JANGAN lewatkan malam tanpa tayub di Bojonegoro, Jawa Timur. Mampirlah ke Desa Jono dan nikmatilah penari-penari cantik, gemulai bertayub ria, dengan suara merdu pula. Anda tentu saja boleh ikut menyandang sampur dan menari bersama mereka.
Malam terang bulan di Bojonegoro. Menembus gelap malam, melewati sawah dan hutan jati, akhirnya tiba juga di Desa Jono, Kecamatan Temayang, sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Bojonegoro. Di pendopo balai desa yang terang benderang, gamelan bertalu-talu. Tujuh perempuan penari tayub, atau sindir, menyinden merdu sambil menari gemulai. Tubuh mereka dibalut kain kebaya warna merah jambu. Warna-warna yang menyegarkan malam. Ya, malam itu, Kamis Legi (13/3), Bojonegoro memperlihatkan salah satu sisi keindahannya dalam tayub.
Mbak Yun, salah seorang penari, dengan merdu ikut melantunkan tembang ”Caping Gunung”. Tak kurang dari Bupati Bojonegoro Suyoto atau Kang Yoto ikut tayuban. Bahkan Mari Elka Pangestu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, juga menjajal menari bersama lengkap dengan sampur tersampir di pundaknya. Tamu yang dipandang terhormat biasanya memang didaulat untuk ikut menari dengan ditandai dikalungkannya selendang.
Tetamu cukup duduk lesehan berteman camilan ndeso berupa jagung rebus, pisang rebus, ubi rebus, dan kacang rebus. Plus kopi panas dalam cangkir kecubung. Sementara itu, laron-laron beterbangan di pendopo mengitari terangnya sinar lampu.
Budaya agraris
Desa Jono terletak di tepian hutan jati di jalur Bojonegoro-Nganjuk. Desa Jono, atau n-Jono dalam lafal orang Jonegoro, adalah Desa Wisata Budaya. Di sini tumbuh seni tradisional, seperti jaranan, kethoprak, dan yang paling terkenal adalah tayub yang oleh warga sekitar disebut sindir. Disebut sindir atau sindiran karena lantunan syairnya bermuatan pesan atau sindiran.
Kepala Desa Jono, Dasuki, menuturkan, saat ini ada sedikitnya 22 sindir atau penari tayub. Menjadi sindir atau penari tayub merupakan profesi yang cukup menjanjikan di n-Jono. Dalam paket pergelaran lengkap, termasuk gamelan, penabuh, dan perangkat tata suara, kelompok tayub bisa mendapat bayaran Rp 10 juta-Rp 12 juta. Di luar tanggapan kelompok, para sindir tayub pun bisa ditanggap secara personal. Tarif untuk yunior atau petayub pemula sekitar Rp 500.000. Adapun petayub terkenal bisa mencapai Rp 8 juta per sindir. ”Setiap sindir bisa tanggapan 5-10 kali sebulan, apalagi pas musim wong duwe gawe,” kata Dasuki.
Sejumlah waranggana (sinden) tayub populer di antaranya Tegowati, Rasmi, Wariyati, Mujiati, Yuyun, Prihatini, Natipi, dan Hartini. Sekali pentas sedikitnya tarif mereka manggung Rp 2,5 juta. Dalam bertayub, penari tayub atau sindir bisa tampil berdua atau bisa juga sampai belasan penari. Penonton boleh menari bersama penari tayub. Acara akan semakin ramai dan hangat ketika sindir menyanyikan gending-gending populer. Malam itu, misalnya, tampil tujuh sindir membawakan tembang ”Gambir Sawit” serta ”Praon” atau ”Prau Layar”.
Hapus citra negatif
Tayub lahir dari kehidupan masyarakat agraris. Biasanya tayub digelar sebagai tanda syukur seusai panen atau menjadi hiburan pada acara hajatan seperti khitanan. Kelompok tayub kadang juga mbarang atau mengamen dengan mangkal di emperan toko sekitar Pasar Besar Kota Bojonegoro atau Pasar Kebo. Keberadaan Tayub Janggrung memang sudah lama menjadi ikon Bojonegoro sejak tahun 1980-an dan dinikmati masyarakat kalangan bawah. Hanya dengan Rp 5.000 sudah bisa menikmati lagu yang diminta.
Para seniman tayub di Bojonegoro berupaya menghapus sementara anggapan yang mengatakan bahwa tayub identik dengan foya-foya. Ada pula yang mengatakan tayub menjadi ajang main mata dengan perempuan (penari tayub). Pimpinan Sanggar Anugerah di Desa Jono, Kapri Prasetyo, menilai tayub banyak memiliki nilai positif meskipun ada segelintir orang yang menyalahgunakan seni tayub.
Bupati Bojonegoro Suyoto memaknakan tayub dalam konteks tata kehidupan sosial masyarakat. Ia menggunakan kerata basa atau semacam otak-atik kata tayub berasal dari kata ditata agar guyub. Artinya ’menari bersama-sama yang diatur sedemikian rupa agar lebih akrab’. Jika penari tidak mengikuti irama gending dan irama gerak, ia akan mengganggu kebersamaan. ”Kalau sudah bunyi dung, kaki sudah harus melangkah. Nanti yang tidak ikuti irama akan minggir dengan sendirinya karena dianggap tidak bisa,” tutur Kang Yoto.
Tayub Desa Jono adalah jenis tayub yang sudah disesuaikan dengan kondisi masyarakat saat ini. Norma kesopanan menjadi kunci utamanya, dengan setiap penampilan antara waranggono dan pengibing selalu ada jarak. Penari menggunakan kebaya yang rapi tertutup. ”Dulu, zaman saya masih kecil, penari menggunakan kemben, bagian atas terbuka. Dulu norak. Orang pegang-pegang penari. Sekarang nyenggol saja tidak boleh,” kata Kang Yoto.
Penari tayub di Bojonegoro biasanya mengawali pementasan dengan membawakan tari Gambir Anom, sebuah tarian klasik dengan gaya lembut baru disusul irama-irama yang sedikit rancak dengan lagu-lagu campursari atau langgam jawa.
Sebelum dimainkan, tayub biasanya diawali dengan nguyu-uyu atau manghayu-hayu yang artinya penghormatan kepada semua tamu sebelum acara dimulai. Setelah itu, ada ritual bedhayan, berupa tarian pembuka sebelum pertunjukan tayub dimulai. Lantas disusul Talu Gending sebagai pengantar tayub akan segera dimulai.
Selanjutnya, ketika kendang memberi isyarat dengan bunyi dung, dan kaki melangkah untuk pertama kalinya, saat itulah penari dan tetamu yang ikut menari masuk dalam kehidupan yang gemulai…. (Sumber: Kompas.com)