KERIUHAN di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, saat laga persahabatan internasional timnas senior Indonesia menghadapi Syria malam itu (Sabtu, 15/11) tidak menyurutkan konsentrasi sekelompok (tujuh) anak muda di tribun VIP barat.
Mereka adalah tangan-tangan cekatan yang tergabung dalam lembaga penyedia data statistik dan analisis sepak bola, LabBola. Badan Tim Nasional (BTN) menunjuk mereka untuk membuat statistik performa timnas sebagai persiapan sebelum berlaga di Piala AFF 2014 yang kini berlangsung di Hanoi, Vietnam.
Ratu Tisha Destria adalah salah seorang sekaligus satu-satunya perempuan di antara tujuh orang itu. Tisha baru sebulan ter akhir berada di Jakarta setelah hampir sepuluh bulan mengikuti program beasiswa FIFA Master di Eropa. Bersama Hardani Maulana, Tisha merupakan co-founder Lab Bola.
”Dari LabBola ini saya bisa mendapatkan beasiswa ikut program FIFA Master setelah di tahun sebelumnya saya gagal,” ujarnya di sela-sela laga tersebut. Latar belakang gadis berusia 29 tahun itu se benarnya termasuk jauh dari dunia sepak bola. Tidak ada darah sepak bola yang mengalir di dalam dirinya
Namun, minat alumnus Jurusan Matematika Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut terhadap sepak bola sudah terbentuk sejak SMA. Bersama Hardani, dia mulai membangun kecintaannya pada sepak bola. Dimulai dari tim kecil-kecilan. Hardani jadi pemain dan Tisha menjadi manajernya. Lalu, dari situ Tisha mulai merambah mengurusi kompetisi hingga ke akar-akarnya.
Tidak mengherankan jika selama empat tahun, sejak 2004 hingga 2008, Tisha didapuk untuk mengurusi tim sepak bola mahasiswa ITB. Tidak melulu mengurusi teknis, dia bahkan sudah masuk urusan nonteknis seperti mencari pemasukan keuangan. Tim sepak bola ITB tergabung dalam kompetisi internal Persib Bandung.
Tidak mengherankan, dalam perjalanannya, Persib dan Asosiasi Provinsi PSSI Jabar pun sering mengajak Tisha bekerja sama dalam mengatur kompetisi. Setelah lulus dari ITB pada 2008, dia langsung menginisiasi berdirinya LabBola. FIFA Master sendiri merupakan program yang disponsori FIFA sebagai bagian dari mengembalikan 90 persen keuntungan FIFA untuk pengembangan sepak bola. Program tersebut dijalankan International Centre for Sports Studies (CIES).
Untuk 2013 hanya ada 28 orang dari sepuluh negara yang berhak mengikuti program itu. Program tersebut menjadi impian Tisha sejak lama. Sebelumnya, pada 2011, dia pernah diterima untuk program Football MBA dari Liver pool. Karena tidak ada bantuan peme rintah, dia pun tidak jadi mengikutinya.
Sementara untuk FIFA Master, dia ikut lantaran didukung beasiswa LPDP Kementerian Keuangan. Tisha mengakui, pasang surutnya membesarkan LabBola ikut andil dalam membuka pintu menuju FIFA Master itu. Dia sempat gagal di edisi 2012 setelah mengikuti World Foot ball Science di Jepang sebagai partisipan dan mempresentasikan abstraksinya di World Soccer Science 2013 di Belgia.
Baru setahun setelah itu Tisha diterima di program beasiswa FIFA Master. ”Mungkin FIFA ingin melihat bekal saya di LabBola sebagai hasil yang pada tahun sebelumnya itu masih berupa mimpi. Saya satu-satunya orang statistik di antara 27 peserta lainnya,” ungkap dia.
Saat menjalani FIFA Master itu, Tisha belajar di tiga universitas yang digandeng CIES. Yakni De Montfort University di Leicester, Inggris; SDA Bocconi di Milan, Italia; dan Universite de Neuchatel di Neuchatel, Swiss. Ketiganya punya perbedaan bidang masing-masing, disesuaikan dengan tiga aspek yang dipelajari di FIFA Master.
Tiga aspek itu adalah sports humanity, sports management, dan sports law. Mempelajari sports humanity di De Montfort, lalu sports management di Bocconi dan terakhir sports law di Neuchatel. Di sela-sela studi itu juga disempatkan field trip ke beberapa kota di Eropa yang ada hubungannya dengan sepak bola.
Tisha mengungkapkan, yang didapatkannya selama menempuh program FIFA Master lalu memberi dirinya banyak pandangan baru. Terutama dalam pengembangan olahraga, khususnya sepak bola, di Indonesia. Dia akan mencoba menerapkan apa yang didapatkannya itu melalui PSSI dan PT Liga Indonesia (LI) selaku penanggung jawab kompetisi sepak bola di tanah air.
Yang paling menarik adalah strategi partnership dalam pengembangan pemasaran. Strategi tersebut masuk dalam sub bahasan tesisnya yang mengangkat tema tentang teori sports collaboration. Dia menganggap strategi itu bakal sangat jitu jika diterapkan di Indonesia yang notabene publik lebih menyukai sepak bola.
”Bisa dibilang, basis market di Indonesia ini sudah jadi sehingga punya step ahead ketimbang negara-negara di Eropa misalnya. Dengan massa yang sudah ada, strategi marketing harus dapat dirombak habis. Yang paling mendasar adalah mengubah sistem marketing tidak lagi ownership, tapi lebih ke part nership,” bebernya.
