Standar mutu dan proses pembuatan tempe, yang diajukan Badan Standardisasi Nasional kepada badan internasional standardisasi pangan Codex Alimentarius Commission, diakui sebagai standar di Asia.
Untuk itu, standar tersebut akan disosialisasikan kepada para perajin tempe.
Hal itu disampaikan Kepala Badan Standardisasi Nasional Bambang Prasetyo, Rabu (11/2), di Jakarta, terkait Konferensi Dunia yang akan digelar di Yogyakarta, 15-17 Februari 2015.
Standar internasional tempe meliputi standar mutu kandungan zatnya, cara pengujian laboratorium, pengambilan sampelnya, dan standar proses dengan tingkat higienis memadai. ”Di Indonesia, tempe punya standar, yakni SNI 3144 yang diterbitkan pada 2009,” kata Deputi Bidang Penelitian dan Kerja Sama Standardisasi BSN Kukuh S Achmad.
Namun, dengan adanya standar internasional itu, perlu peninjauan ulang SNI demi penyempurnaan. Selain melaksanakan sosialisasi standar tempe, BSN akan membina usaha kecil-menengah atau perajin tempe tentang proses higienis sesuai standar. ”Dalam proses pembuatan ditetapkan antara lain penggunaan wadah terbuat dari baja tahan karat untuk mencegah kontaminasi,” ucap Bambang.
Persyaratan standar yang berlaku bermanfaat bagi UKM, di antaranya proses fermentasi lebih cepat dan murah karena Indonesia beriklim tropis. Jika kedelai difermentasi dengan kapang Rhizopus sp jadi tempe, asam amino dalam kedelai lebih mudah dicerna. Kapang ini mudah dikembangbiakkan. Di masa depan, kapang akan berstandar, diperjualbelikan, dan diekspor.
Kini, pengakuan atas standar tempe terbatas di Asia, karena banyak warga menjual dan mengonsumsi produk fermentasi kedelai itu. Nantinya, pemasaran tempe bisa berkembang hingga ke Eropa dan Amerika Serikat, dengan beragam olahan.
(Tribunnews)