INGKUNG adalah ayam yang dimasak dan disajikan secara utuh. Dalam berbagai ritual tradisi di Jawa, ingkung menjadi bagian dari ”ubo rampe” atau kelengkapan sesaji. Ingkung kini menjadi komoditas kuliner. Salah satunya disajikan oleh Warung Ingkung Mbah Cempluk di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jika Anda terbiasa menyantap daging ayam per bagian, seperti paha, dada, atau sayap, maka cobalah pengalaman menyantap ayam yang disajikan dalam kondisi utuh-utuh. Ayam utuh itulah yang disebut ingkung. Tentu saja, nantinya ayam utuh itu juga akan dipotong-potong sesuka penyantap. Di Warung Ingkung Mbah Cempluk, ayam tersuguh seutuhnya. Tidak utuh seratus persen tentu, karena bagian jeroan, seperti ati, ampela, usus, dan lainnya telah dikeluarkan.
Ada tiga pilihan cara pengolahan ingkung dari Mbah Cempluk, yaitu goreng, panggang, dan kukus. Ingkung yang digunakan dalam ritual dimasak dengan cara dikukus. Sambil menggoreng, Ratmiati, sang pemilik warung, menjelaskan pengolahan ingkung. Daging ayam utuh itu direndam dulu dengan air santan yang dibumbui dengan, antara lain, salam, sereh, jahe, dan gula jawa. Proses ini yang menjadikan ingkung terasa gurih.
Sebelum direndam santan, jeroan ayam dikeluarkan. Ingkung bagian dalam kemudian dimasuki bumbu berupa ketumbar, bawang merah, bawang putih, lengkuas, salam. Resapan bumbu luar dalam itu yang menjadikan sang ingkung berasa gurih-gurih sedap. Terlebih lagi jika kita memilih ayam kampung, kegurihan itu akan semakin nyata.
Duduk lesehan di tikar, ingkung panas terhidang dalam waktu yang tidak terlalu lama. Satu ”unit” ingkung cukup untuk disantap tiga atau empat orang. Kami potong bagian per bagian dengan tangan kosong karena daging terhitung cukup empuk dan tidak kenyal. Kita bisa memotong satu bagian paha atas, paha bawah, sayap, atau brutu alias pangkal ekor. Atau cukup dengan menyuwir-nyuwir bagian-bagian ingkung yang disuka.
Ada berbagai pilihan sayur untuk menemani santap ingkung. Tersebutlah antara lain cah kangkung dan trancam yang berupa sayuran potong dengan taburan parutan kepala.
Wader ”krispi”
Warung Ingkung Mbah Cempluk dibuka oleh pasangan suami istri Supriadi (52) dan Ratmiati (47). Mereka sebelumnya adalah pengusaha wader goreng. Produk wader goreng mereka dipasok ke 80 toko dan warung di Yogyakarta dan sekitarnya. Ide menjual ingkung bermula ketika Supriadi, sebagai pengusaha wader goreng sukses, dikirim ke Thailand oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2012.
”Di Thailand, saya melihat ayam dan bebek utuh dijual di pinggir jalan. Ayam dan bebek dimasak setengah mateng. Kalau ada yang beli baru digoreng atau dipanggang,” tutur Supriadi.
Ketika itu terbitlah ”liur” dagang Supriadi untuk berjualan ingkung. Kebetulan ibu dari Supriadi yang berpanggilan Mbah Cempluk sering mendapat pesanan membuat tumpeng dan ingkung untuk keperluan selamatan di desa-desa. Maka, sepulang dari Thailand, Supriadi dan istrinya membuka Warung Ingkung Mbah Cempluk.
”Saya pikir, kok, menarik. Ingkung, kan, belum banyak dijual,” kata Spuriadi. Dia pun mengajak Ny Tukinah, koki andalan yang sering membantu Mbah Cempluk memasak ingkung.
Selain ingkung, wader tetap menjadi suguhan andalan. Wader Krispi, begitu nama menu wader yang berasa crispy, renyah, garing. Sambil mengobrol, tangan Ratmiati tak henti membolak-balik tumpukan wader dalam penggorengan. Harum menyengat langsung memenuhi area dapur. Hanya dalam hitungan menit wader diangkat dan ditiriskan di tempat terpisah. ”Silakan dicoba,” kata Ratmiati.
Wader panas pun langsung terkunyah di mulut, dan hmm… ikan kecil itu terasa gurih, sedikit kenyal, dan krispi. Kres, kres, kres. Tanpa disadari, tangan kami kembali dan kembali lagi mencomot wader yang masih panas. Selain wader goreng krispi, disajikan pula wader goreng lombok ijo.
Tren
Ingkung kini tak lagi ”tertelikung” hanya sebagai bagian dari sesaji. Ingkung kini bisa dibilang sebagai tren kuliner. Menurut Murdjiati Gardjito, Staf Ahli Pusat Kajian Makanan Tradisional Universitas Gadjah Mada, ingkung pada masyarakat Jawa memang tidak dikonsumsi sehari-hari. ”Ingkung hanya diadakan untuk keperluan ritual,” kata Murdjiati.
Antropolog Boedihartono menyebutkan bahwa dalam ritual Jawa, ayam yang dimasak dan disuguhkan secara utuh menjadi lambang kerelaan. Ingkung menjadi tanda bakti total, simbol bahwa ada kerelaan untuk menyerahkan sesuatu tanpa dikurangi sedikit pun (Kompas, 4 April 2004).
Ingkung di Warung Ingkung Mbah Cempluk telah berubah menjadi santapan. Warung terletak di Desa Santan, Kelurahan Guwosari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Dari kawasan Malioboro, lokasi berjarak sekitar 15 kilometer, bisa ditempuh lewat Jalan Bantul hingga ketemu perempatan Ringroad Dongkelan. Dilanjutkan menuju arah Masjid Agung Bantul, lantas ambil jalan ke arah Lembaga Pemasyarakatan Pajangan. Setelah itu, tanyakan jalan menuju Desa Santan, ke arah Warung Ingkung Mbah Cempluk.
Memasuki Desa Santan, kita akan menjumpai warung ingkung sejenis. Tak jauh dari Warung Ingkung Mbah Cempuk, setidaknya sudah ada empat warung ingkung. Tampaknya ingkung memang sedang laris. Pada hari biasa, warung Mbah Cempluk menghabiskan sekitar 30 ekor ayam kampung yang dipasok dari Kulon Progo. Pada hari Minggu atau libur, mereka menghabiskan 60-an ekor ayam.
Menyambut minat penyuka ingkung, Mbah Cempluk kini membuka lima cabang, antara lain di Jalan Kabupaten, Desa Biru, Trihanggo, Gamping, Sleman. Juga cabang di Maguwo, Sleman. Dari lima cabang tersebut, warung ingkung itu mempunyai sekitar 50 karyawan. ”Saya puas kalau punya banyak karyawan. Doa restu karyawan dan keluarganya akan bikin warung makin laris,” kata Supriadi.
(kompas.com)