Gunung Manglayang adalah salah satu jalur sepeda favorit yang berlokasi di Bandung Timur. Perpaduan antara hutan, lembah, dan medan ekstrem menjadi daya tarik kawasan ini.
Kami menjajal jalur sepeda di kawasan tersebut pada Ahad pagi, pada akhir Agustus 2014. Gunung setinggi 1.800 meter itu adalah tonggak paling timur dari rangkaian gunung di patahan Lembang. Di punggungannya terdapat banyak lintasan jalur setapak di hutan pinus milik Perhutani.
Untuk menuju ke sana ada dua akses yang paling mudah. Pertama adalah dari Kota Bandung, arahkan kendaraan menuju Ujungberung, lalu naik melalui Desa Palintang. Yang kedua dari arah Lembang bisa melalui Maribaya, Desa Cibodas dan diteruskan ke perkebunan kina Bukit Tunggul.
Pagi itu kami memulai perjalanan dari Bukit Tunggul. Sepeda langsung kami tancap memasuki areal perkebunan kina tertua di Indonesia ini. Jalan perkebunan yang berupa aspal terkelupas campur pasir membuat lintasan enak dilalui karena sepeda yang kami pakai bertipe all mountain atau AM dengan lebar ban di atas 2 inci.
Kami menyebutnya etape I, jalan menanjak landai menyusuri perbukitan di antara lembah Gunung Palasari. Sinar matahari pagi menyusup di antara tegakan pohon kina dan kayu putih, kilaunya berwarna emas menghangat tubuh yang sebelumnya kedinginan dibekap udara Lembang. Sesekali kami berpapasan dengan para pesepeda yang datang dari arah berlawanan. Seperti biasa salam dan sapaan selalu dilambaikan pada sesama goweser. Ini adalah tradisi yang terbangun begitu saja.
Tanjakan demi tanjakan terus kami libas selama satu jam hingga ujung dari etape I ini pada sebuah tanah lapang yang biasa disebut Karpet. Sebenarnya ini adalah puncak dari sebuah bukit di antara Gunung Manglayang dan Gunung Palasari. Di lapangan dengan ketinggiannya sekitar 1.600 mdpl ini penggowes bisa istirahat untuk menarik napas, sambil menikmati penganan sederhana dari sebuah warung dadakan.
Setelah cukup beristirahat kami melanjutkan perjalanan. Etape II adalah jalur single trek di dalam hutan, ini adalah jalur idaman yang banyak dicari para pesepeda gunung. Selepas lapangan Karpet jalur menurun melalui perkebunan sayur. Sepeda meluncur di antara pepohonan perdu sehingga wajah pun acap kali tertampar oleh dedaunan. Pesepeda wajib memakai kacamata untuk pelindung mata agar tidak tertusuk ranting. Sebelum memasuki hutan pinus ada sebuah turunan ekstrem yang berakhir di sebuah sungai kecil. Turunan ini sangat diminati para pesepeda dari kaum downhiller.
Selepas sungai, hutan pinus yang rapat menyambut pesepeda. Jalan setapak meliuk di antara batang pohon berumur puluhan tahun. Dibutuhkan kemampuan mengendalikan (handling) sepeda yang cukup mumpuni di trek ini. Menaklukkan turunan di tanah licin serta juluran akar pinus menjadi tantangan tersendiri bagi para pesepeda. Memang sebaiknya jangan terlalu cepat melintas di jalur ini, selain beresiko, pemandangan hutan yang eksotis terlalu sayang dilewatkan. Bila beruntung terkadang kabut turun menambah mistis suasana hutan. Sekitar dua jam waktu yang dihabiskan melalui trek di dalam hutan, itu sudah termasuk istirahat dan berfoto.
Selanjutnya jalur didominasi jalan setapak di lereng yang bersanding dengan jurang. Lagi-lagi pemandangan elok terhampar di depan mata, lembah kebiruan berpadu perbukitan memanjakan mata. Namun jangan sampai lengah jalan setapak tipis bisa memelesetkan sepeda ke dalam jurang. Di beberapa titik hampir tidak ada space yang tersisa antara jalan setapak dan gawir (jurang pendek). Adrenalin pun benar-benar membuncah di lintasan ini. Akhir dari etape II adalah batas hutan pinus dengan kebun warga. Nama daerah ini adalah Genteng.
Etape III atau terakhir tidak kalah menantang. Dimanjakan dengan jalan tanah yang cukup lebar dengan turunan-turunan panjang para penggowes akan diguncang sepanjang jalur kebun hingga ke perkampungan. Selepas kampung kecil lanskap berubah menjadi area pesawahan. Lagi-lagi kita disuguhi pemandangan yang indah, kombinasi antara sawah, lembah, dan kampung berlatar gunung. Di akhir jalur pesepeda akan bertemu kebun bambu dan meliuk-liuk melintasi pematang sawah. Lumayan untuk menguji keseimbangan.
Bumi Perkemahan Kiara Payung bisa dianggap garis finis dari etape III. Tapi masih ada satu lagi yang biasa disebut jalur bonus, yaitu menuruni bukit Kiara Payung sampai ke titik akhir di gerbang kampus IPDN. Berawal dari sebuah lapangan kemudian menyusuri jalan setapak di pemakaman lalu meluncur di kebun jagung, wuussh!! Jalur bonus tak kalah mengasyikkan karena di sini kita bisa memacu sepeda sekencangnya tanpa khawatir menyenggol warga yang melintas karena jauh dari permukiman.
Keluar dari kebun jagung jalur tanah pun berakhir, selanjutnya jalan aspal membawa pesepeda memasuki kawasan kampus IPDN. Total jarak dari Bukit Tunggul hingga ke Jatinangor sekitar 30 kilometer yang ditempuh selama 6 jam, dengan penurunan elevasi 900 meter (dari ketinggian 1.600 mdpl ke 700 mdpl). Sungguh perjalanan gowes yang menyenangkan.(tempo.co)