Pada 1924, sesepuh masyarakat Kampung Cireundeu menjadikan singkong sebagai makanan pokok dan sejak itu anak cucu mereka pun tak pernah makan nasi.
Karena kenyataan tersebut, banyak orang menyebut daerah yang terletak sekitar 11 km dari pusat Kota Bandung itu sebagai “kampung singkong”.
Kampung Cireundeu terletak di Kota Cimahi, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Jawa Barat. Dengan luas permukiman empat hektare, kampung yang disebut sebagai kampung singkong itu dihuni oleh 330 orang dari 70 kepala keluarga.
Sebutan sebagai “kampung singkong” juga diperkuat dengan keberadaan patung singkong di gerbang kampung tersebut. Apalagi kampung itu juga dikelilingi oleh kebun singkong seluas 20 hektare.
Mereka tidak pernah makan nasi, karena mereka memang tak pernah berurusan dengan beras. Tapi mereka punya rasi. Rasi merupakan kependekan dari beras singkong, yaitu olahan singkong yang mereka jadikan bahan utama makanan pokok.
Bagi masyarakat adat Cireundeu, nasi singkong tak ada bedanya dengan nasi beras. Sebagai hasil olahan dari rasi, nasi singkong mereka makan dengan lauk pauk dan sayur seperti halnya orang yang makan nasi beras.
Menurut tokoh masyarakat Cireundeu Asep Wardiman (47), sebenarnya tak ada aturan yang mengharuskan anggota masyarakat desa adat itu untuk hanya makanan nasi singkong.
Tapi, kata Asep, mereka hidup dengan penuh kesadaran akan adat serta budaya yang diwariskan nenek moyang.
“Karena kesadaran akan budaya itulah, dengan sendirinya kami terbiasa mengikuti aturan-aturan yang diwariskan oleh nenek moyang,” katanya.
Menurut Asep, dia dan penduduk Cireundeu lainnya ingin menjaga warisan itu dengan konsisten. Maka, ketika bepergian ke luar kampung pun mereka tetap tidak makan nasi.
Orang Cireundeu selalu membawa bekal beras singkong bila bepergian. Begitu juga dengan Asep dan keluarganya. Mereka belum pernah merasakan rasanya nasi.
“Setiap bepergian istri saya selalu membekali rasi. Ini demi menjaga kebiasaan turun-temurun,” kata pria pemilik perusahaan pengeboran CB Purnama Tekhnik itu.
Kebiasaan membawa bekal olahan singkong juga dijalankan oleh pemuda dari Cireundeu yang bekerja atau kuliah di kota lain. Para “nonoman”, begitu para pemuda itu disebut dalam bahasa sunda, juga berupaya menjaga kebiasaan turun-temurun tersebut.
“Karena rasi pengolahannya hampir sama dengan beras yang ditanak menjadi nasi, setiap pulang sudah pasti saya membawa rasi untuk bekal di tempat kos,” ujar Dewi Lismiati (29), perempuan dari Cireundeu yang kuliah di Universitas Pasundan, Bandung.
Kampung adat
Tokoh Kampung Cireundeu Mira Sukma (37), yang biasa dipanggil Kang Going, menyatakan, masyarakat luar sering menyebut kampung mereka sebagai kampung adat walau warga asli maupun instansi berwenang tidak pernah ada yang secara resmi menyebut permukiman itu sebagai kampung adat.
“Kebiasaan cireundeu yang berbeda dengan masyarakat lainnya membuat para pengunjung menyebut Cireundeu sebagai kampung adat. Kami minoritas,” kata Going.
Menurut Going, tak perlulah ada pengakuan resmi karena kesadaran penduduk untuk menjaga kebiasaan tak makan nasi dan sebutan dari pengunjung mengenai kampung mereka itu cukup menguatkan Cireundeu meneruskan kekhasan mereka.
Namun sebagai kampung adat, Cireundeu berbeda dengan Kampung Naga di Tasikmalaya dan Baduy di Banten. Perbedaan itu, misalnya, dapat dilihat dari penampilan lingkungan tempat tinggal. Permukiman di Kampung Cireundeu tak berbeda dengan permukiman pada umumnya dengan keragaman rumah tembok.
