Sudah menjadi rahasia publik, Bogor dijuluki “Kota Sejuta Angkot”. Kemacetan terjadi setiap hari, tidak hanya pada jam-jam sibuk, dan di lokasi strategis, melainkan setiap jam dan di seluruh sudut kota.
Jika Anda meelintasi Jl Pulo Empang menuju Jl Ir H Juanda untuk kemudian meneruskan rute ke Jl Kapten Muslihat, dan Jl Merdeka, atau pun terus lurus ke Jl Jalak Harupat, dan Jl Jend Sudirman, maka waktu yang bisa ditempuh bisa mencapai 45 menit hingga 1 jam. Padahal, jaraknya tak lebih dari lima kilometer hingga tujuh kilometer.
Demikian halnya dengan kawasan pusat bisnis baru di Jl Pajajaran hingga Jl Siliwangi, dan Jl Suryakencana, kecepatan kendaraan hanya bisa mencapai 10 kilometer per jam pada jam-jam sibuk dan akhir pekan.
Apa penyebab kemacetan? Selain jumlah angkot yang sudah mencapai 3.412 unit, kapasitas jalan tidak memadai, juga perilaku tidak disiplin dalam berkendara. Banyak supir angkot yang kerap kali “ngetem” di tepi jalan utama, dan tata kota yang buruk.
Tata kota yang buruk bisa dilihat dari terjadinya konversi fungsi kawasan dari sebelumnya hunian menjadi pusat komersial. Setelah Jl Padjadjaran yang kemudian “terpaksa” dijadikan sebagai pusat bisnis, gejala konversi besar-besaran kini merambah Jl Ahmad Yani, Jl Taman Kencana, Jl Taman Malabar, Jl Lodaya, dan sekitarnya.
Wakil Sekretaris Jenderal Urbanisme dan Liveable City Ikatan Ahli Perencanaan Elkana Catur mengatakan, masalah kemacetan, pedagang kaki lima (PKL), dan pasar tumpah, di Kota Bogor ini merupakan tantangan pemerintah kota untuk lebih menata kawasan secara komprehensif.
“Ini tentang bagaimana pemerintah kota mengatur flow atau aliran kota. Sebenarnya, angkot itu bisa diatur alirannya,” ujar Catur kepada Kompas.com, Kamis (2/4/2015).
Ia melanjutkan, mengatur aliran kota bisa dengan cara memastikan agar pasar tidak tumpah. Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor harus mampu juga untuk mengatur PKL. Pasalnya, pasar tumpah, dan PKL inilah yang menyebabkan supir angkot berhenti dan mencari penumpang sembarangan.
Supir angkot, menurut Catur, selalu berusaha mencari celah saat melihat adanya keramaian seperti pasar tumpah tersebut. Setelah pasar sudah teratur, tambah Catur, baru pemerintah secara fungsional mengatur angkot.
Artinya, pemkot harus membuat peraturan untuk angkot di mana boleh berhenti untuk mencari pnumpang. Kalau pemda bisa mengatur aliran, otomatis kota bergerak dengan sendirinya.
Selain mengatur pasar, Catur menambahkan, Bogor juga dihadapkan pada kebutuhan jalan layang. Meski begitu, membangun jalan layang di kota ini perlu pertimbangan khusus mengingat kondisi topografi, dan geografinya yang cukup menantang.
“Untuk membangun jalan layang, ada batasan-batasan geografis sehingga tidak bisa fleksibel,” kata Catur.
Aliran kendaraan dekat stasiun
Catur menjelaskan, kemacetan di Bogor bisa diatasi dengan menciptakan sarana transportasi yang terintegrasi. Dari segi akses kereta, Bogor memiliki dua stasiun yaitu Stasiun Bogor dan Cilebut.
“Saya melihat Stasiun Bogor, khususnya, sebagai potensi modal pemkot untuk membangun sistem terintegrasi antara kendaraan pribadi, angkot, dan kereta,” sebut Catur.
Pemerintah, tambah dia, harus memastikan aliran kereta antar-stasiun berjalan dengan lancar. Stasiun kereta, harus bisa disatukan dalam satu fungsi kawasan yang utuh. Satu fungsi kawasan yang utuh adalah saat orang-orang beralih dari menggunakan kereta atau commuter ke kendaraan pribadi atau umum.
Jika aliran tidak diperhatikan, maka sudah pasti para supir angkot memanfaatkan kesempatan berhenti sembarangan di dekat pintu masuk dan keluar stasiun.
“Wali kota (Bogor) yang baru, saya nilai cukup progresif, ide-idenya bagus. Kami berharap mudah-mudahan beliau bisa membangun Kota Bogor tanpa harus melupakan fungsi sekitar,” tandas Catur.
Dari pantauan Kompas.com, kawasan Stasiun Bogor sendiri, kini sudah jauh lebih rapi dan teratur dibandingkan beberapa waktu sebelumnya. Pemkot membangun jembatan penyeberangan yang juga merupakan akses bagi pengguna kereta saat memasuki stasiun atau pun sebaliknya.
Selain itu, pintu stasiun lainnya, yang berada di Jalan Mayor Oking, bukan di jalan utama yaitu Jalan Kapten Muslihat. Hal ini bertujuan agar angkot tidak berhenti di pinggir jalan utama
Sementara di Stasiun Cilebut, keadaannya belum sebaik di Stasiun Bogor.
Pintu gerbang stasiun terletak hanya beberapa meter dari persimpangan jalan yang lebarnya tidak seberapa. Dengan demikian, hampir setiap waktu, jalan di sekitar Stasiun Cilebut macet dikarenakan angkot yang berhenti sembarang dan menghalangi kendaraan yang lalu lalang di persimpangan jalan.
(kompas.com)