Hasil hitung cepat, baik quick count maupun exit poll, untuk Pemilu Legislatif 2014, membongkar ulang perkiraan peta politik yang sebelumnya diperkirakan berdasarkan beragam survei sepanjang 2013 hingga menjelang hari pemungutan suara pemilu legislatif.
Perubahan besar diperkirakan bakal terjadi setelah perolehan suara Partai Demokrat, sekalipun turun tajam dibandingkan capaian pada Pemilu 2009, ternyata menurut hitung cepat tak seburuk yang diperkirakan. Sebaliknya, suara untuk partai-partai berbasis massa Islam, yang sebelumnya diduga akan terkikis nyaris habis, justru mengejutkan dengan capaian di atas 6 persen selain Partai Bulan Bintang.
Maka, Pemilu Presiden 2014 tak lagi hanya memandang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar sebagai lokomotif utama. Tak pula peta politik hanya akan menunggu “gerbong ketiga” sebagai kubu penantang. Bisa jadi, empat pasangan calon presiden dan wakil presiden bisa muncul dalam Pemilu Presiden 2014.
Survei tertebas hitung cepat
Data hitung cepat Kompas yang dilansir Kamis (10/4/2014) dan survei ketiga dari serial survei Kompas yang dirilis pada Kamis (9/1/2014) menjadi salah satu gambaran bahwa hitung cepat menebas beragam perkiraan dari aneka rupa survei yang sebelumnya ada.
Meski Partai Demokrat sejak jauh-jauh hari diramalkan bakal tersungkur setelah rangkaian krisis internal dan kasus korupsi melanda partai tersebut, hitung cepat menyodorkan perolehan suara partai itu masih cukup signifikan.
Survei terakhir Kompas memperkirakan suara Partai Demokrat hanya akan ada di kisaran 7,2 persen. Hitung cepat menunjukkan, partai ini masih mendapatkan 9,47 persen suara, sekalipun rontok 11,34 persen dari capaian pada Pemilu 2009.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar memang tak menunjukkan perbedaan signifikan antara hitung cepat dan survei. Namun, perolehan mereka lebih rendah hampir 2 persen dibandingkan survei terakhir Kompas.
“Jokowi Effect”, istilah untuk harapan pengusungan Joko Widodo menjadi bakal calon presiden dari PDI-P, tak memberikan efek penambahan dukungan suara yang oleh beragam survei disebut bisa membawa suara PDI-P jadi lebih dari 30 persen. Sebaliknya, insiden semacam “Teddy Bear di Maladewa” juga tak membuat Partai Golkar terempas.
Partai-partai yang sempat digadang-gadang survei bakal terus memupuk tambahan suara, Partai Hanura dan Partai Nasdem, ternyata mandek pasokan dukungannya. Bila survei terakhir Kompas memotret Nasdem akan mendapatkan 6,9 persen suara dan Hanura 6,6 persen, hitung cepat Kompas mendapatkan Nasdem tertahan di angka 6,7 persen dan Hanura turun ke 5,11 persen.
Lagi-lagi retorika politik kembali termentahkan oleh kenyataan. Bagi para wartawan yang mendapatkan muka bersungut-sungut Hary Tanoesoedibjo, bisa jadi masih terekam jelas kalimat, “Begini deh, kita buktikan nanti pemilu 9 April (Hanura) menang atau tidak.” (Baca: Ditanya soal Kampanye Akbar Hanura yang Sepi, Win-HT Emosi)
Kalimat tersebut terlontar ketika wartawan meminta konfirmasi atas tak terbuktinya 150.000 orang akan memadati Gelora Bung Karno di kampanye terbuka terakhir partai itu. Pak Hary, ternyata pemungutan suara pun tak beda dengan saat kampanye di Gelora Bung Karno, sepertinya.
Sebaliknya, partai-partai politik berbasis massa Islam membuktikan diri mereka belum tamat. (Baca: Partai Politik Berbasis Massa Islam Menjungkirbalikkan Survei). Selain Partai Bulan Bintang, empat partai politik berbasis massa Islam mendapatkan suara jauh di atas 6 persen, bahkan Partai Keadilan Sejahtera, yang dirundung hujan badai dugaan korupsi impor sapi dan “kembang-kembang” perkara itu.
Peta politik berubah
Karenanya, peta politik pun diperkirakan berubah. Selain PDI-P dan Partai Golkar yang memimpin di hitung suara, lokomotif pun diperkirakan diperankan oleh Partai Gerindra dan Partai Demokrat. Capaian suara Partai Gerindra di hitung cepat tak berubah banyak dari survei terakhir Kompas, dari 11,5 persen menjadi 11,77 persen. (Baca: PDI-P, Golkar, Gerindra, dan Demokrat Penentu Peta Koalisi).
Namun, semua masih menunggu hasil perhitungan resmi dari KPU dan perolehan kursi DPR sebagai hasil konversi suara di pemilu legislatif. Perhitungan suara resmi jelas merupakan satu-satunya basis yang dapat dipergunakan secara sah. Adapun konversi kursi dapat menjadi alternatif daya tawar yang tak bisa diabaikan begitu saja.