Tak ada larangan mengikuti perkembangan teknologi komunikasi dan alat transportasi bagi warga Kampung Cireundeu. Masyarakat Cieurende memiliki prinsip “ngindung ka waktu, mibapa ka zaman”, yang artinya tetap mengikuti arus perkembangan zaman, khususnya perihal teknologi dan komunikasi.
Maka, secara fisik, penampilan kehidupan sosial mereka tak ada bedanya dengan orang lain. Mereka menggunakan telepon seluler, televisi ada di setiap rumah, banyak orang Cireundeu yang memiliki kendaraan, dan rumah di kampung itu merupakan bangunan permanen.
Namun, kata Asep Wardiman, perkembangan teknologi tak menjadi penghalang bagi mereka untuk mempertahankan kearifan lokal.
“Kami tetap mengikuti perkembangan zaman dengan catatan tidak lupa akan budaya sendiri,” kata Asep.
Sebuah bangunan sekolah dasar yang berdiri di antara kebun singkong dan perumahan warga Cireundeu, kata tokoh masyarakat Abah Emen, membuktikan bahwa mereka juga peduli akan pendidikan.
“Minimal anak cucu kami bisa tamat pendidikan sekolah dasar,¿ ujar Abah Emen.
Abah Emen (75) merupakan sesepuh Cireundeu yang pernah menjadi kepala sekolah. Ia mengaku sangat peduli akan pendidikan anak-anak di lingkungan masyarakat adat itu.
Selain mempertahankan singkong sebagai makanan pokok, masyarakat Cireundeu juga meneruskan kegiatan berkesenian warisan nenek moyang mereka. Di sebuah tempat yang disebut bale saresehan, terdapat beberapa gamelan sunda yang digunakan untuk bermusik.
Para “nonoman” terampil memainkan alat musik sunda tersebut.
Kreatifitas dan keterampilan bermusik “nonoman” Cireundeu kadang diperlihatkan kepada orang-orang yang mengunjungi kampung tersebut.
“Kami akan berusaha ‘ngamumule’ seni sunda karena jika bukan kita sebagai warga Sunda, siapa lagi yang akan menjaganya,” kata Kang Going. “Ngamumule” merupakan kata dalam Bahasa Sunda yang berarti memelihara atau melestarikan.
Di sebuah sudut bale saresehan itu ada sepotong kayu hitam yang ditulisi prinsip hidup warga Cireundeu, yang merupakan ajaran yang diterapkan oleh nenek moyang mereka.
Tulisan pada kayu hitam itu berbunyi “Teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal bisa nyangu, teu nyangu asal bisa dahar, teu dahar asal kuat” itu selalu mendapat perhatian khusus orang-orang yang mengunjungi kampung tersebut. Prinsip hidup yang tertulis itu kira-kira sama dengan “tidak punya padi asal punya beras, tidak punya beras asal bisa masak nasi, tidak masak nasi pun asal bisa makan, dan meskipun tidak makan asalkan kuat”.
Menurut Going, tulisan itu selalu menjadi bahan utama pertanyaan pengunjung soal Cireundeu.
Kepada setiap penanya, Going menyatakan bahwa prinsip hidup masyarakat adat Cireundeu tersebut menjadi salah satu bukti bahwa mereka tak bergantung pada ketersediaan beras sejak dahulu kala.
Sebenarnya, kata dia, pada 1918 masyarakat adat Cireundeu pernah menyimpan beras, karena nenek moyang mereka pun tak mengharamkan anak cucunya untuk menyimpan beras atau makan nasi. Sebelum mereka memilih singkong sebagai makanan pokok, mereka mencoba beberapa untuk menjadi makanan pokok, yaitu jagung, ubi, singkong, dan kacang-kacangan.
“Dan akhirnya setelah para leluhur mencoba makanan-makanan tersebut, mereka memilih singkong sebagai makanan pokok untuk keberlangsungan hidup anak cucunya mendatang,¿ kata kata Abah Widi, sesepuh kampung adat itu. Keputusan itu diambil pada 1924.
Ketahanan pangan
Dengan luas hutan 60 Ha, nenek moyang warga Kampung Cireundeu membagi hutan di lingkungan mereka dalam tiga kategori, yaitu hutan larangan yang digunakan untuk resapan air, hutan baladahan untuk bercocok tanam, dan hutan tutupan yang diyakini sebagai hutan cadangan air dan cadangan untuk bercocok tanam.
