MIRIS saat mata melihat sebuah bangunan berukuran 2 x 3 meter yang ditinggali satu keluarga. Yang lebih miris lagi, mereka tinggal di bekas kandang kambing yang bersatu dengan kandang ayam milik warga sekitar.
Keluarga tersebut tinggal di Kp. Rancapateuh RT 02/RW 13, Desa Pangauban, Kec. Katapang, Kab. Bandung, atau tak jauh dari pusat ibu kota Kab. Bandung, Soreang. Sudah lima tahun mereka tinggal di bekas kandang kambing tersebut.
Namun selama lima tahun itulah, Hidayat (46) dan Deti Sumiati (38) beserta tiga anaknya, belum juga mendapat bantuan dari pemerintah setempat.
Kepada wartawan, Deti menceritakan kisah pahit hidupnya. Deti dan suaminya awalnya tinggal di sebuah rumah kontrakan di Kp. Gamblok, Desa Mekarsari, Katapang. Namun karena tidak memiliki pekerjaan, pasangan ini kemudian pindah ke Kp. Rancapateuh, Pangauban, Katapang. Beruntung, kakak Hidayat memberikan sebuah bangunan untuk ditinggali, sekalipun bangunan itu bekas kandang kambing dan kandang ayam.
“Ya, mau diapakan lagi. Kami tidak punya pekerjaan dan uang lebih untuk menyewa rumah kontrakan. Kakak ipar memberi bangunan bekas kandang kambing untuk tempat tinggal,” ujar Deti kepada wartawan, Kamis (11/9).
Sehari-hari, Deti bekerja mencari kayu bakar. Dia menyusuri kampung ke kampung dan proyek bangunan, untuk mendapat kayu bakar yang nantinya dijual guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara suaminya, Hidayat menjadi tukang rongsokan yang mengumpulkan botol dan gelas plastik.
“Sehari, paling kami hanya mendapat dua puluh ribu. Itu pun seringkali habis untuk makan sehari-hari,” tambahnya.
Tidak tampak raut sedih pada wajah Deti, sekalipun dirinya bersama keluarganya harus tinggal di bekas kandang kambing.
Di dalam bangunan itu, hanya ada ruangan, yakni ruang tempat tidur ukuran 2,5 x 2 meter yang dipenuhi perabot bekas dan lemari pakaian serta tempat tidur.
Sementara ruangan lainya dibuat dapur berupa tungku api (hawu) dengan ukuran 0,5 meter. Di dapur sempit itulah, Deti menyiapkan makanan untuk keluarganya. Sedangkan untuk berkumpul keluarga, mereka menggunakan ruang tidur.
Bagian atap kandang kambing terbuat dari asbes sisa-sisa dari bangunan lain. Namun sayang, tidak tertutupi semua. Sebab itu, Deti menutupinya dengan terpal bekas spanduk.
Bocor di mana-mana
Dinding bangunan tempat tinggal keluarga Deti menggunakan papan bekas yang dipasang asal-asalan, sehingga angin dengan mudah masuk. “Kalau hujan, bocor di sana-sini. Bahkan lantai tanah pun tergenang air. Dibilang sedih ya sedih. Tapi harus bagaimana lagi,” katanya.
Sedangkan kandang ayam di bagian belakang, menurut Deti, hanya dipisahkan oleh kertas kardus. Setiap hari Deti bersama keluarga harus berjuang melawan bau dari kotoran ayam.
“Sebagai pemisah, saya penggal saja pakai kardus. Yang penting bau ayam tidak terlalu menyengat. Kalau kutu mah, pasti ada aja. Buktinya anak-anak saya sering terkena gatal-gatal,” tambahnya.
Sekalipun hidup serbaterbatas, namun tidak membuat Deti ngarasula. Dia tetap tegar menjalani hidup. Buktinya, Deti bisa menyekolahkan anak ketiganya, dan kini duduk di bangku kelas dua sekolah dasar.
Sedangkan anak pertama dan kedua sudah menikah dan memilih pindah rumah. “Saya tidak pernah meminta-minta, apalagi menyusahkan orang lain. Lebih baik hidup begini,” katanya.
Pasalnya, Deti mengaku sudah bosan meminta bantuan kepada pemerintah, namun usahanya tak kunjung membuahkan hasil. Deti hanya berharap, dirinya bersama keluarganya bisa tinggal di rumah yang layak huni.
“Inginnya pindah dari sini, tapi siapa yang akan membantu,” katanya.
(galamedia)