DI antara kerusakan alam yang ditimbulkan industri di muka bumi Kabupaten Bogor, ternyata masih tersimpan keindahan tersembunyi Karst Cibinong. Suatu keharusan mendatangi lokasi nan aduhai yang terpencil ini sebelum dijamah dan dihancurkan oleh industri.
Semua berawal dari laman media sosial Facebook yang mengabarkan keindahan dan keunikan Gua Garunggang di dekat Kampung Cigobang, Desa Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor.
Tempat itu diibaratkan bagai Jurassic Park atau Grand Canyon mini. Perbandingan yang terasa amat berlebihan, tetapi sukses menggugah rasa penasaran.
Pada awalnya, info tentang tempat tersebut, termasuk rute perjalanan menuju ke sana, sangat minim. Yang diketahui hanyalah lokasi Desa Karang Tengah itu berbatasan dengan taman rekreasi Jungleland dan Taman Wisata Alam Gunung Pancar yang selama ini sudah cukup dikenal.
Beberapa tulisan lain di blog menceritakan, Gua Garunggang hanya bisa dijangkau dengan jalan kaki, bersepeda gunung, atau menggunakan motor trail karena kondisi jalan setapak menuju ke sana yang agak ekstrem.
Informasi lain menyebut Gua Garunggang juga bisa diakses dari Desa Tajur, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor. Tajur dan Karang Tengah saling berbatasan.
Pada 22 Oktober lalu, Kompas dan dua rekan jurnalis lain dari Bogor memutuskan mengambil rute berangkat lewat Karang Tengah dan pulang lewat Tajur.
Kami menggunakan sepeda motor bebek yang kemudian terbukti kurang cocok untuk melibas medan ekstrem menuju ke sana. Tak heran, selepas perjalanan, sepeda motor langsung masuk bengkel untuk perbaikan dan perawatan.
Menantang
Untuk menuju rute Karang Tengah ini, dari Jakarta kita bisa menggunakan mobil melalui Jalan Tol Jagorawi dan keluar di Gerbang Tol Sentul Selatan. Setelah itu, susuri jalan raya Sentul City sampai pos jaga masuk Jungleland.
Di sebelah kanan ada ruas aspal yang agak sempit, yakni Jalan Gunung Pancar. Ambil rute itu sampai simpang tiga pertama. Di sana, ambil rute kiri atau Jalan Babakan, susuri sampai bertemu satu gang atau jalan kecil dari semen ke Kampung Cigobang.
Gang itu memang tidak bertanda. Jadi, jangan ragu dan malu bertanya kepada penduduk setempat bagaimana menuju Gua Garunggang lewat Kampung Cigobang.
Di titik ini, mobil tak bisa lagi melanjutkan perjalanan dan harus dititipkan di pelataran warung atau diparkir di tepi jalan. Setelah itu, perjalanan diteruskan dengan berjalan kaki sejauh 4-5 kilometer menuju Gua Garunggang.
Dengan sepeda motor, gang-gang di Cigobang masih mudah dilewati. Namun, kondisi medan dari Cigobang ke gua itu sempat membuat cemas. Kami harus sedikit memaksakan kemampuan motor bebek melalui jalan setapak di tepi jurang menembus perbukitan hutan Perhutani, ladang, dan kebun penduduk.
Meniti jalan di tepi jurang harus dengan laju amat pelan. Kalau sembrono bisa terjungkal ke jurang bersemak. Jalan setapak menuju gua ini lebih cocok dilahap dengan sepeda motor trail atau sepeda gunung.
Perjalanan menggunakan sepeda motor dari Cigobang ke Gua Garunggang perlu waktu hampir 1 jam. Jika berjalan kaki mungkin butuh 2 jam.
Masih tradisional
Setelah dihajar medan berat, berdebu, dan panas terik, kami sampai di suatu kawasan dengan hamparan dinding batu. Ada lima pondok dari kayu dan bambu di sana. Di lokasi juga ada beberapa kotak sampah berlogo Pemerintah Kota Depok, bukan Pemerintah Kabupaten Bogor.
Di sana ada semacam taman yang telah ditata. Itu terlihat dari keberadaan struktur dari batu untuk meja dan kursi. Di sekeliling batu-batu yang disusun dan ditata ada berbagai tanaman bunga dan pohon serta pondok istirahat.
Di sekitarnya adalah hamparan dinding batu dan sejumlah pohon rindang. Kawasan seluas sekitar 1 hektar itu lumayan adem. Sampah masih sedikit karena gua itu belum menjadi obyek wisata massal.
Di sana, kami bertemu dengan pasangan Ajum (70) dan Acih (60) serta warga bernama Umar (45).
