Kompleks medis tersebut berisi Rumah Sakit Anak Al-Nasser, Rumah Sakit Khusus Rantisi, Rumah Sakit Mata dan Rumah Sakit Jiwa.
Sekitar pukul 18:30 waktu setempat, pesawat tempur Israel menyerang area antara Rumah Sakit Jiwa dan Rumah Sakit Rantisi, melukai 35 orang, termasuk beberapa staf medis. Dua jam kemudian, RS Rantisi serta sisi tenggara dan timur lautnya terkena serangan.
Rumah sakit tersebut kemudian diserang untuk ketiga kalinya dengan serangan yang menghantam halaman tempat ambulans dan kendaraan lain diparkir dan tempat keluarga pengungsi berlindung.
“Panel surya dan tangki air juga menjadi sasaran, artinya RS Rantisi tidak memiliki setetes air pun,” ujarnya.
Serangan terhadap rumah sakit memaksa Rabaa al-Radee membawa cucunya yang sakit, Sidra, untuk berobat ke tempat lain. Sidra mengidap penyakit kanker dan kakinya patah akibat kecelakaan saat melarikan diri dari bom Israel yang menghantam sekolah tempat mereka berlindung.
Rumah Sakit Jiwa, satu-satunya di Jalur Gaza, juga tidak mampu lagi merawat pasiennya.
“Kami akan menerima 50 hingga 70 pasien setiap hari, mulai dari mereka yang datang untuk mengambil obat hingga mereka yang datang untuk dirawat karena trauma psikologis akibat suara bom yang terus menerus,” kata Jamil Suleiman, direktur umum Rumah Sakit Jiwa di Gaza.
“Luka di badan bisa sembuh tapi luka psikologis jauh lebih dalam dan perlu perawatan kejiwaan,” ujarnya.
Jika rumah sakit di Gaza terus diserang, maka Dewan Keamanan PBB atau Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak diperlukan, tambah Suleiman.
“Mungkin jika kita adalah binatang, maka kita akan mendapatkan hak-hak kita,” tandasnya.
(Detik/idram)