Selama ketiga hutan tersebut terjaga dengan baik, menurut Abah Asep, masyarakat adat Cireundeu tidak akan kekurangan air sebagai sumber kehidupan maupun singkong sebagai sumber pangan bagi mereka.
Abah Asep mengatakan, dalam hal bercocok tanam pun mereka tidak sembarangan. Mereka tetap menjaga serta mengikuti aturan-aturan nenek moyang. “Kami akan selalu menjaga adat serta budaya berharga yang telah diwariskan oleh para leluhur, termasuk bertahan hidup tanpa nasi,” kata Asep.
Kang Going mengatakan bahwa dengan luas hutan baladahan yang mencapai 20 Ha, masyarakat Cireundeu bisa mempertahankan hidup dalam jangka waktu yang panjang tanpa bergantung pada bantuan dari pemerintah.
“Tanpa bantuan dari pemerintah, kami bisa bertahan hidup dengan 20 Ha kebun singkong itu,” ujar Going.
Menurut Kang Going, dari 20 hektare lahan untuk kebun singkong tersebut sebagian milik pribadi dan sebagian milik desa. Seluruh kebun milik desa digunakan untuk kepentingan bersama, katanya, dan itu yang membuat mereka tidak pernah kekurangan bahan makanan pokok.
Kalaupun ada hasil panen yang dijual ke sejumlah pribadi, kata dia, maka uang hasil penjualan singkong itu sepenuhnya digunakan untuk kegiatan bersama, seperti peringatan 1 Syura, dan menambah kas kampung.
Berkat konsistensi itu, Cireundeu dikenal sebagai kampung yang berhasil menjaga ketahanan pangan. Mereka tak pernah kekurangan singkong, berbeda dengan petani-petani padi yang terkadang mengalami gagal panen hingga akhirnya harus membeli beras.
Dengan menjaga ketahanan pangan, menurut Going, mereka tak pernah merasa kekurangan bahkan tak pernah mengalami krisis pangan. Stok singkong yang mereka simpan bisa menghasilkan makanan-makanan yang berbahan baku singkong seperti keripik bawang, eggroll, kembang goyang, dan dendeng kulit singkong.
Menurut Abah Asep, Cireundeu menjadi populer justru ketika pada 2005 bukit sampah di TPA Leuwigajah longsor dan memakan korban jiwa.
Cireundeu, ketika itu, menjadi tempat persinggahan bagi orang- orang yang ingin melihat tempat terjadinya longsoran sampah. Bersamaan dengan itu, kata Abah Asep, rupanya banyak orang yang tertarik dengan kehidupan masyarakat di kampung tersebut.
“Saat longsor TPA Leuwigajah terjadi, banyak orang yang singgah ke kampung ini, termasuk Pak Jusuf Kalla,” Ujar Abah Asep.
Setelah peristiwa TPA Leuwigajah, katanya, mulai banyak orang yang sengaja datang ke Cireundeu untuk berwisata dan kemudian banyak mahasiswa yang melakukan observasi maupun Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kampung itu.
Fadli, mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia yang ditemui di Cireundeu, mengatakan, ia berkunjung ke kampung itu karena tertarik dengan kearifan lokalnya.
“Sebelum observasi ke kampung adat Cireundeu, saya dan teman-teman membaca sekilas informasi di internet hingga akhirnya tertarik dengan nilai budayanya,” ujar Fadli.
Karena kemampuan Cireundeu menjaga kemandirian dalam produksi pangan pokoknya, Menteri Pertanian memberikan piagam penghargaan ketahanan pangan pada tahun 2008 kepada kampung itu.
Menurut Asep. selain piagam dari menteri pertanian, di bale saresehan juga terdapat piagam penghargaan lainnya yang diberikan oleh pemerintah maupun mahasiswa-mahasiswa yang berkunjung ke Cireundeu.
“Semua penghargaan itu tak lain karena sebakul rasi yang menjadi identitas masyarakat adat Cireundeu, dan kami bangga akan hal itu,” kata Asep.
(antarajawabarat.com)