Menurut Ajum, Gua Garunggang lumayan ramai dikunjungi pada akhir pekan atau hari libur. Kalangan penyusur gua atau pencinta alam doyan berkemah di pelataran di antara dinding batu itu. Di sana ada lima gua yang bisa dimasuki. Kami masuk ke salah satu gua tersebut.
Untuk menuju pintu gua kami harus menuruni tangga tradisional dari bambu. Dari pintu gua kami masih menyusuri jalan menurun 6-8 meter sebelum jalur melandai menjadi horizontal. Menurut Ajum, jalur mendatar itu menjorok sampai lebih dari 200 meter ke dalam.
Bagian dalam gua berupa rongga yang luas dan gelap. Setelah lampu senter dinyalakan, terlihat hamparan stalaktit dan stalagmit indah. Permukaan lantai terasa licin dan basah serta tercium bau kotoran kelelawar.
Menikmati keindahan gua, hamparan dinding batu, dan lokasi yang masih asri, sunyi, dan terpencil, seakan membayar lelah serta cemas selama perjalanan.
Bagi kami, Gua Garunggang adalah sepetak taman yang indah yang seakan tersembunyi, sulit dijangkau, tetapi layak didatangi oleh mereka yang memuja keindahan sang alam.
Bagi Ajum, bapak dari 11 anak, Gua Garunggang adalah kebun menanam kopi, keluak, jambu, dan petai. Ajum tahu dan paham, Gua Garunggang berada di tanah negara. ”Saya cuma ngegarap buat makan keluarga,” katanya dengan ramah.
Kawasan ini sempat hendak dikelola oleh seorang warga Depok. Namun, ada masalah yang membuat pengelolaan Gua Garunggang belum profesional.
Di Kampung Cigobang memang ada loket, tetapi tidak berpenjaga resmi. Loket itu berada di awal jalan setapak menuju gua. Sebelum pulang, kami meninggalkan sedikit uang kepada Ajum sebagai penyemangat agar terus menjaga dan memelihara kawasan gua tersebut.
Potensi
Garunggang merupakan salah satu gua di rangkaian Karst Cibinong yang diperkirakan mencakup Cibinong, Citeureup, Klapanunggal, Sukamakmur, dan Jonggol. Secara geografis, kawasan itu membentang dari tengah ke timur Kabupaten Bogor.
Kabarnya, susur gua di Karst Cibinong sudah ada sejak era 1980-an dan sudah lebih dari 25 gua disusuri para peneliti atau pencinta alam. Namun, keindahan Gua Garunggang baru populer setahun belakangan ini, terutama setelah sejumlah pengunjung mengunggah foto-foto gua ini di media sosial.
Ada beberapa gua yang lebih dulu populer, antara lain Gua Keraton, Gua Kambing, Gua Cikenceng, serta Gua Cikaray di Citeureup dan Klapanunggal.
Namun, keberadaan gua-gua ini terancam sejak ada industri semen skala besar beroperasi di kawasan Karst Cibinong. Sampai kapan gua-gua itu akan selamat dari jangkauan mesin-mesin produksi?
Persiapan khusus
Meski berkunjung ke gua ini menjadi petualangan yang mengasyikkan, tetap ada beberapa hal yang harus diperhatikan para calon pengunjung. Sekali lagi, gua ini bukanlah tempat yang sudah dibuka dan dikelola sebagai obyek wisata secara profesional.
Hal pertama yang harus diperhatikan adalah bawalah bekal makanan dan minuman yang cukup. Di lokasi gua atau jalur menuju ke sana tak ada warung makanan atau minuman. Jangan lupa pula bawa perlengkapan P3K yang cukup.
Jika mau menginap, bawalah tenda dan perlengkapan memasak serta air yang cukup. Di lokasi gua sulit mendapatkan air bersih. Sungai terdekat katanya satu jam jalan kaki dan saat kemarau bisa saja kering.
Jika berniat menyusuri gua sampai jauh, bawalah pakaian, peralatan, dan perlengkapan kegiatan yang memadai.
Selain kelelawar, di dalam gua bisa saja ketemu laba-laba atau serangga lain, seperti kalacuka dan kalacemeti. Reptil juga ada dan mungkin saja berbahaya, seperti karakteristik fauna kawasan karst.
Alat transportasi menuju ke lokasi juga perlu perhatian khusus. Kami sarankan menuju lokasi dengan mobil medan ekstrem dan bawalah sepeda gunung atau sepeda motor trail. Bertualang memang mengasyikkan, tetapi keselamatan tetap harus menjadi yang utama!
(kompas.com)