Pengembangan kawasan Puncak, Cipanas, Kab. Cianjur dinilai kontradiktif. Pasalnya, sejak dulu dan sampai sekarang, Kawasan puncak oleh Kementerian Pariwisata dijadikan tujuan wisata andalan dari pemerintah pusat, dengan kondisi ini pembangunan hotel, vila, dan perumahan di Puncak tidak bisa dihindarkan namun di sisi lain, Puncak merupakan kawasan resapan air yang seharusnya bebas dari bangunan.
Demikian diungkapkan Kepala Dinas Tata Ruang dan Pemukiman (Distarkim) Cianjur, Yoni Raleda, Minggu (9/3/2014). Ia menuturkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54/2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur) dinilai tidak cukup menyelamatkan kawasan Puncak sebagai kawasan penyangga ibukota untuk mengatasi banjir. Sejak kawasan Puncak dijadikan wisata andalan nasional, maka pembangunan di Puncak akan terus berkembang.
“Kami sebagai pemeritah daerah mengaku kebingunan dengan dua kebijakan yang kontradiktif. Meskipun Puncak dijadikan destinasi wisata alam, namun segala infrastruktur penunjang kan harus tetap ada seperti bangunan penginapan, rumah makan, dan sebagainya. Namun, saat dikeluarkan Perpres Bopunjur jadi beda lagi pengembangan kawasannya,” tuturnya.
Disamping itu, kata Yoni, Puncak juga dijadikan kawasan penyangga lingkungan bagi ibukota sebagai daerah resapan air, sehingga pembangunan harus dikendalikan. “Ini kan suatu yang kontradiktif. Seharusnya pemeritah pusat tegas. Jika memang kawasan penyangga untuk serapan air. Penertiban vila dan hotel pada wilayah yang masuk dalam zona N1 di Perpres tersebut ditertibkan. Jika itu dibebankan kepada Pemkab setempat pasti banyak kendala,” ucapnya.
Yoni menuturkan jika pemerintah pusat ingin Puncak menjadi kawasan wisata andalan, maka juga harus tegas. Wisata yang seperti apa, zonanya dimana, dan pembangunan apa saja yang boleh karena adanya wisata pembangunan infrastruktur dan pengembangannya tidak bisa dihindari.
“Sampai saat ini semua masih samar. Jadi, kalau ada bencana, selalu menggunakan Perpres tersebut. Jika sedang tren wisata untuk meningkatkan pendapatan menggunakan ikon Puncak menjadi tujuan wisata andalan,” ucapnya.
Lebih lanjut Yoni mengatakan dalam Perpres sedikitnya ada tiga kecamatan di Cianjur yang dilabeli sebagai zona N1 dan N2. Tiga kecamatan tersebut adalah sebagian Kecamatan Cipanas, Kec.Pacet, dan Kec. Sukaresmi.
“Label N1 ini dalam aturan adalah zona yang terdiri atas kawasan hutan lindung, kawasan resapan air, sempadan sungai yang pemanfaatannya mencegah erosi, amblesan dan banjir,” katanya.
Sedangkan N2, akat Yoni, zona Cagar alam, taman nasioanl, dan suaka margasatwa yang pemafaatannya untuk perlindungan keaneragaman biota dan konservasi budaya.
Sementara itu, hingga kini Distarkim Cianjur mengaku kesulitan melakukan pendataan keberadaan vila liar. Pasalnya, pendataan tersebut harus menggunakan sistem audit mikro. Penggunaan sistem audit mikro baru direncanakan pada tahun ini. Namun, Distarkim mengaku hal tersebut terbentur dengan anggaran yang minim.
“Jika pakai audit mikro, pendataan yang dilakukan door to door. Tujuannya untuk mendapatkan data pasti, apakah bangunan ini berijin atau tidak,” tutur Kepala Bidang Tata Ruang, Distarkim Cianjur, Suherman.
Suherman menuturkan, pendataan yang berujung pada dilakukannya penertiban, tidak akan mudah dilakukan di Cianjur. Pasalnya, kondisinya berbeda dengan kawasan Bogor, dimana lahan yang ada merupakan milik negara.
“Sedangkan di Cianjur, merupakan hak milik. Bahkan memiliki ijin IMB dan sertifikasi. Belum lagi, urusan mengenai pembangunannya dilakukan sebelum keluar Perpres 54. Sehingga, penertiban di Cianjur tidak bisa dilakukan menggunakan data makro, dimana cukup disebutkan ini kawasan N1 atau N2 sehingga melanggar dan harus ditertibkan,” ujarnya.
Tidak hanya itu, pendataan audit mikro juga memerlukan anggaran yang besar. “Kami berharap ada suport dari provinsi maupun pusat. Tapi, pihak kementerian sudah mengeluarkan surat dimana, daerah harus menyediakan anggaran sendiri untuk penyelenggaraan penataan ruang. Sehingga mau tidak mau kami harus menjalankannya. Kalau kaitan dengan sumberdaya manusia, Cianjur sudah siap, tahun ini diharapkan mulai berjalan,” katanya.
Dalam surat yang disampaikan pihak Kementerian Pekerjaan Umum , kata Suherman, perihal tindak lanjut hasil audit tata ruang di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur (Jabodetabekpunjur), disebutkan ada beberapa wilayah yang diindikasikan tidak sesuai dalam pemanfaatan ruang.
“Diantaranya yang dikategorikan masuk N1 atau zona lindung, yakni Ciloto di letak geografis Bujur Timur 106,995 dan Lintang Selatan 6,71063. Untuk N2, yakni Ciloto di letak geografis Bujur Timur 106,998 dan Lintang Selatan 6,71151. Kalau secara garis besar, kawasan zona hijau untuk Cianjur ada di Kecamatan Cipanas, Pacet, Sukaresmi dan Cugenang,” ucapnya.
Sedangkan, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jabar simpul Bopunjur menilai kondisi alam dan lingkungan bopunjur termasuk kawasan puncak atau Cianjur Utara (Cirut) sudah dalam kondisi kritis.
“Kerusakan alam di kawasan bopunjur termasuk puncak ini sudah tidak terkendali akibat salah urus. Puluhan bencana alam terjadi di sini beberapa waktu lalu,” kata Koordinator Walhi Simpul Bopunjur, Eko Wiwid Arengga.
Eko mengatakan untuk mengatur Puncak tidak bisa dilakukan hanya diatas meja, tanpa melihat kondisi lapangan yang kini sudah banyak berubah. “Diperlukan ketegasan aturan dan sikap dari pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten mengenai hal ini. Pasalnya, banyak warga juga yang sudah melakukan alih fungsi lahan dan mempunyai hak lahan,” katanya. (pikiran-rakyat.com)