JABARMEDIA.COM – Air yang awalnya diperoleh gratis, akhirnya berbayar setelah proyek terowongan jalur Kereta Cepat Jakarta Bandung melubangi wilayah Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat.
Ani Handayani, 42 tahun, masih menyimpan kenangan saat mata air yang berada di dekat tempatnya tinggalnya di RT 1 RW 2, Kampung Legokpeundeuy, Desa Sumurbandung masih ada beberapa tahun lalu. Mata air milik warga bernama Pak Arin itu menjadi andalan warga. Ada sekira 86 keluarga, dengan total 250 jiwa, memanfaatkannya.
Di mata air itu, terdapat pula jamban yang dipakai warga untuk mandi, mencuci. Untuk keperluan minum, warga mengangkut air menggunakan ember ke rumah masing-masing.
Meski sumber air ada di lahan milik pribadi, warga dapat memanfaatkan air bersih tersebut secara cuma-cuma. Mereka hanya perlu ikut menjaga kebersihan jamban. Selain itu, mereka juga sering ngaliwet atau membuat nasi liwet untuk disantap bersama di sana.
“Pami balala pinggir, jukut dikoredan, nya saling menjaga, pami aya cangkang sabun dibakar (Kalau dipinggir banyak rumput, rumputnya dipotong, kalau ada bekas kemasan sabun dibakar),” ujar Ani saat ditemui dikediamannya pada Senin 7 Agustus 2023.
Suasana guyub musnah setelah proyek kereta cepat masuk ke kawasan Legokpeundeuy. Pembayaran untuk pembebasan lahan telah berlangsung pada 2014. Sementara pengerjaannya, seingat Ani, berlangsung sekira 2021-2022. Mata air yang berada di pinggir sawah dengan lokasi di sebuah legok itu akhirnya kering setelah debitnya perlahan berkurang.
Airnya benar-benar tandas setelah galian proyek dibuang dan menimbun area itu. Jadi warga tak bisa menolak karena mata air tersebut memang disewakan pemiliknya untuk kepentingan proyek.
Warga bergantung pada sumur bor
Hilangnya mata air membuat warga akhirnya bergantung ke sumur bor. Pemerintah desa, lanjut Ani, dengan bekerja sama dengan pihak kereta cepat membangun dua titik sumur bor, masing-masing berada di belakang SD Legokpeundey dan dekat rumah ketua RT 1. Warga memang masih mendapat air, namun sekarang mereka mesti membayar. “Sasasih bayarna teh Rp52 ribu (Sebulan bayarnya Rp52 ribu),” ucapnya.
Uang sebanyak itu dipakai untuk membayar listrik, tenaga Andir (pengatur air), uang kas untuk jaga-jaga apabila ada kerusakan pada sumur bor tersebut.
Ani masih berharap mata air yang tertutup material proyek bisa dikembalikan lagi. Pasalnya, warga masih bisa memakainya kala debit air dari sumur bor mengecil.
Nasib serupa dialami warga Kampung Cibonteng, RT RW 2, Desa Sumurbandung. Di sana terdapat dua mata air yang juga berada di sebuah legok atau cekungan tanah. Mata air pertama dikenal dengan nama Ciparatag, sementara yang kedua Ciukri. Kekeringan terjadi di Ciparatag, sementara di Ciukri, debit airnya sangat menyusut.
Surwi, 45 tahun, warga RT 2 Cibonteng mengungkapkan, mata-mata air terkena imbas pembangunan terowongan kereta cepat yang diperkirakan berlangsung sekira akhir 2018 dan awal 2019. Pasalnya, kondisi mata air terbilang normal sebelum proyek sepur kilat itu masuk kawasan Cibonteng. “Halodo ge aya (Musim kemarau saja, air masih ada di mata air),” ucapnya saat ditemui di kediamannya.
Hilangnya air tak seperti di Ciparatag yang berlangsung seketika. Awalnya, Surwi menyebutkan, debit air berkurang hingga berujung kerontang. Padahal, terdapat 65 keluarga denga sekira 300 nyawa yang bergantung pada mata air itu. Penyusutan juga terjadi pada sumur-sumur gali warga. Hilangnya mata air diperkirakan telah berlangsung kurang lebih sejak 3 tahun lalu.
Pihak kereta cepat tak merespons
Warga, tutur Surwi, sempat mendatangi tempat para pekerja kereta cepat di Legokpeundeuy untuk menyampaikan protes atas kondisi tersebut. Namun, ia menyebutkan tak ada respons pihak kereta cepat atas protes itu.
Sama seperti warga Legokpeundeuy, Warga RT 2 Cibonteng akhirnya terpaksa mengandalkan sumur bor bantuan desa. Pihak desa memberikan bantuan satu titik sumur bor di sana. Namun, kehadiran sumur bor berbayar tak bisa menggantikan mata air yang gratis.
Saban hari, air dari sumur bor hanya mengocor sekali selama 15 menit. Keadaan tersebut berbeda saat mata air masih tersedia. Warga bisa bebas menggunakannya tanpa batasan waktu. Warga juga harus mengeluarkan uang senilai Rp50 ribu setiap bulan agar memperoleh pasokan air dari sumur bor yang berbatas waktu itu.
Tim Pikiran Rakyat mendatangi langsung bekas mata air yang telah mengering di Legokpeundeuy dan Cibonteng. Di Legokpeundeuy, timbunan tanah buangan kereta cepat sudah menutup sama sekali bekas mata air andalan warga tersebut. Sementara di Cibonteng, Ciparatag hanya menyisakan dua bekas pancuran yang sudah tak mengucurkan air serta bak yang telah mengering.***
(Pikiran-rakyat/idram)