Desain halte dan trotoar yang menjadi kebijakan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil yang digadang-gadang bakal menarik dan indah dilihat, ternyata sudah menuai petisi online penolakan. Petisi tersebut muncul diposting di www.change.org pada Rabu (14/1/2015), yang saat itu juga langsung menyebar di Facebook.
Petisi yang digagas oleh Yuyun Yuningsih, itu selain memposting ke www.change.org juga dikirim ke Ridwan Kamil wk@bandung.go.id, ridwan.kamil@urbane.co.id, rkamil@ar.itb.ac.id, dan @ridwankamil. Yuyun merupakan Direktur Bandung Independent Living Center (BILiC) dan masyarakat disabilitas kota Bandung. Dia juga merupakan penyandang disabilitas yang sehari-hari harus menggunakan tongkat untuk berjalan.
Dalam petisinya, dia menulis seperti ini Kepada Yth, Bapak Mochamad Ridwan Kamil, ST., MUD Wali Kota Bandung, Bapak H Isa Subagja Ketua DPRD Kota Bandung. Isinya memprotes proyek wali kota yang dinilai diskriminatif terhadap kaum disabilitas.
Hingga Kamis (15/1) sudah terkumpul 250 pendukung yang menandatangani petisi online tersebut. Dan, hingga Jumat (16/1) pagi sudah terkumpul 389 orang dari target 500 orang yang menandatangani petisi.
Dalam petisinya, Yuyun memprotes desain halte nyentrik berdesain mirip kapsul seperti yang ada di Jalan BKR.
“Pertanyaannya dari saya untuk Kang Emil, mengapa harus buat halte bis yang demikian (nyentrik, red) ? Mungkin dilihat dari bentuknya keren. Tapi apa fungsinya? Apa manfaatnya? Berapa biayanya? Apakah desain itu dapat dinikmati oleh semua kalangan? Apakah tidak lebih baik dialihkan pada penyediaan alat transportasinya contoh: BIS-nya yang rendah. Sehingga setiap orang bisa mudah untuk naik/turun dari bis langsung ke trotoar. Secara biaya, tentunya akan lebih rendah dibanding harus membuat halte yang nyentrik tapi useless,” tulis Yuyun.
Yuyun juga menyayangkan beberapa trotoar yang sedang dibangun salah satunya di sepanjang jalan R.E Martadinata menggunakan bahan marmer.
“Yang membahayakan jika terkena air, bukan hanya bagi warga disabilitas tapi bagi semua warga kota bandung,” tulisnya lagi.
Diakhir tulisannya, Yuyun juga mengingatkan wali kota, jika desain tata kota layanan publik tidak aksesibel maka beban wali kota akan lebih berat. Karena merancang desain yang aksesibel sejak perencanaan dan memastikan implementasinya, biaya tambahan tidak banyak.
“Ada sebuah study yang menyatakan itu hanya 1%. Daripada harus pasang, bongkar, tambahan…efeknya? Kemudahan, keselamatan, kenyamanan, dan kemandirian sama sekali tidak diperhitungkan. Hayu atuh Kang Emil, aplikasikan pengalamannya secara utuh, pahami Universal design, lindungi dan layani warga yang disabilitas secara adil, libatkan aktif warga yang disabilitas dalam segala tahapan tadi, apalagi sebagai user, apanan urang Bandung teh someah…. Kumaha bade someah upami fasilitas publikna kitu keneh wae mah? Kumaha Bandung bade JUARA? Naha teu isin ngangken juara padahal masih mendiskriminasi?,” papar Yuyun dalam petisinya.
(http://jabar.tribunnews.com)