JABARMEDIA.COM – Berbagai elemen menolak kebijakan pemerintah yang mewajibkan potongan gaji pekerja 3% untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Sebab, kebijakan tersebut bakal sangat memberatkan elemen pekerja dan pelaku usaha.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Kamdani, mengatakan kemunculan regulasi tersebut ditolak oleh berbagai pihak. Oleh sebab itu, Shinta mengatakan APINDO sudah bersurat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Sejalan dengan APINDO, Serikat Buruh/Pekerja juga menolak pemberlakuan program Tapera. Program Tapera dinilai memberatkan beban iuran baik dari sisi pelaku usaha dan pekerja/buruh,” tulis Ketua Umum APINDO Shinta Kamdani dalam keterangan resminya, Selasa (28/5/2024) kemarin.
Shinta mengatakan, APINDO memiliki sejumlah pandangan terhadap regulasi tersebut. Pertama, APINDO pada dasarnya mendukung kesejahteraan pekerja dengan adanya ketersediaan perumahan bagi pekerja. Namun, PP No. 21/2024 dinilai duplikasi dengan program sebelumnya, yaitu Manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan pekerja bagi peserta program Jaminan Hari Tua (JHT) BP Jamsostek.
“Tambahan beban bagi Pekerja (2,5%) dan Pemberi Kerja (0,5%) dari gaji yang tidak diperlukan karena bisa memanfaatkan sumber pendanaan dari dana BPJS Ketenagakerjaan,” ungkap Shinta.
Kedua, APINDO menilai pemerintah lebih baik mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan. Di mana sesuai PP maksimal 30% (Rp 138 triliun), aset JHT yang memiliki total Rp 460 triliun dapat digunakan untuk program MLT perumahan pekerja. Dana MLT yang tersedia pun sangat besar, namun sangat sedikit pemanfaatan.
Aspek ketiga, Shinta menjelaskan organisasinya menilai aturan Tapera akan menambah beban pengusaha dan pekerja, sebab saat ini beban pungutan yang ditanggung pelaku usaha sudah mencapai angka 18,224-19,74% dari penghasilan kerja dengan rincian sebagai berikut.
Rincian Beban Pelaku Usaha kepada Pekerja Menurut APINDO
A. Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (berdasarkan UU No. 3/1999 ‘Jamsostek’)
1. Jaminan Hari Tua (3,7%)
2. Jaminan Kematian (0,3%)
3. Jaminan Kecelakaan Kerja (0,24-1,74%)
4. Jaminan Pensiun (2%)
B. Jaminan Sosial Kesehatan (berdasarkan UU No.40/2004 ‘SJSN’)
Jaminan Kesehatan (4%)
C. Cadangan Pesangon (berdasarkan UU No. 13/2003 ‘Ketenagakerjaan’)
sesuai dengan PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) No. 24/2004 berdasarkan perhitungan aktuaria sekitar (8%).
“Beban ini semakin berat dengan adanya depresiasi Rupiah dan melemahnya permintaan pasar,” kata Shinta.
Oleh sebab itu, Shinta mengatakan APINDO terus mendorong penambahan manfaat program MLT BPJS Ketenagakerjaan sehingga pekerja swasta tidak perlu mengikuti program Tapera dan Tapera sebaiknya diperuntukkan bagi ASN, TNI, Polri.
APINDO juga telah melakukan telah melakukan diskusi dan koordinasi dengan sejumlah pihak terkait, di antaranya BPJS Ketenagakerjaan dan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) untuk mempercepat perluasan program MLT bagi kebutuhan perumahan pekerja.
“Dalam diskusi tersebut, khusus pekerja swasta dapat dikecualikan dari Tapera dan mendapatkan fasilitas perumahan dari BP Jamsostek,” imbuh Shinta.
Tertekan di Tengah Daya Beli Masyarakat yang Lemah
Keputusan pemerintah yang mewajibkan masyarakat membayar iuran Tapera turut dipertanyakan sejumlah pengamat ekonomi dan kebijakan publik. Sebab, regulasi itu dikeluarkan di tengah melemahnya daya beli masyarakat.