Pasal 9 UU Pemilu Presiden menyatakan syarat pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah kepemilikan dukungan 25 persen suara sah atau 20 persen kursi di DPR. Suara sah jelas sudah, tak satu pun bisa mendongkrak suara mendekati syarat minimal itu, bila merujuk data beragam hitung cepat. Bila berbasis suara, semua partai mutlak berkoalisi.
Namun, peluang lain masih datang dari “konversi kursi”. “PDI-P bisa jadi akan mendapatkan suara dan jumlah kursi yang persentasenya sama,” kata Presiden PKS Anis Matta saat berbincang dengan Kompas.com, Rabu (9/4/2014) malam. Artinya, kata dia, PDI-P masih punya kemungkinan maju mengusung sendiri pasangan calon presiden dan wakil presiden, bila suara sah yang setara kursi bisa mencapai 20 persen.
Anis pun memaparkan, untuk partai selain PDI-P dan Golkar, perolehan suara dan kursi bisa jadi masih akan sangat naik turun. “Selisih suara dan kursi, biasanya antara 3 hingga 4 persen, bisa naik maupun turun,” ujar dia.
Karenanya, PKS yang di hitung cepat Kompas mendapatkan 7,02 persen pun masih bisa optimistis naik tingkat dari peringkat 7 hitung cepat, ketika suara sudah dikonversi menjadi kursi. Namun, Anis mengakui target tiga besar kemungkinan tak akan tercapai.
Menurut Anis, lokomotif koalisi pun bisa menjadi empat alternatif. Apalagi, secara mengejutkan PKB mendapatkan kenaikan besar perolehan suara. Hitung cepat Kompas mendapatkan PKB meraup 9,17 persen suara, sekalipun pada survei hanya terpotret target tertingginya tak sampai 6 persen. “Daya tawar sudah berubah. Permainan semakin seru,” ujar dia sembari merujuk teori politik adalah fun game.
Koalisi partai berbasis massa Islam
Pembuktian partai politik berbasis massa Islam pun langsung memunculkan sinyalemen bakal naik pula posisi tawar partai-partai ini. Tak kurang dari Wakil Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Marzuki Alie, menyebut partai politik berbasis massa Islam sebagai gadis cantik yang siap dilamar. (Baca: tulisan berjudul pernyataan Marzuki itu).
Anis mengatakan hasil hitung cepat ini memperlihatkan peta politik Indonesia saat ini memasuki fase merata. “Flat. Tak ada yang dapat suara melejit di atas 20 persen. Semua menjadi partai papan tengah,” sebut dia.
Keyakinan bahwa partai politik berbasis massa Islam akan menjadi kunci penentu koalisi juga disampaikan Wakil Ketua Umum PAN Dradjad Hari Wibowo. “Selain PDI-P, semua partai butuh tambahan suara. Tambahan itu ada di jajaran partai yang suaranya di bawah 10 persen, yang mayoritas adalah partai dengan basis massa Islam,” papar dia.
Seperti halnya Anis, Dradjad pun berkeyakinan perolehan kursi beberapa partai juga akan melampaui perolehan suara. Sebaliknya partai yang saat ini mendapatkan suara cukup tinggi masih terancam berkurang persentase perolehan kursinya. “Ini soal sebaran dan harga kursi di tiap daerah pemilihan,” ujar dia sembari menyebutkan PAN masih optimistis mewujudkan target 10 persen kursi DPR.
Baik Anis maupun Dradjad tak yakin koalisi akan dibangun sendiri oleh kalangan partai politik berbasis massa Islam. Kemungkinan tetap ada, tetapi keduanya berkilah saat ini fokus partai masih pada hasil akhir perolehan suara dan konversi kursi. Justru Ketua DPP PKB Marwan Jafar yang tegas mengatakan, “Impossible.”
Marwan mengatakan bahkan tak semua orang Islam memilih partai politik berbasis massa Islam. Karenanya, dia berpendapat untuk mewujudkan pemerintahan yang kuat, koalisi lebih baik menggabungkan kekuatan dengan partai-partai nasionalis.
Terkait daya tawar partai, Marwan pun menepis bakal terulangnya tren PKB yang biasanya mendapatkan kursi lebih sedikit dibandingkan suara. Konsentrasi suara hanya di beberapa daerah, sekalipun secara akumulasi nasional tetap tinggi, dalam dua pemilu langsung sebelumnya terbukti tak efektif untuk mengakumulasi konversi kursi. “Kali ini suara kami lebih merata, tak hanya dari massa tradisional dan daerah basis,” ujar dia.
Terlepas dari semua data dan penantian hasil final Pemilu Legislatif 2014, peta politik Indonesia tak lagi sepenuhnya dapat disandingkan dengan “peta rujukan” berdasarkan hasil Pemilu 1955. Pemilu pertama Indonesia itu menjadi rujukan karena dianggap paling demokratis dengan hasil yang dianggap mewakili preferensi politik murni rakyat Indonesia berbasis kultural. Benar atau tidaknya, mari kita lihat bersama…(sumber: kompas.com