‘Babad Diponegoro’ yang bersumber dari penuturan langsung Pangeran Diponegoro sudah diakui UNESCO sebagai memori kolektif dunia tahun 2012 dan disahkan tahun 2013. Yang diakui adalah kopi dari naskah asli yang diteliti otentik oleh sejarawan. Naskah aslinya sudah hilang. Ke mana?
Kopi naskah yang otentik dan diakui UNESCO ini diungkapkan oleh sejarawan asal Inggris, Peter Brian Ramsey Carey.
“Bukan yang asli. Yang babon asli sudah hilang,” kata sejarawan yang sudah 40 tahun meneliti tentang ‘Babad Diponegoro’ dan menuliskan penelitiannya dalam buku berjudul “Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1985-1855”.
Hal itu dikatakan Peter usai peluncuran dan bedah buku “Strategi Menjinakkan Diponegoro” yang ditulis sejarawan Saleh As’ad Djamhari di Freedom Institute, Jalan Proklamasi 41, Jakarta Pusat, Rabu (27/8/2014) malam.
Namun ada kopian yang dibuat oleh Belanda dari aksara Arab pegon (Arab gundul tanpa tanda baca-red) dan aksara Jawa. “Dan aksara pegon adalah mirip dengan yang asli, sebab yang asli ditulis dalam huruf pegon,” jelas pria yang sudah lama tinggal di Indonesia ini.
Naskah yang diakui UNESCO adalah naskah kopian otentik yang dituturkan langsung Pangeran Diponegoro kepada juru tulis selama pengasingannya di Manado antara bulan Mei 1831-Februari 1832. Naskah itu dituliskan dalam bentuk ‘macapat’ alias tembang atau puisi tradisional Jawa.
“Dan Diponegoro juga menulis di Makassar, 2 buku catatan seperti primbon mengenai pengaruh Qadariyah dan Naqshabandiyah (aliran tasawuf-red) terhadap cara berpikir dan kebudayaan Jawa. Jadi, dia menulis beberapa naskah. 1 Naskah di Manado, 2 naskah di Makassar,” jelas adjunct professor Fakultas Ilmu Budaya UI ini.
Untuk naskah yang ditulis di Manado, yang diakui UNESCO, kopi naskah otentiknya tersimpan 1 kopi di Perpustakaan Nasional dan 1 kopi Rotterdam, Belanda, masing-masing menggunakan aksara Arab pegon dan aksara Jawa.
Lantas, mengapa naskah asli itu ‘Babad Diponegoro’ itu bisa hilang?
“Sebab itu dipinjam, sering dipinjam keluarga dan pada akhirnya tidak dikembalikan,” jawab sejarawan lulusan Trinity College, Oxford, Inggris, dan Universitas Cornell, AS ini.
Isi ‘Babad Diponegoro’ dari penuturan Diponegoro itu semacam puisi yang tebalnya 1.170 halaman folio. Isinya ada sejarah nabi, Pulau Jawa dari zaman Majapahit hingga perjanjian Giyanti (Mataram). Babad dari penuturan Diponegoro ini semacam otobiografi Diponegoro, menariknya, diceritakan dari sudut pandang orang ketiga meski sejatinya menceritakan diri sendiri.
Menurut Carey, Diponegoro mengibaratkan otobiografinya itu seperti Bahtera Nuh, yang menampung semua budaya Jawa agar bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya. Tujuannya, supaya tidak melupakan jati diri.(detik.com)