Direktur Ekskutif Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menilai keputusan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan tersebut tidak tepat. Sebab, berdasarkan catatan pihaknya, saat ini terjadi penurunan dari sisi konsumsi domestik dan penurunan daya beli masyarakat, khususnya dari kalangan kelas menengah.
“Kita bisa lihat misalnya dari upah riil, sampai tahun terakhir kemarin itu negatif pertumbuhannya, minus 1%, itu upah riil artinya upah nominal yang dikoreksi dengan tingkat inflasi,” ucap Faisal, Selasa (28/5/2024) kemarin.
Faisal mengatakan upah riil yang negatif adalah tanda pendapatan masyarakat turun. Di sisi lain, proporsi pendapatan rumah tangga yang digunakan untuk konsumsi dan kredit juga semakin turun.
Hal serupa juga terlihat untuk pembelian barang-barang sekunder dan tersier seperti kendaraan bermotor dan pembelian rumah. Menurutnya, ini adalah tanda kemampuan finansial masyarakat sedang terbatas hanya untuk membeli kebutuhan dasar seperti makanan saja.
“Konsumsi untuk barang tersier dan sekunder turun, berarti sebetulnya kalangan menengah lagi terbatas untuk membeli barang2 kecuali basic needs untuk makanan,” jelasnya.
Oleh sebab itu melihat berbagai fakta di atas, Faisal menilai kebijakan pemerintah yang mengeluarkan regulasi kewajiban untuk mencicil pembelian rumah lewat Tapera tidak tepat. Sebab, hal itu akan membebani konsumsi masyarakat khususnya untuk kebutuhan dasar.
Di sisi lain, Faisal mengatakan bahwa kemampuan kalangan pekerja swasta tidak bisa dipukul rata. Sebab, tingkat pendapatan masyarakat pada dasarnya berbeda-beda, apalagi di tengah berbagai keputusan pemerintah untuk menambah penerimaan negara.
“Kalau dipukul rata sekarang waktunya tidak tepat. pada saat yang sama pemerintah juga menetapkan tambahan biaya misalkan tambahan penerimaan ada beban tambahan cukai, PPN (Pajak Pertambahan Nilai) mau dinaikkan, lalu subsidi dikurangi, ini artinya secara akumulatif akan membebani masyarakat. mengurangi beban APBN tetapi menambah beban masyarakat. (Kebijakan Tapera) Ini perlu dipertimbangkan,” tegasnya.
Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, turut menilai momentum dikeluarkannya PP No 21/2024 tidak tepat. Sebab, belum ada urgensi dari masyarakat untuk segera memiliki rumah. Menurutnya, kebijakan itu seolah dipaksakan.
“Ini keluarnya PP 21 itu menurut saya memang belum urgent meskipun sebetulnya niatnya baik. Rumah memang butuh rumah di tengah harga yang tinggi. Istilahnya khusus masyarakat bawah berat, nggak bisa. Masih ada yang lebih mendesak. (Saat ini) kalau disuruh mencicil rumah, orang lebih mementingkan kesehatan,” bebernya.
Oleh sebab itu, Trubus menyarankan agar pemerintah menunda atau merevisi peraturan Tapera terlebih dahulu. Sebab, sampai saat rincian serta aturan main dari regulasi tersebut belum jelas, di antaranya seperti, mekanisme masyarakat yang tidak mau menggunakan Tapera, status peraturan agar tidak tumpang tindih dengan program cicilan rumah Manfaat Layanan Tambahan (MLT) BP Jamsostek, sampai pengelolaan dana masyarakat.
Trubus menjelaskan penjelasan utuh diperlukan karena masyarakat sudah dikempit banyak potongan seperti BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.
“Revisi dulu atau ditunda dulu. Suatu regulasi harus disosialisasikan dulu idealnya. Harus ada komunikasi biar masyarakat tahu, infonya harus jelas. Edukasinya gimana. masyarakat harus sadar dia membayar Tapera. Ini untuk sampai ke sana harus melihat situasi masyarakat kita. Kalau tidak mampu, apa iya harus bayar (tabungan) perumahan? Ini menurut saya penting,” pungkasnya.
(detik/idram)