Sambil menggandeng tangan anaknya, Siti Romlah nampak panik di Jalan Raya Laladon. Wanita berusia 45 tahun itu mengeluh lantaran tidak ada angkot sejak pagi. Padahal, anaknya Vani Agustina (25) yang sedang hamil sembilan bulan harus melahirkan di rumah sakit. Karena sejumlah sopir angkot melakukan aksi mogok, Vani pun harus gigit jari dan menelan kekecewaan. ”Tolong… saya mau melahirkan!”
DENGAN membawa perlengkapan untuk menginap di Rumah Sakit PMI Bogor, warga Tapos, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor itu mengeluh karena tidak ada angkutan kota (angkot) yang melewati Jalan Laladon sejak pagi. Ia mengaku kecewa dan mencemaskan kandungan putrinya yang sudah mencapai sembilan bulan.
“Kami mau ke PMI. Soalnya besok (hari ini, red) anak saya mau dioperasi caesar, tapi kenapa angkot nggak ada,” kata Siti kepada Metropolitan, kemarin. Ia juga mengaku tidak tahu kenapa sopir angkot mogok. ”Ada apa sih, bikin orang susah saja. Setiap mau naik angkot pasti diturunkan,” keluh wanita yang mengenakan kerudung hitam dan bersepatu cokelat itu.
Setelah sempat menunggu lama, ia terpaksa membawa anaknya kembali ke rumah. “Nggak tahu juga Mas, saya mungkin mau balik dulu minta suami cari rental mobil untuk mengantar kami ke rumah sakit,” ujarnya. Sedangkan Vani nampak lesu. Ia tertunduk lemas lantaran keinginannya melahirkan harus tertunda.
Warga lainnya, Yuli (22), mengaku telat masuk kerja. Pegawai swasta itu pun meminta Pemkot Bogor segera menyelesaikan permasalahan ini agar masyarakat tidak menjadi korban. “Kalau gini terus (telat masuk kerja, red), pasti kena sanksi dari bos,” kata wanita yang biasa menumpang angkot di Jalan Paledang tersebut.
Sementara itu, aksi penyetopan sempat terjadi di Jalan Raya Pajajaran. Nyaris terjadi keributan saat sopir angkot meminta rekannya ikut dalam aksi demo. Beruntung, aksi tak berlangsung lama karena segera diatasi petugas.
Petugas gabungan, seperti polisi, Satpol PP, TNI, Dishub dan Perusahaan Daerah Jasa Transportasi (PDJT) menerjukan 26 unit kendaraan guna mengatasi penumpukan penumpang yang tidak bisa bepergian di beberapa titik, seperti Jalan Bubulak, Warungjambu, Juanda hingga Paledang. Mereka (penumpang, red) kemudian diangkut menggunakan truk dan diantar ke beberapa tempat.
Sedangkan seorang pemilik angkot jurusan 02 Sukasari–Laladon, Samsudin (62), menolak rencana BPKB, STNK dan izin trayek diubah menjadi nama koperasi. Sebab, angkot ini miliknya.
”Angkot ini punya saya, kenapa harus jadi nama orang lain. Kalau begitu, sekalian saja beli semuanya sama pemkot,” katanya dengan nada geram.
Dalam sosialisasi, Samsudin selalu menolak angkot berbadan hukum. Walikota Bogor Bima Arya seharusnya mendengar keluhannya. ”Kalau kami membutuhkan dana mendadak bagaimana? Apakah kami bisa menuntut? Atau, jangan-jangan malah kami yang dituntut?” ujar pemilik angkot yang sudah puluhan tahun itu.
Tak hanya itu, Samsudin juga mengancam akan gencar berunjuk rasa hingga tuntutannya dipenuhi. ”Kami akan turunkan massa yang lebih banyak,” ancamnya. Apalagi, lanjut Samsudin, pertumbuhan kendaraan pribadi mencapai 12 hingga 13 persen. Pertumbuhan kendaraan roda dua atau motor meningkat 17 persen per tahun. Pembangunan sarana dan prasarana hanya 0,01 persen dan angkot yang sejak 2006 sudah tidak bertambah malah dihapus dengan sistem shift to shift. Dengan begitu, tidak ada yang namanya balik nama. Sedangkan untuk koperasinya tidak apa-apa.
”Pusing lah kalau sudah ngotot balik nama. Kenapa angkot yang selalu disalahkan,” sesalnya.
BANYAK TUKANG OJEK DADAKAN
Aksi unjuk rasa disertai mogok massal, ternyata menjadi berkah bagi sebagian sopir angkot. Salah satunya Mahdi (40) yang mengaku terpaksa menjadi tukang ojek dadakan. Sebab, pendapatannya sehari-hari hanya dari angkot. Mau tidak mau, ia harus tetap bekerja untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari. “Yang penting halal, Mas. Saya punya kewajiban pada keluarga. Ini baru empat penumpang,” katanya.
Berkah juga dirasakan tukang ojek yang biasa mangkal di beberapa wilayah di Kota Bogor. Salah satunya Ujang (40). Menurut dia, setiap pagi biasanya hanya mendapatkan dua atau tiga rit. Tapi kemarin, ia sudah mendapat enam rit. “Biasanya ke Terminal Baranangsiang dan Stasiun Bogor hanya dua kali, tapi hari ini (kemarin, red) Alhamdulillah,” tuturnya.
Bahkan, Ujang menaikkan tarif sewanya. Kalau biasanya dari Laladon hingga Stasiun Bogor Rp20.000, kemarin ia menaikkannya menjadi Rp25.000 hingga Rp30.000.
(Metropolitan.id)