Draf revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang dikeluarkan DPR menimbulkan keresahan di masyarakat. Dikhawatirkan, lembaga antirasuah tersebut akan mengalami pelemahan jika revisi tersebut nantinya disetujui.
Seorang warga asal Bandung, Hani, meyakini peraturan tersebut sangat berpotensi melemahkan, bahkan mematikan KPK. Ini terlihat mulai dari mengganti “pemberantasan” menjadi “pencegahan” dan membatasi masa kerja KPK hanya 12 tahun.
“Tidak masuk akal. Korupsi memang harus diberantas dan KPK harus terus ada selama republik ini berdiri. Memang DPR bisa jamin dalam 12 tahun tidak akan ada lagi kasus korupsi baru dan semua kasus yg udah ada bisa terselesaikan?” kata Hani, saat dijumpai, Jumat (9/10/2015).
Ia juga menyayangkan adanya pelarangan bagi KPK untuk menangani perkara yang nilai kerugian negaranya di bawah Rp 50 miliar. Aturan tersebut, menurut dia, bertentangan dengan kampanye “pemberantasan korupsi dari yang terkecil”, dalam hal ini yaitu pelaporan di tingkat daerah.
Hani menilai peraturan dalam draf revisi tersebut mengesankan redupnya gerakan anti korupsi di masyarakat. Poin revisi yang menjelaskan bahwa KPK diusulkan tak lagi menyelidik dan menyidik perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum juga ia nilai sebagai aturan tak masuk akal. “Seolah para aparat penegak hukum punya keleluasaan bergerak tanpa kontrol,” ujar dia.
Komentar senada disampaikan seorang warga Bogor, Hafiz. Menurut dia, meski sejumlah pihak mengklaim akan membuat kinerja KPK lebih optimal dengan merevisi UU tersebut, tapi ia masih belum memahami dimana poin yang dimaksud dapat mengoptimalkan kinerja KPK. Ia masih berasumsi revisi tersebut justru membatasi gerak KPK dan merusak semangat pemberantasan korupsi.
“Kurang masuk akal kalau alasan membatasi masa kerja KPK 12 tahun adalah supaya lebih semangat menyelesaikan tugas. Yang ada malah tidak maksimal karena diberi tenggat waktu,” ujar Hafiz.
Sementara itu, Aulia, warga asal Kebon Jeruk, Jakarta, menilai revisi UU KPK tersebut perlu dilakukan, dengan catatan tidak menghilangkan fungsi penuntutan. Menurut dia, KPK tidak bisa hanya bisa dibiarkan bergerak dengan fungsi pencegahan saja. Selain itu, menurut dia, KPK juga perlu dikawal agar tidak kebablasan dalam menggunakan wewenangnya dan bebas dari nuansa politis.
“Tahu sendiri, sistem birokrasi kita. Semakin kewenangannya terpisah, semakin lama pula penanganannya hingga tuntas,” kata Aulia.
Aulia juga mempertanyakam motif dari para pengusul revisi UU KPK mengusulkan draf revisi tersebut. Mengingat banyak kolega mereka yang diseret ke penjara karena kasus korupsi. Meski begitu, ia menganggap istilah “memperkuat” atau “melemahkan” KPK tidak perlu diributkan karena yang terpenting adalah substansi agar KPK dapat bekerja secara optimal.
“Ini harus dipikirkan dua pihak baik yang pro atau kontra. Harus ada win-win solution,” kata dia.
(Kompas)