Program registrasi prabayar sejatinya dilakukan untuk kepentingan banyak pihak. Dari sisi operator, untuk mengurangi jumlah kartu sim yang terbuang percuma akibat perpindahan pelanggan, selain juga untuk memberikan layanan yang maksimal berdasarkan database pelanggan.
Bagi para pelanggan, meminimalisir kejahatan penipuan melalui sms atau telepon. Registrasi prabayar ini juga sudah sesuai dengan Peraturan Menteri No. 23 Tahun 2005 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi.
Jika belajar dari program ini 9 tahun lalu, pemerintah ingin melakukan perubahan besar-besaran terkait dengan registrasi prabayar. Pemerintah melakukan perombakan kebijakan untuk mempermudah prosesnya, baik untuk pelanggan maupun operator. Registrasi pun memiliki sanksi yang lebih keras. Seolah tidak ingin ada kelonggaran agar terhindar dari kesalahan yang sama ketika 2005 lalu.
Namun justru hal yang lebih penting masih dilupakan oleh pemangku kebijakan. Meski telah melakukan pendaftaran dengan identitas yang lengkap, belum tentu data yang diberikan benar adanya. Harus ada sistem yang bisa digunakan untuk memvalidasi info atau data diri yang diberikan oleh pelanggan sehingga pembaharuan registrasi yang untuk kedua kalinya ini tidak sia-sia
Setidaknya ada beberapa hal yang berubah dari kebijakan registrasi ini. Tahun 2005, pemerintah sangat ingin menertibkan data pelanggan seluler, dipicu oleh maraknya sms dan telepon yang digunakan oleh oknum tak bertanggung jawab untuk penipuan.
Dibuatlah jalur SMS khusus bernomor 4444 sebagai media bagi para pelanggan mendaftarkan kartu seluler mereka. Ancamannya, kartu tidak akan bisa digunakan jika pelanggan menolak registrasi.
Dalam implementasinya, diketahui, banyak nomor yang sudah tak aktif lagi. Dari total 65 juta pelanggan selular kala itu, seperempatnya merupakan nomor ‘tidur’. Walhasil, operator telekomunikasi harus merevisi jumlah pelanggan yang telah kadung dipublikasi. Churn pelanggan mencapai 25 persen.
Setelah 9 tahun berlalu, churn masih terjadi. Registrasi pelanggan ternyata dilakukan oleh para distributor langsung dengan data yang tidak valid. Menurut Ketua ATSI, Alexander Rusli, yang juga Direktur Utama Indosat, saat ini setidaknya 15 persen kartu sim terbuang percuma.
Angka tersebut sama dengan 500 juta kartu sim yang terbuang setiap tahunnya. Untuk menghitung kerugian yang dialami operator, Alexander menghargai produksi satu sim card dan kemasannya mencapai Rp3.000 sampai Rp5.000. Jika ada 500 juta kartu terbuang percuma, setidaknya Rp2,5 triliun per tahun dari hampir semua operator.
“Kalau angka yang kita ketahui, secara umum, churn reguler bisa 15 persen . Jika proses registrasi prabayar tahap dua ini berjalan lancar, setidaknya churn akan diminimalisir, bisa hanya 7 persen saja. Menyelamatkan hampir setengahnya,” ujar Alexander.
Meski menolak mengakui berapa jumlah churn kartu prabayar yang dialami, Telkomsel menegaskan jika dari 135 juta pelanggan, 98 persen merupakan pelanggan prabayar. Namun XL lebih berani mengakui. Meski total pelanggan di perusahaan milik Malaysia itu berkisar 99 persen namu churn yang terjadi cukup besar.
“Dari sim card yang terjual rata-rata setiap bulannya sekitar 10 juta unit, dengan churn rata-rata sekitar 15 persen per bulan,” kata VP Corporate Communication XL, Turina Farouk.
Pengamat telekomunikasi Doni Darwin memprediksi ada hanya ada satu sim card aktif di antara 10 sim card yang terjual. Dia pun menyambut baik sikap pemerintah yang mau memperketat registrasi pelanggan. Dengan syarat, pemerintah mau belajar dari pengalaman implementasi registrasi prabayar tahap satu yang dilakukan sembilan tahun lalu.
Makin Ketat
Sebelum memperketat proses registrasi para pengguna seluler prabayar, pemerintah dan regulator memberikan kesempatan kedua kepada pengguna untuk inisiatif melakukan registrasi ulang jika tidak yakin dengan kelengkapan data diri saat pendaftaran melalui SMS 4444.
Jika hingga batas waktu yang ditentukan, yakni Agustus, masih banyak data yang tidak valid maka pemerintah dan regulator berhak untuk memblokir kartu sim pengguna, bahkan sampai dihanguskan.
Saat pengguna membeli kartu baru, maka saat itulah diberlakukan proses registrasi yang ketat. Pasalnya, pendaftaran prabayar tidak bisa dilakukan sendiri lagi. Para pengguna harus datang ke outlet penjualan untuk mengaktifkan kartu mereka melalui proses registrasi di outlet tersebut.
