Kabar mengejutkan datang dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Menteri Keuangan Sri Mulyani dikabarkan mengusulkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kelas mandiri I naik 100 persen mulai 1 Januari 2020. Dengan kenaikan itu berarti peserta yang tadinya membayar iuran Rp80 ribu akan naik menjadi Rp160 ribu per orang per bulan. Untuk peserta kelas mandiri II, mereka usul agar iuran dinaikkan dari Rp59 ribu per bulan menjadi Rp110 ribu. Sementara peserta kelas mandiri III dinaikkan Rp16.500 dari Rp25.500 perbulan menjadi Rp42 ribu per peserta.
Menurut Sri Mulyani, kenaikan iuran itu akan membuat kinerja keuangan BPJS Kesehatan semakin sehat. Hitungannya jika kenaikan iuran dilakukan sesuai usulan Kemenkeu dan mulai diberlakukan 1 Januari 2019, kondisi keuangan BPJS Kesehatan yang selama ini defisit bisa berbalik menjadi surplus Rp17,2 triliun. ”Nah, surplus itu bisa menutup defisit pada 2019. Pada tahun ini prediksi defisitnya Rp14 triliun. Sudah ditutup pun masih surplus,” katanya.
Artinya, BPJS Kesehatan berpotensi meraup keuntungan Rp3,2 triliun tahun depan setelah dikurangi perkiraan defisit pada 2019 yang sebesar Rp14 triliun. Namun, Sri Mulyani belum menyebutkan dampak kenaikan iuran tersebut terhadap penurunan peserta. Sementara itu, ia menyatakan bahwa kenaikan iuran itu juga akan sejalan dengan penambahan beban BPJS Kesehatan untuk membayar rawat inap. Karena itu, Sri Mulyani memperkirakan surplus lembaga itu semakin berkurang pada 2021-2023. ”Surplus pada 2021 diperkirakan Rp11,59 triliun, kemudian 2022 sebesar Rp8 triliun dan 2023 hanya Rp4,1 triliun. Ini karena jumlah utilisasi meningkat,” ucapnya.
Usulan Sri Mulyani bisa dibilang lebih tinggi dibandingkan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Kelas mandiri I hanya diusulkan naik Rp40 ribu per bulan menjadi Rp120 ribu per bulan. Kemudian kelas mandiri II naik Rp24 ribu menjadi Rp75 ribu per bulan. Sementara usulan untuk kelas mandiri III sama, yakni menjadi Rp42 ribu per bulan.
Menanggapi hal itu, Koordinator advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai usulan kenaikan iuran BPJS Kesehatan terlalu berlebihan. Jika iuran dipatok terlalu mahal, BPJS Kesehatan akan didera masalah keuangan yang lebih parah. “Iuran yang kian mahal membuat orang malas membayar iuran BPJS Kesehatan per bulannya. Apalagi kenaikan iuran itu tidak disertai jaminan pelayanan kesehatan yang mumpuni,” katanya.
”Selama ini, banyak keluhan terkait pelayanan manfaat kesehatan BPJS. Jika iuran ini dinaikkan, ada kecenderungan masyarakat malah kian malas membayar. Tentu orang maklum jika kenaikan iuran disertai perbaikan manfaat, tapi sampai sekarang belum ada jaminannya,” sambungnya.
Jika masyarakat enggan membayar iuran, hasilnya adalah tingkat kepatuhan iuran atau kolektibilitas menurun. Ujung-ujungnya penerimaan iuran BPJS Kesehatan kian susut dan tak mampu menambal defisit arus kas yang didera selama bertahun-tahun. ”Jangan pikir dengan kenaikan iuran fantastis, defisit selesai begitu saja. Pikirkan lagi dampaknya secara jangka panjang,” imbuh Timboel.
Sejatinya, kenaikan iuran merupakan kewajiban yang perlu dilakukan setiap dua tahun sekali. Hal itu tercantum dalam Pasal 16i Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Hanya saja kenaikan tersebut perlu dilakukan bertahap dan mempertimbangkan beberapa hal. Untuk kenaikan iuran Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) kelas II dan kelas III, pertimbangan utamanya harus berdasarkan kemampuan untuk membayar dan daya beli masyarakat.
Sementara itu, kenaikan iuran kelas I harus didasarkan pada survei kemauan masyarakat untuk membayar. ”Dinaikkan itu perlu, tapi angkanya harus bijak. Jangan sampai semangatnya menutup defisit, tapi jatuhnya malah muncul (masalah, red) kolektibilitas karena masyarakat tak mau bayar,” tutup Timboel.
(Metropolitan.id)