Pengalamannya ketika di Belanda, promosi sepak bola bisa digabungkan dengan kelompok yang menghobi cycling. Pada suatu ketika, kelompok pencinta cycling itu diajak bersepeda bersama-sama dan tur keliling kota itu diakhiri dengan menonton pertandingan sepak bola putri.
”Jadi, yang cinta cycling tetap mencintai dunianya dan mereka pun jadi interes dengan sepak bola,” ungkapnya.
Demikian juga halnya dengan fasilitas. Ham pir tidak ada klub sepak bola di Indonesia yang punya wadah pengembangan olahraga lainnya satu atap. Dengan teori sports collaboration-nya itu, satu area milik klub sepak bola juga bisa dikembangkan untuk cabor lainnya. Mungkin untuk fasilitas sports science-nya. Dua hal tersebut mungkin hanya sekelumit dari isi tesis yang Tisha kembangkan bersama empat rekan di timnya dari FIFA Master.
Sayangnya, tesisnya itu belum mampu menggugah pihak terkait di Indonesia. Salah satunya Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). ”Saya beberapa kali sudah mengirim e-mail ke Kemenpora, tapi tidak ada balasan. Malahan ini dipakai Kementerian Olahraga Inggris yang juga akan membuat sistem kolaborasi sport itu,” klaimnya.
Meski demikian, Tisha tidak mempersoalkan hal tersebut. Yang pasti, dia berharap akan ada perubahan dalam pengembangan olahraga, khususnya sepak bola, tanah air. Menurut dia, potensi sepak bola di Indonesia untuk bisa ”dijual” lebih besar ketimbang di negara lainnya, bahkan untuk level Asia sekalipun.
”Yang ada diperkuat dan yang belum ada dibikin side income baru,” tuturnya.
Untuk sementara Tisha masih berjalan bersama LabBola dalam pengembangan sepak bolanya. Dia belum berpikir menjadi konsultan bagi klub-klub sepak bola Indonesia, terutama dalam bidang pemasarannya. Kerja samanya dengan PSSI dan PT LI pun sementara masih sebatas menyediakan data statistik.
Tisha memaparkan, tawaran dari beberapa liga negara Asia kepadanya untuk bekerja sama terus berdatangan setelah mengikuti FIFA Master itu. ”Tetapi, saya tetap ingin mengembang kannya di Indonesia dulu. Mungkin ini jadi nilai plus setelah FIFA Master. Jaringan saya di Asia semakin luas. Semoga ini jadi awal bagus untuk mengejar target mengembangkan LabBola dan sepak bola Indonesia di level Asia,” tandasnya.
Hanya, PT LI sendiri sudah punya rencana menggandeng Tisha untuk mengembangkan kompetisi tanah air. Hal itu diungkapkan Sekretaris PT LI Tigorshalom Boboy. Ditemui terpisah, Tigor–sapaannya–menyatakan bahwa pihaknya bakal menggandeng Tisha pribadi untuk ikut dalam memberikan pencerahan kepada klub-klub. Hal itu akan dilakukan PT LI sebelum kompetisi musim 2015 bergulir.
Untuk ISL, roda kompetisi direncanakan mulai berjalan pertengahan Februari. ”Makanya, dalam sebulan penuh, entah itu Desember atau Januari, kami akan lakukan workshop itu. Kami harap semua pengalamannya bisa diberikan pada program tersebut dan klub pun dapat memaksimalkan kehadiran Tisha,” tuturnya.
Keberadaan Tisha dianggap Tigor akan sangat membantu pihaknya dalam meningkatkan grade kualitas pengelolaan di klub. Sebab, di FIFA Master juga diajarkan bagaimana mengelola semua aspek sepak bola, mulai bisnis hingga youth development-nya, dengan baik. Itu yang masih belum dipenuhi semua klub Indonesia, di ISL sekalipun.
Untuk tahun ini saja, berdasar laporan dari Club Licensing Department (CLD) PSSI, di level ISL saja hanya ada tiga klub yang memenuhi standar lisensi. Yakni juara ISL Persib Bandung, runner-up Persipura Jayapura, dan semifinalis Arema Cronus.
”Dan semua yang dipelajari Tisha ini masuk dalam aspek club licensing itu. Beruntung Indonesia punya orang seperti dia,” pujinya.
Tigor mengakui, tidak mudah mendapatkan kesempatan ikut FIFA Master tersebut. Dia pun mengaku sudah sering meng-apply dan gagal mendapatkannya. Alumnus FIFA Master kebanyakan masuk dalam institusi elite seperti FIFA, AFC, dan IOC. ”Sekarang Tisha masih di sini dan dia tidak akan kemana-mana. Itu akan sangat membantu kami,” tegasnya.
Secara pribadi, di mata rekan-rekan kerjanya di LabBola, sosok Tisha dikenal rendah hati. Di satu sisi, dia memang pendiri Lab Bola. Tapi, di sisi lain, dia tidak mau diposisikan layaknya bos sebuah perusahaan. Sekalipun dia dan Hardani sebagai leader, semua pekerjaan dikerjakan bersama-sama tanpa mengenal atasan dan bawahan. Hal tersebut diungkapkan salah seorang kru LabBola Syafiq Bahanan.
Dia menganggap banyak hal yang selangkah lebih maju dari seorang Tisha setelah mengikuti FIFA Master itu. Termasuk dari sisi wawasan sepak bolanya. Bukan lagi bicara skup nasional ataupun regional, Tisha sudah melangkah ke level Asia dan dunia.
(indopos)