 atas Filipina di perempatfinal, Pasukan Merah Putih gagal masuk final karena di semifinal tunduk atas China dengan skor tipis 0-1.
Medali perunggu akhirnya didapat setelah dalam perebutan tempat ketiga Indonesia kembali menundukkan India kali ini dengan skor telak 4-1. Ini adalah prestasi terbaik sepakbola Indonesia di Asian Games hingga kini.
Yang kemudian juga jadi legenda adalah bagaimana Indonesia menahan imbang Uni Soviet 0-0 di perempatfinal Olimpiade 1956. Sayang, pada laga ulangan beberapa hari berikutnya, Indonesia kala 0-4.
Cerita-cerita seperti inilah yang kemudian kerap diulas, untuk sekadar mengingatkan bahwa kalau dulu Indonesia bisa, mengapa sekarang tidak?
sumber: http://sport.detik.com