Tidak ada kekacauan (chaos) ataupun konflik horizontal dalam penyelenggaraan atau pasca Pilpres 2014. Diyakini, kedua Capres mencintai bangsa dan negara Indonesia sehingga tidak membiarkan terjadinya kekacauan akan terjadi.
Selain itu, baik pasangan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa dan Joko Widodo – Jusuf Kala memiliki jiwa ksatria dalam memenangkan pilpres. Demikian diungkapkan AM Putut Prabantoro, Konsultan Komunikasi Politik, di Jakarta, Kamis (5/6/2014).
Penjelasan tersebut untuk menjawab pertanyaan adakah peristiwa kekerasan intoleransi atas nama agama yang terjadi di Yogyakarta pada pekan lalu terkait dengan meningkatnya ketegangan politik pilpres.
Ditegaskan pula bahwa bangsa Indonesia harus yakin bahwa penyelenggaraan pilpres pada Juli nanti akan berlangsung lancar, aman dan damai.
“Saya meyakini bahwa sekalipun pada saat ini terjadi saling serang antarkedua belah pihak yang bersifat black campaign ataupun negative campaign, pilpres 2014 tetap aman dan damai. Sekalipun oleh banyak orang bahkan oleh orang yang katanya memiliki indera keenam, diprediksi situasi saling serang itu akan mendorong terjadinya konflik horizontal antara pendukung kedua Capres-Cawapres, tidak akan terbukti,” ujar Putut Prabantoro, yang juga Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) – dari wartawan, oleh wartawan dan untuk Indonesia.
Menurutnya, konflik horizontal antar para pendukung kedua Capres hanya akan terjadi jika Bangsa Indonesia memiliki mindset seperti itu dan menghendaki negaranya hancur.
Kekacauan sangat bisa terjadi ketika rakyat, KPU, Bawaslu, TNI dan Polri juga memiliki mindset bahwa akan terjadi kekacauan dan konflik horizontal dalam pemilu pada Juli nanti.
“Kita semua tidak menghendaki, bangsa dan negara ini terpecah-pecah, tercabik-cabik dan porak poranda karena Pilpres 2014. Jika kita semua termasuk para pendukung, calon pemilih, penyelenggara dan pengawas pemilu, aparat dan pemerintah mempunyai mindset seperti itu, artinya kita semua menginginkan bangsa dan negara ini hancur. Yang menjadi pertanyaan, pihak mana yang menginginkan negara dan bangsa ini hancur? Kalau ada, pihak mana? Internal atau eksternal?” tegasnya.
Dalam penjelasan lebih lanjutnya, Putut Prabantoro berkeyakinan bahwa pilpres pada Juli 2014 adalah “perang” para ksatria yang memegang teguh sifat-sifatnya.
Jika karena sesuatu hal, “perang” tanding ini berubah “perang tanding” yang berubah menjadi kekacauan atau konflik horisontal, itu artinya ada fungsi aparat keamanan yang tidak berjalan yakni intelijen.
Oleh karena itu, kasus intoleransi di Jogya, tidak bisa serta merta dikaitkan dengan pilpres karena hanya melihat dari permukaannya saja. Karena, demikian dijelaskan lebih lanjut, sebelum kejadian pekan lalu, ada beberapa aksi kekerasan intoleransi yang terjadi di Jogyakarta bahkan jauh sebelum pilihan anggota legislatif pada April lalu.
“Saya tidak habis pikir dan miris juga ketika mendengar, sebuah keluarga harus bermusuhan dan bersikap saling menyerang. Jadi ini sebenarnya, masalah mindset. Kalau seluruh pemimpin bangsa yang terlibat dalam pilpres dan juga para pendukung kedua Capres mengatakan pasti terjadi chaos, maka apa yang ditakutkan akan terwujud. Dan sudah bisa dipastikan, kalau terjadi konflik horizontal, semua pihak akan menyesal kemudian hari karena Indonesia sudah pasti terpecah belah. Antisipasi yang harus dilakukan adalah optimalkan peran intelijen dan sekaligus para pendukung, para aparat keamanan dan juga penyelenggara atau pengawas pemilu menghilangkan pikiran negatifnya,” ujarnya.
Kondisi dan situasi kampanye memang terasa panas karena yang terjadi adalah kedua belah pihak secara tidak sengaja saling membuka dan memperebutkan “Kotak Pandora” yang berisi “kejahatan” para pemimpin dan tokoh bangsa pada waktu yang lalu.
Seluruh kejahatan, keburukan, sikap plin plan, aksi jilat ludah para tokoh bangsa, yang dulu tak nampak dan yang tersimpan rapi dalam “Kotak Pandora” sekarang terbuka sedikit demi sedikit dan rakyat harusnya membaca itu.
“Kita semua harus ingat ungkapan bijak yang mengatakan, kejahatan terbesar terjadi ketika orang baik tidak melakukan apa-apa saat ketidakadilan, ketidakjujuran atau kekerasan terjadi di depan mata. Artinya, kalau kita sebagai orang baik dan tidak melakukan apa-apa, sebenarnya kitalah yang melakukan kejahatan. Politik juga membutuhkan kejujuran, keadilan dan kelembutan,” tegas Putut Prabantoro.
(Tribunnews)