Pasar Senen adalah landmark yang terkenal di Ibukota, bahkan di seluruh Indonesia. Ketenarannya didulang sejak zaman Belanda dan mencapai puncaknya pada era tahun 1970-1990-an. Saking bekennya pasar ini, namanya diabadikan sebagai nama wilayah dan beberapa fasilitas penting didirikan di sekitarnya seperti Stasiun Senen, Terminal Senen, GOR Planet Senen, bahkan mal Atrium Senen.
Sejarah mencatat pasar ini tak lepas dari pengaruh tuan tanah bernama Justinus Vinck yang merintis pasar ini pada tahun 1735. Hebatnya, pasar ini menjadi pasar pertama yang menerapkan sistem jual beli dengan menggunakan alat tukar uang.
Pada tahun 1801 pemerintah VOC memberikan kebijakan bagi para tuan tanah untuk membangun pasar. Pasar tersebut harus didirikan berbeda-beda disesuaikan dengan harinya. Akhirnya Justinus Vinck mendirikan pasar dengan nama Vincke Passer yang hanya buka setiap hari Senin. Warga pribumi menyebut Vincke Passer dengan sebutan Pasar Senen. Nama itu melekat hingga kini.
Awalnya Vincke membangun pasar tersebut untuk memberikan fasilitas jual beli di pinggiran kota Weltevreden yang sekarang disebut Gambir yang merupakan hasil pembangunan Gubernur Jenderal VOC, Deandels. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Vincke membuat jalan penghubung dari Weltevreden ke dua pasar besar, yakni Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang, yang sekarang dikenal dengan nama Jalan Kebon Sirih.
Tahun 1735, Pasar Senen diambil alih oleh Gubernur Hindia Belanda, Van der Parra. Di masa kepemimpinan Van der Parra kondisi Pasar Senen semakin ramai. Jadwal buka pasar bertambah menjadi Senin dan Jumat dan akhirnya Pasar Senen buka setiap hari.
Semakin hari Pasar Senen semakin ramai dan menarik para pedagang dari berbagai daerah untuk mencoba peruntungan dengan berdagang di pasar tersebut. Seperti pedagang Tionghoa yang saat ini keberadaan orang-orang Tionghoa di sekitar Pasar Senen dapat terlihat dari jejak sejarahnya seperti nama jalan hingga bangunan berupa toko yang menggunakan nama China. Misalnya Jalan Tjap Go Keng yang terletak di sebelah barat proyek Senen blok I atau nama toko Lauw Tjin yang terletak di Jalan Senen Raya III. Bahkan, nama sebuah kelurahan di Senen diambil dari saudagar Tionghoa bernama Kwik Tang Kiam yakni Kwik Tang atau Kwitang.
Selama lebih dari 300 tahun Pasar Senen mengalami perubahan. Kawasan pasar ini menyimpan banyak cerita dan sejarah di dalamnya. Di era pra kemerdekaan atau di tahun 1930-an kawasan sekitar Pasar Senen merupakan kawasan berkumpulnya para intelektual muda serta para pejuang bawah tanah dari Stovia. Stovia adalah School tot Opleiding van Indische Artsen (Sekolah Pendidikan Dokter Hindia) yakni sekolah untuk pendidikan dokter pribumi di Batavia pada zaman kolonial Hindia Belanda. Saat ini sekolah ini telah menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Pemerintah Hindia Belanda juga membangun kompleks militer di sekitar Lapangan Waterloop yang sekarang dikenal dengan Lapangan Banteng. Kompleks militer itu kini digunakan sebagai RSUD Gatot Soebroto dan markas kesatuan Marinir TNI AL yang berada di depan RS Gatot Soebroto.
Tahun 1942 hingga 1950-an kawasan sekitar Pasar Senen menjadi tempat favorit berkumpulnya para seniman dari seantero Nusantara. Kebanyakan di antara mereka adalah mahasiswa, aktivis, dan pejuang bawah tanah. Di samping itu terdapat pula para pemain sandiwara, pemain musik, pembuat puisi, dan penulis cerita, yang kemudian hari lebih dikenal dengan sebutan ‘Seniman Senen’.
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, Pasar Senen semakin ramai dan menjadi pusat perdagangan kota Jakarta. Fenomena kehebohan Pasar Senen sebagai pusat perekonomian dan hiburan semakin terkenal saat Gubernur Ali Sadikin melakukan revitalisasi kawasan Senen dengan mencanangkan pembangunan ‘Proyek Senen’ pada tahun 1960 yang kemudian diikuti dengan pembangunan pasar Inpres dan Terminal Senen. Melengkapi Proyek Senen, pada tahun 1990 dibangun pula superblok modern, Atrium Senen.
Pada tahun 1974 Pasar Senen terbakar. Kejadian ini dikenal dengan sebutan Malapetaka 15 Januari (Malari), saat itu para mahasiswa mendemo Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei yang sedang berkunjung ke Jakarta. Kejadian ini berimbas pada terjadinya kerusuhan, pembakaran dan penjarahan oleh massa.
Pada 23 November 1996 kebakaran terjadi lagi di Senen, saat itu sekitar 750 kios di Blok IV dan V Pasar Senen ludes terbakar. Tahun 2003 kebakaran kembali melanda Blok IV dan VI B, ratusan pedagang harus kehilangan kios mereka. Kebakaran kembali terjadi menimpa Blok III yang didominasi berisi produk tekstil pada Jumat (25/4/2014) pukul 04.15 WIB. Api yang berkobar selama 9 jam sedikitnya menghanguskan 3.000 kios.
(Detik.com)