Terik matahari siang itu, membuat wilayah utara Kabupaten Bogor seperti di atas bara api. Ditambah kepulan debu yang membuat wilayah itu semakin menakutkan. Tidak bisa dibayangkan, jika naik kendaraan roda dua tanpa menggunakan masker dan kacamata. Pandangan akan terbatas dan pernapasan pun tertahan karena kotornya udara.
Musim kemarau panjang menjadi momok menakutkan bagi warga di wilayah utara Kabupaten Bogor. Di antaranya Gunungsindur, Ciseeng, Parung hingga Rumpin, Kabupaten Bogor.
Seperti yang terasa di sekitar Jalan Raya Gunungsindur. Lokasi tersebut dikepung kepulan debu yang dihasilkan dari kendaraan besar yang membawa tanah galian C di Ciseeng. Kondisi tersebut sudah dirasakan warga lebih dari sepuluh tahun.
Pantauan Metropolitan kemarin, udara memang terasa sangat mengganggu pernapasan, terlebih jika kendaraan melintas. Tanah berjatuhan terlindas roda menghasilkan kepulan debu yang sangat mengganggu pandangan. Warga yang melintas harus memakai masker. Jika tidak, dipastikan pernapasannya akan terganggu.
Kawasan Terkutuk
Kawasan itu bagaikan wilayah “terkutuk” lantaran udara yang tidak segar selama sepuluh tahun terakhir. Kondisi rumah warga yang dikepung debu itu banyak dikeluhkan warga. Sebab, tak sedikit yang menjadi korban. Seperti sesak napas dan gangguan penglihatan karena sakit mata.
Jalan Raya Gunungsindur saat ini memang sudah dibetonisasi, namun tidak mengurangi debu yang bertebaran. Hal itu terbukti dari dinding-dinding rumah warga yang diselimuti debu dengan ketebalan hingga mencapai satu sentimeter.
Warga sekitar Sobari (57) mengatakan, hujan debu hampir terjadi setiap hari. Kondisi tersebut mengganggu jarak pandang dan pernapasan. “Kami sudah tidak tahan hidup dalam kepungan debu. Banyak warga kami yang terserang penyakit sesak napas akibat debu,” ujarnya kepada Metropolitan, kemarin.
Menurut dia, hujan debu itu ditimbulkan akibat jalan rusak lantaran minimnya perhatian pemerintah. ”Ya gimana nggak ngebul, yang lewatnya saja mobil besar dan jalannya rusak,” keluhnya.
Ia juga menjelaskan, kurang lebih hampir sepuluh tahun terakhir jalan yang menghubungkan Kabupaten Bogor dengan Kabupaten Tangsel itu dibiarkan rusak. ”Ya begini jadinya, diam sebentar, debu langsung nempel,” keluhnya.
Hal senada diungkapkan seorang pengendara motor, Suprianto (28). Menurut dia, tak aneh jika sudah banyak warga yang terserang penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). ”Saya setiap hari lewat jalan ini, debunya nggak tahan. Harus siap masker kalau mau bepergian,” ungkapnya.
Jalan Banyak Debu
Salah satu pedagang yang berada di sekitar Jalan Raya Gunungsindur menuturkan, selama bertahun-tahun ia menempati lapak tempatnya berjualan. Keadaan udara tak pernah berubah. Bahkan, menurut pria yang namanya enggan dikorankan itu mengaku musim kemarau seperti saat ini, keadaan malah semakin menjadi.
“Di sini debunya parah sekali, bisa dilihat kan Mas dari tembok yang ditutupi debu itu,” ujarnya kepada Metropolitan. Sebelum jalan dibetonisasi, sambung dia, debu yang dihasilkan dari kendaraan yang melintas sangat pekat.
Keadaan saat ini memang sudah lebih baik, namun tetap masih banyak debu yang mengganggu aktivitas warga. “Sekarang ini debu masih banyak. Bisa dibayangkan waktu jalan belum dibeton, seperti apa kondisinya,” ungkapnya.
Jalur pertambangan galian C ini setiap hari dilalui kendaraan berat yang melintasi tiga kecamatan yakni Kecamatan Rumpin, Parungpanjang dan Gunungsindur. Perawatan jalan tersebut dari pengusaha tambang itu sendiri. “Satu hari bisa tiga kali penyiraman, dengan kapasitas 24.000 liter air setiap harinya,” ujar warga lainnya kepada Metropolitan.
Dia mengatakan, penyiraman dilakukan agar warga tidak merasa resah dengan debu jalan yang setiap harinya harus diisap warga sekitar. “Kalau tidak begitu, warga bisa demo,” tandasnya.
Jalan Jadi Licin
Menyikapi hal itu, Camat Gunungsindur Yodi MS Ermaya membenarkannya. Menurut dia, debu tersebut memang disebabkan kendaraan besar yang setiap hari melintasi wilayahnya. “Wilayah kami sebetulnya imbas dari pertambangan di Kecamatan Rumpin dan Parungpanjang,” ungkapnya kepada Metropolitan, kemarin.
Sebab, sambung Yudi, kendaraan besar itu setiap harinya melintasi jalur Kecamatan Gunungsindur. Ruas jalan itu pun menjadi jalur pertambangan. Jelas dengan lalu-lalangnya mobil bertonase berat yang membawa material pertambangan, warga ikut dirugikan karena debu di saat musim kemarau.
Tak hanya di musim kemarau. Saat musim penghujan pun wilayah Kecamatan Gunungsindur menjadi licin karena muatan material yang berjatuhan dari bak mobil besar itu. “Kami hanya terkena dampak,” ungkapnya.
Ia berharap dilakukan mekanisme jam operasional kendaraan besar yang melintas. “Setidaknya, kalau sudah ada aturannya, mobil besar itu tidak lewat setiap detik, menit dan jam ketika melintas kecamatan ini,” pintanya.
Jalur Khusus Mobil Galian C
“Seperti Kabupaten Tanggerang Selatan, kalau belum pukul 18:00 WIB, kendaraan tidak ada boleh yang melintas. Memang dulu pernah ada penutupan, itu pun saat adanya peningkatan ruas jalan,” katanya.
Walaupun pengusaha pertambangan setiap hari menyiram jalur tersebut dengan 24.000 liter air. Warga tetap dirugikan dengan dampak debu yang sudah ditimbulkan. ”Pada dasarnya warga juga merasa dirugikan dengan kejadian itu,” bebernya.
Dia juga telah mengusulkan kepada Pemerintah Kabupaten Bogor dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat agar dibuatkan jalur khusus pertambangan. “Saya inginnya dibuatkan jalur khusus disejajar Kali Cisadane dan jalur keluarnya di Puspitek,” paparnya.
Sementara itu, Kepala Urusan Kesra Desa Gunungsindur Aep Nasrudin mengatakan, debu sudah sangat meresahkan. Bahkan, kantor desa menjadi kumuh. “Lihat saja tembok kantor yang putih menjadi cokelat dan debu itu mengotori kantor desa setiap hari,” akunya.
(Metropolitan.id, jabarmedia.com)