Sejarah Cina Benteng atau dahulu disebut orang Bike yang tinggal di sekitar benteng. Terbersit pertanyaan, jika ada komunitas etnis Tionghoa yang tinggal di sekitar benteng yang hingga kini masih ada keturununannya yang disebut Cine Benteng, di manakah letak bentengnya? Mengapa tidak ada benteng di sekitar pemukiman sekarang? Inilah yang menjadi ulasan menarik tim FBI News Banten untuk kembali menelusuri jejak benteng di Tangerang yang sering disebut Benteng Makassar.
Kembali bersama Koh Achong, tokoh pemerhati dan pelestari budaya Tionghoa Tangerang, kami berbincang-bincang. Koh Achong menjelaskan sejarah mengenai Benteng Makassar ini.
Saat itu, di tahun 1600-an terjadi keributan antara Kesultanan Banten dengan Kapiten Batavia Souw Beng Kong. Souw Beng Kong seorang tokoh yang diandalkan gubernur jenderal pertama Hindia Belanda, Jan Pieterszoon Coen, saat gagal membuka Batavia sebagai pusat perdagangan. Souw Beng Kon pun sangat dihormati di masyarakat Banten (Tangerang).
Beng Kong yang sudah terkenal sebagai saudagar sukses dan dihormati di Banten akan sangat dibutuhkan oleh VOC guna menggulirkan ekonomi Batavia dengan mengajak orang-orang Tionghoa ke Batavia. Setelah melalui perundingan dengan orang-orang Tionghoa di Banten (Tangerang hingga Cikande), Souw Beng Kong pun akhirnya mengiyakan permintaan JP Coen. Sebanyak 200 orang Tionghoa datang ke Batavia pada gelombang pertama yang akan melonjak menjadi tiga ribuan dalam waktu 30 tahun. Di situlah Souw Beng Kong ditunjuk Belanda menjadi Kapiten di Batavia.
Dalam keributan antara Souw Beng Kong dengan Kesultanan Banten saat itu yang mana sebenarnya didalangi oleh J. P. Coen, untuk mempertahankan wilayah dagangnya, Belanda mendirikan benteng di sekitar sungai Cisadane yang mana kala itu sungai Cisadane menjadi tempat strategis sebagai lintas transportasi perdagangan.
Disebut Benteng Makassar dikarenakan Belanda kekurangan pasukan hingga mendatangkan orang-orang dari Makassar untuk memperkuat penjagaan di sekitar benteng. Karena tidak mungkin Belanda mengambil orang-orang lokal, takutnya mereka akan berkhianat dan setia kepada kesultanan Banten. Dari situlah penduduk lokal menyebutnya Benteng Makassar karena banyaknya orang Makassar di benteng Belanda tersebut.
Istilah Cina Benteng pun timbul dari situ. Yaitu komunitas etnis Tionghoa yang tinggal di seputaran benteng. Zaman itu Sungai Cisadane tidak seperti sekarang.
“Dulu bangunan belum banyak dan dari sisi sungai berseberangan dengan sisi lainnya, penduduk Cina Benteng masih bisa saling gegeroan (menyapa/memnaggil – red),” jelas Koh Achong.
“Kode (koko paling gede – red)…. Apa… Lagi ngapain? Berak…” ujar Koh Achong menirukan gaya percakapan Cina Benteng (Ciben) di kala itu. Semua terbahak mendengar kelakar Koh Achong. Koh Achong melanjutkan bahwa dulu menurut cerita orang-orang tua, zaman kakek nenek kita, masih ada yang dapat melihat bekas reruntuhan benteng Belanda ini. Namun seiring perkembangan zaman, terjadi abrasi dan pelebaran sungai. Maka reruntuhan benteng tersebut tidak dapat terlihat lagi.
Mungkin cerita ini dapat menjadi masukkan bagi kita semua khususnya pemerintah daerah Tangerang agar selalu melestarikan dan lebih perduli lagi terhadap bangunan bersejarah. Sedih rasanya ketika tahu ada bangunan masa Belanda tergerus bangunan baru hanya karena bisnis untuk mendulang rupiah semata. Identitas bangsa ini dapat dilihat dari peninggalan sejarah atau artefak yang dapat kita lihat di masa sekarang. Jangan sampai generasi kita lupa bahkan tidak tahu identitas bangsa ini dan akhirnya rasa nasionalisme bangsa hilang begitu saja.