Menurut Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Riant Nugroho, jumlah outlet resmi dan gerai yang bekerja sama dengan operator tiga besar yakni Telkomsel 500 ribu, Indosat dan XL mempunyai masing-masing 300 ribu.
ATSI maupun operator sejatinya masih ragu dengan keterlibatan outlet ini. Pasalnya, pengawasan dan koordinasi terhadap outlet akan memakan banyak effort bagi operator.
“Kalau gerai yang punya operator, kita bisa kontrol. Yang kita takutkan tuh gerai di luar kuasa kita karena mereka tidak ada result. Sementara ini kita implementasi dulu. Masalah mereka apa, terus kita review lagi nanti,” papar Alexander.
“Yang menjadi tantangan terbesar adalah membuat petugas penjualan di level outlet mampu memahami pentingnya registrasi pelanggan prabayar sehingga dengan sukarela mau membantu program pemerintah dalam mensukseskan registrasi prabayar,” ujar Adita.
“Ada 1.1 juta outlet dan banyak yang tidak berada di naungan distributor. Jika pelanggan harus datang ke outlet, lalu bagaimana dengan pelanggan di pelosok? Apakah harus ke kota hanya untuk memberikan data mereka? Energi operator selular akan habis hanya untuk urusan ini” ujar Doni Darwin.
Selain pendaftaran di outlet, pengguna harus mengeluarkan KTP sebagai kelengkapan data kepemilikan sim card. Saat inilah diketahui, mana pengguna di bawah 17 tahun dan mana yang di atasnya. Pelajar yang ingin memiliki sim card akan sulit mendapatkan komunikasi karena kartu pelajar tidak masuk dalam kategori identitas yang bisa diregistrasi. Oleh karena itu para pelajar atau pengguna telekomunikasi di bawah usia 17 tahun harus menyertakan KTP orang tua sebagai penjamin.
Pertanyakan Validasi
Bagi operator, meski mereka mengaku belum mengalami kerugian materiil, dukungan tetap diberikan terhadap registrasi prabayar yang semakin ketat ini. Yang menjadi kekhawatiran adalah proses validasi yang belum juga bisa dilakukan sejak implementasi 2005 lalu untuk memastikan keakuratan data. Selama ini tidak ada data yang bisa dijadikan alat komparasi.
“Data akurat yang diberikan pelanggan bisa juga menjadi dasar kami untuk mengembangkan bisnis, misalnya untuk layanan mobile advertising. Validasi akan tetap menjadi tantangan bagi operator,” kata Adita.
“Misalnya di negara luar sudah ada data atau kode yang dikeluarkan oleh pemerintah dan berlaku untuk all puposes (single data source). Data ini seperti numerisasi penduduk dimana dari mulai orang tua sampai anak mempunyai no induk tersendiri (Human barcoding) dan dapat digunakan untuk pendaftaran apapun (tidak dibatasi hanya untuk pemilik KTP/dewasa).
Jika semua system terintegrasi dengan baik dan otomatis data pemilik Simcard dapat termonitor dengan baik pula.,” kata Turina.
Menurut Doni, sejak dulu isunya sama. Validasi. Selama Indonesia tidak punya data kependudukan akurat, sama saja. Operator dan para outlet dibebani pekerjaan sia-sia dengan registrasi.
Lebih lanjut Doni menyarankan pemerintah untuk memfokuskan diri pada pola registrasi ulang pelanggan yang masih eksis saat ini dan memikirkan proses validasi.
“Tahun 2005 pelanggan sudah sukarela melakukan pendaftaran ke 4444. Namun tidak ada upaya untuk memvalidasi. Operator tidak mungkin dateng ke rumah pelanggan, memvalidasi satu per satu. Tapi bisa dengan outbound call atau meminta pelanggan untuk mengirimkan NPWP atau KTP melalui fax atau email. Mirip seperti validasi di perbankan,” usulnya.
Menurutnya pola validasi yang selama ini dilakukan oleh perbankan merupakan proses yang paling mungkin dan masuk akal. Hanya mungkin, yang paling harus diperhatikan adalah bagaimana memvalidasi pelanggan yang menggunakan sim card untuk layanan data atau M2M.
“Perbankan rigid saja, validasinya masih nakal. Tapi mengadopsi pola validasi bank paling masuk akal,” kata dia.
Outbound call memang paling memungkinkan karena operator tidak membutuhkan upaya dan biaya lebih untuk melakukannya. Sedangkan pengiriman NPWP atau KTP membutuhkan effort lebih dan kerelaan dari pengguna. Jarang ada pengguna yang mau melakukan hal ini.
Setidaknya, ini bisa menjadi alternatif proses validasi data pelanggan sambil menunggu integrasi dengan data kependudukan pemerintah (e-KTP). Yang penting, pemerintah tidak mengulangi pekerjaan sia-sia untuk kali kedua. (viva.co.id)