Mahkamah Agung (MA) menghukum KPK untuk membayar Rp 100 juta kepada mantan hakim Syarifuddin yang telah divonis 4 tahun di kasus korupsi. Hal itu disayangkan karena keabsahan penyitaan merupakan ranah praperadilan, bukan ranah gugatan perdata.
“Kalau begitu nggak bisa dong (denda Rp 100 juta). Hakim agung salah menerapkan hukum dan tidak berlandaskan bukti-bukti sera proses hukum lainnya,” kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon K Palma saat berbincang dengan detikcom, Kamis (14/8/2014).
Syarifuddin ditangkap KPK pada 1 Juni 2011. Syarifuddin ditangkap sesaat menerima suap dari Puguh. Dalam penangkapan itu, KPK menyita sejumlah barang bukti dari rumah Syarifuddin terkait tindak pidana yang dilakukan.
Syarifudin lalu mendapat hukuman 4 tahun penjara dan telah berkekuatan hukum tetap. Dalam amar itu, majelis juga menyatakan sejumlah barang itu dikembalikan ke Syarifuddin karena tidak terkait perkara. Atas hal itu, Syarifuddin menggugat KPK secara perdata dan dikabulkan.
Tiga hakim agung yang menghukum KPK yaitu Prof Dr Vallerina JL Kriekhof, Hamdan dan Syamsul Maarif PhD. Vallerina dan Hamdan telah pensiun sedangkan Syamsul menjadi hakim agung kamar perdata.
“Apa ukuran hakim secara objektif menilai bahwa penyitaan itu tidak sesuai dengan prosedur hukum?” sambung Alvon.
Sebab, menurut Alvon, yang berhak menilai apakah penyitaan sah atau tidak adalah praperadilan. Bukan di persidangan gugatan perdata. Seharusnya praperadilan menjadi sandaran hukum untuk menentukan apakah alat bukti diambil secara sah atau tidak.
Syarifudin sendiri didakwa dengan pasal korupsi dan pasal pencucian uang. Dalam vonis yang berkekuatan hukum tetap, Syarifuddin terbukti korupsi tetapi tidak terbukti melakukan pencucian uang.
“Kalau Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) nya tidak terbukti, paling hakim hanya menyatakan mengembalikan barang bukti. Bukan malah menghukum KPK membayar Rp 100 juta,” pungkasnya.
(detik.com)