Masjid Katangka, Saksi Perjalanan Islam di Sulawesi

by -312 views

masjidNUANSA teduh nan sakral seketika menyergap saat langkah kaki mengayun memasuki sebuah masjid di tepi Jalan Syekh Yusuf di garis batas Kota Makassar-Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Rabu (1/7/2015).

Di balik penampilannya yang bersahaja, masjid tua itu telah menjadi saksi perjalanan Islam di tanah Sulawesi selama lebih dari empat abad.

Masjid Tua Al-Hilal Katangka adalah nama resmi yang tercantum di plang halaman masjid yang berlokasi di Kelurahan Katangka, Kecamatan Somba Opu, Gowa, itu. Namun, masyarakat luas lebih mengenal masjid tersebut dengan nama singkatnya: Masjid Katangka.

Katangka adalah jenis pohon yang dahulu kala banyak tumbuh di lingkungan sekitar masjid itu. Kayu katangka pula yang menjadi bahan pembuatan masjid yang berdiri tahun 1603 tersebut. Namun, pohon endemis yang kayunya dianggap sebagai kayu kehormatan oleh orang Makassar itu kini sudah sangat langka.

Masjid Katangka dibangun pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV I Mangarangi Daeng Manrabbia atau yang kemudian bergelar Sultan Alauddin. Sultan Alauddin adalah Raja Gowa pertama yang memeluk Islam dan mendukung penyebarannya ke seluruh Sulawesi Selatan.

Baca Juga:  Satu Pendaki Satu Pohon di Gunung Ungaran

Syiar Islam di Sulsel saat itu juga tak terlepas dari peran tiga sosok ulama asal Minangkabau, yakni Dato Ri Bandang, Dato Patimang, dan Dato Ri Tiro. Ketiganya mengislamkan banyak kerajaan di jazirah selatan Sulawesi, termasuk Gowa.

Pengurus Masjid Katangka, Harun Daeng Ngella (38), mengatakan, Masjid Katangka didirikan di lingkungan yang dulu masuk dalam kawasan benteng Istana Tamalate, pusat Kerajaan Gowa. “Letak masjid berdekatan dengan istana raja dan wilayah ini dikelilingi tembok benteng. Namun, bangunan istana dan benteng sudah tak tersisa lagi,” katanya.

Di sekeliling bangunan masjid juga terdapat makam sejumlah Raja Gowa dan keturunannya. Sekitar 500 meter arah selatan masjid terdapat pula kompleks makam Sultan Hasanuddin. Raja Gowa XVI yang merupakan cucu Sultan Alauddin itu adalah pahlawan nasional yang gigih melawan penjajahan Belanda pada abad ke-17.

Harun menambahkan, karena berada di “jantung” kerajaan, Masjid Katangka juga dibekali dengan “fitur” khusus, yakni dinding yang berketebalan 1,2 meter. “Pada masa itu, selain sebagai pusat peribadatan dan syiar Islam, masjid ini juga berfungsi sebagai benteng pertahanan semasa perang,” ujarnya.

Baca Juga:  Inflasi Jabar Naik Signifikan

Pintu masuk bangunan utama masjid seluas 144 meter persegi tersebut terletak di sisi timur. Terdapat dua pintu, tetapi hanya satu yang sehari-hari difungsikan. Di sisi pintu utama itu tercantum prasasti kecil yang bisa dengan jelas terlihat oleh siapa pun yang memasuki masjid. Di bagian atas prasasti bertuliskan “Masjid Tertua di Sulsel”, sementara di bagian bawahnya tertulis “1603”.

Satu hal lain yang unik adalah sebuah ornamen kaligrafi di gapura kecil mimbar. Kaligrafi berhuruf Arab itu menggunakan bahasa Makassar yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Harun sebagai berikut: “Mimbar ini dibuat pada hari Jumat tanggal 2 Muharam tahun 1303 Hijriah. Diukir oleh Karaeng Katangka bersama Tumailalang Lolo. Apabila khatib sudah berada di atas mimbar, kita tidak diperkenankan lagi berbicara masalah dunia”.

Selain mimbar, bagian menarik lainnya adalah empat pilar utama masjid yang berbentuk silinder cembung. Harun mengatakan, pilar itu mengadopsi gaya bangunan Eropa. “Jadi, masjid ini memadukan berbagai gaya arsitektur, mulai dari Tiongkok, Eropa, Jawa, hingga lokal,” katanya.

Baca Juga:  Pembunuhan Nasrudin: Antasari Minta Anas Bersaksi

Masjid Katangka menarik minat masyarakat dari sejumlah daerah untuk beribadah di sana. Salah satunya Baharuddin Nae (40), warga Makassar yang kerap mampir untuk menunaikan shalat di masjid itu meskipun rumahnya berjarak sekitar 3 kilometer dari masjid.

Baharuddin mengaku bisa lebih merasakan kekhusyukan saat beribadah di masjid tersebut. “Karena itu, setiap kali berkesempatan lewat masjid ini, saya selalu usahakan mampir untuk shalat,” kata wiraswasta ini.

Ia juga mengaku takjub dengan usia Masjid Katangka yang telah mencapai empat abad tersebut. Awalnya, saat pertama kali mengunjungi masjid tersebut untuk shalat Jumat enam tahun lalu, ia tak menduga usia masjid sudah setua itu.

Kekaguman terhadap Masjid Katangka juga diungkapkan Rudwin (35), pegawai badan usaha milik negara asal Jakarta yang telah tiga bulan bertugas di Makassar. Menurut Rudwin, ada aura dan nuansa yang berbeda dari masjid tua yang penuh sejarah seperti Masjid Katangka.

“Ada kenyamanan tersendiri saat memasuki masjid tua ini untuk beribadah,” ujarnya.

(kompas.com)

About Author: Damar Alfian

Gravatar Image
Damar Alfian adalah seorang penulis dan kontren kreator di Bandung, Jawa Barat. Dia juga sebagai kontributor di beberapa media online.